Friday, 30 September 2016

POTRET BURAM PELAYANAN KESEHATAN (2012)

Suhaimi SH
KELUHAN mengenai buruknya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diwajibkan kepada pemerintah. Menjadi salah satu persoalan publik yang nyaris tidak ada akhirnya.
Salah satu tugas negara adalah memenuhi hak-hak dasar warga negara. Hal ini sudah jelas diatur dalam konstitusi, maupun peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Implementasi dari peran negara kepada warga negara ini, salah satunya dalam bentuk penyediaan pelayanan publik. Soal ketersediaan, keterjangkauan, kebersesuaian, dan keberterimaan atas pelayanan yang diberikan negara/pemerintah, menjadi pokok-pokok yang harus dipenuhi. Sehingga, pelayanan yang diberikan sesuai standar minimal yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang kerap menjadi sorotan adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Cerita mengenai warga miskin yang tidak mendapatkan pelayanan yang optimal, maupun warga miskin yang tidak memperoleh jaminan kesehatan dari negara, menjadi ironi yang kerap terjadi.


Sekjen Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Lombok Barat Suhaimi yang konsen mengawal optimalisasi pelayanan publik berpandangan bahwa, rezim pelayanan kesehatan yang dijalankan di Indonesia, pemberian layanan dibedakan dari kontribusi yang diberikan.
Seharusnya, kata Suhaimi, pelayanan kesehatan ini seperti manajeman Masjid, yakni kontribusi dibedakan, tetapi layanan untuk semua. Sehingga, tidak ada lagi pasien yang justru mendapatkan penyakit lain, ketika dirawat diruang kelas III. Pemerintah selalu saja memberikan pelayanan yang cenderung diskriminatif, jika untuk warga miskin, maka kelas pelayanan adalah ruang perawatan berbasis massa alias ruang kelas III. ‘’Kalau dengan sistem pelayanan kesehatan hari ini. Pesannya, orang miskin tidak pantas diperlakukan baik. Saya harus bilang, negara dengan sengaja mendesainnya,’’ terangnya. ‘’Kalau ada orang miskin ke rumah sakit, kalau ruangan kelas III sudah habis, ya dirawat di teras. Jika melihat potret ruang perawatan kelas III, agak susah pasien akan sehat,’’ tambahnya.
Suhaimi juga kemudian menuturkan mengenai rilis dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI, pernah merilis jumlah orang kaya, yang tidak dibebankan membayar pajak. Sebab, dalam sistem di Indonesia, wajib pajak adalah perusahaan, atau pajak bagi profesi tertentu. ‘’Aburizal Bakrie sebagai pemilik perusahaan Bakrie Grup tidak dipajakin, perusahaannya yang bayar pajak. Bakrie juga tidak menerima gaji yang akan dipotong pajaknya oleh pemerintah,’’ tuturnya. ‘’Ini memang ada desain yang seperti itu,’’ tambahnya.
Kat Suhaimi, sifat dasar dari otak pemberi layanan publik, adalah otak feodal, sehingga kita akan selalu menemukan layanan yang tidak optimal.

Soal layanan yang tidak optimal dari tenaga kesehatan ini juga dibenarkan Direktur Samanta Dwi Sudarsono. Sehingga, diusulkan agar pembentukan watak pemberi layanan kesehatan dibentuk sejak bangku sekolah. Agar watak pemberi layanan ini tidak lagi feodal. ‘’Ini dari aspek pendidikan untuk tenaga pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya. ‘’Tapi bisa juga, ada yang pengembangan watak di sekolahnya bagus. Tetapi justru rusak ketika ada di lingkungan sarana kesehatan,’’ tandasnya.
Selain itu, tidak dibangun sistem komplain dalam pelayanan kesehatan. Sehingga, selama ini banyak pasien atau keluarga pasien yang tidak tahu harus komplain kemana mengenai buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan. Sehingga diperlukan regulasi khusus untuk mengatur standar pelayanan tersebut.
Dwi juga menyinggung soal komitmen pemerintah dalam memberikan sokongan dana, kepada lembaga pelayanan kesehatan di daerah. Selama ini, kerap kita menemukan fakta, adanya komplain dari RSUD yang klaimnya tidak dibayar pemerintah.

Tidak Miliki SPM, Kejar Setoran PADTerbitnya Undang-Undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik, seharusnya menjadi momentum perbaikan berbagai jenis pelayanan publik yang wajib diberikan negara kepada warga negara. namun, potretnya, hingga saat ini, sektor pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan masih saja tetap buram.
LEMBAGA pelayanan kesehatan, merupakan lembaga publik masuk dalam kategori tempat vital, yang wajib dilindungi negara. Bahkan, jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, bahwa tidak diperkanankan untuk berunjukrasa di depan depan lembaga kesehatan, seperti Puskesmas dan RSUD. Sehingga, memprotes kebijakan atapun buruknya pelayanan kesehatan, tidak bisa dilakukan dengan cara berunjuk rasa.

Hal ini diungkapkan Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif Husain mengenai posisi lembaga kesehatan sebagai sarana vital yang dilindungi negara. Penyampaian aspirasi secara terbuka, juga tidak diperkenankan. Sehingga, diperlukan cara dan metode khusus dalam penyampaian komplain terhadap pelayanan lembaga kesehatan.
Keberadaan kotak saran, lanjutnya, tidak efektif, sebab tidak semua orang bisa menyampaikan pendapat melalui tulisan. Dan tidak ada kepastian, apakah komplain yang disampaikan dibaca pihak pengelola, sehingga kotak saran, seringkali hanya sekedar sarana pelengkap agar bisa disebutkan di pelaporan.
Terkait itu, diperlukan upaya dan komitmen yang tinggi dari pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan seperti RSU dan Puskesmas/Poskesdes/Polindes, maupun lembaga pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan upaya-upaya pembenahan. ‘’Jika polri saja, telah memiliki quick wins sebagai SOP layanan, kenapa lembaga kesehatan tidak memiliki itu,’’ tandasnya.
Tidak hanya itu, ironisnya, pelayanan buruk yang diberikan lembaga pelayanan kesehatan pemerintah, justru juga dijadikan sebagai lembaga pengeruk duit dengan alasan pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan, di sejumlah kabupaten/kota, target PAD di lembaga kesehatan, dipampang jelas di jendela/loket pelayanan.

Selama ini, kata Sekjen JMS Lobar Suhaimi, belum ada satupun lembaga kesehatan milik pemerintah yang telah memiliki standar pelayanan minimal (SPM). Padahal, dalam Undang-Undang 25/2009 tentang pelayanan publik, jelas diatur mengenai kewajiban lemabaga publik memiliki SPM.
Namun, selam aini, hal yang menjadi alasan, sehingga SPM ini tidak pernah dibuat, terkait dengan dua peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut UU pelayanan publik ini, yang masih tersandera di pusat. ‘’Pemda ramai-ramai beralasan, tidak berani menyusun SPM, sebelum ada PP. jawabannya, selalu menunggu PP,’’ tandas pria yang juga Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) NTB ini.

Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengembangan Sumberdaya (P2PHSD) Universitas Mataram Lalu Saipuddien menegaskan, Pemda tidak seharusnya menunggu terbitnya PP, baru membuat SPM. Sebab, klausul soal SPM ini, sudah tertuang di dalam UU Pelayanan Publik. Kedepan, jika PP tersebut sudah, terbit, bisa disesuaikan. ‘’Pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Tidak boleh berasalan tunggu PP. ini menyangkut nyawa orang banyak,’’ tandasnya.
Terkait itu, lanjut pria yang akrab disapa Gayep ini, harus ada gerakan publik, untuk mendorong penetapan SPM di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sejak diundangkan UU Pelayanan Publik, sudah berlaku kewajiban adanya SPM. ‘’Warga juga bisa mendorong agar penyelenggara pelayanan kesehatan membuat maklumat pelayanan publik. Yakni janji penyelenggara untuk menerapkan SPM dalam pelayanan kesehatan,’’ tandasnya.

Ombudsman Diminta Pro Aktif, Usulkan Insentif SenyumDiperlukan komitmen, keberanian dan keberpihakan yang kuat terhadap masyarakat, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan di NTB. Jika tidak, maka pelayanan yang baik hanya akan menjadi utopia semata.

PENELITI Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengmbangan Sumber Daya (P2HPSD) Universitas Mataram Lalu Saepuddin menegaskan, semua pihak harus bisa berperan aktif dalam mendorong upaya perbaikan pelayanan publik, khususnya sektor kesehatan yang kerap dikeluhkan masyarakat.
Salah satu lembaga yang juga diminta ikut berperan aktif dalam mendorong pembenahan pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan ini adalah Ombudsman perwakilan NTB. Sebab, Ombudsman tidak hanya bertugas melakukan pengawasan, tetapi harus ikut serta mendorong penylenggaraan pelayanan publik dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan. ‘’Ombudsman tidak hanya menerima koplain soal maladministrasi. Tetapi bisa ikut dalam proses pembentukan SPM, sampai pembentukan posko pengaduan,’’ tandasnya.
Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemda untuk membenahi pelayanan publik, adalah dengan membentuk posko pengaduan, yang disertai dengan sistem informasi yang jelas. Posko ini merupakan unit khusus yang melayani soal pengaduan, termasuk mengenai informasi pelayanan, harga obat-obatan dan lainnya. Dan ketika ada persoalan, posko inilah sebagai tempat masyarakat mengadu. ‘’Saat ini, dalam prakteknya, ruang pengaduan publik nyaris tidak ada, tidak ada kanal yang disiapkan khusus penyelenggaran pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya.
Upaya kongkrit perbaikan pelayanan publik dibidang kesehatan ini juga sudah dilakukan, JSM Lobar. Salah satunya dengam membentuk posko-posko pengaduan di level warga. Termasuk membuat maklumat pelayanan publik antara penyelenggara dengan penerima pelayanan.
Dalam SPM ini, harus diatur secara detail mengenai pelayanan yang harus diselenggarakan. Termasuk soal senyum bagi petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis. Dan di level internal lembaga pelayanan publik, juga bisa dibuat sejenis award khusus, bagi karyawan teladan, misalnya karyawan paling ramah, paling rajin, responsif dan lainnya. Hal ini bisa dievaluasi per bulan. ‘’Bila perlu, ada insentif khusus bagi petugas kesehatan yang selalu melayani dengan senyum. Dan sebaliknya, ada punishment bagi yang tidak tersenyum,’’ tegasnya.
Pihak Kepolisian, khususnya Polda NTB, sudah membuat tagline pelayanan, yakni awali dengan senyum. Seharusnya, hal ini juga bisa dipraktekkan di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Fenomena hari ini, banyak perawat yang justru mengganti infus, sembari menelpon.
Hal-hal detail, seperti adanya larangan rapat disaat jam pelayanan juga harus diberlakukan, termasuk juga larangan menghadiri kegiatan seremonial, seperti perayaan perkawainan dan lainnya. Sebab, hal ini bisa mengganggu pelayanan publik. ‘’Pemda harus berani membuat maklumat pelayanan publik, menyusun SPM dalam upaya peningkatan kualitas layanan,’’ terangnya.
Selama ini, lanjut Suhaimi, kelompok-kelompok terorganisir, abai dalam persoalan ini. Padahal, buruknya pelayanan kesehatan, di banyak lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan, sangat nyata dirasakan masyarakat.
Buruknya pelayanan publik bidang kesehatan ini, merupakan wujud nyata dari impreliasme dan feodalisme, sehingga harus dilenyapkan. ‘’Kontrol kualitas pelayanan, bisa dilakukan semua orang, kelompok terganisir bisa melakukan presure,’’ tegasnya. ‘’Hal ini bisa dilakukan tidak dengan LSM dengan mengajukan proposal, tetapi bisa dilakukan semua pihak, termasuk ormas-ormas besar yang ada di tengah masyarakat,’’ jelasnya.
Upaya peningkatan pelayanan publik ini, sudah dimulai Pemprov NTB. Salah satunya dengan adanya komitmen pembentukan posko pengaduan pelayanan publik, bersamaan dengan launching Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi, saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi NTB yang ke 54 lalu, oleh Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi. Sehingga, masyarakat NTB yang tidak merasa tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik, bisa mengadu ke desk dan posko tersebut.(*)

No comments:

Post a Comment