Tuesday, 27 September 2016

MEMBEDAH IMPLEMENTASI DANA DESA

KPK Bilang Regulasi Pusat Tumpang Tindih, Realisasi Masih Lamban

-------------------------------------------

Soal dana desa menjadi isu krusial yang dibincangkan publik, mulai dari transfernya yang rumit, hingga implementasi yang diduga bermasalah. Diperlukan solusi cerdas untuk mengoptimalkan keberadaan dana ini.

-----------------------------------------

Diskusi #forumwiken Bale ITE kali bertema implementasi dana desa. Bekerjasama dengan Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB. Sejumlah 
narasumber kompeten dihadirkan, mulai dari Plt Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan 
Pemerintahan Desa (BPMPD) NTB Irman Sukmantara, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi 
(Fitra) NTB Ervyn Kaffah, serta perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Nanang 
Farid Syam.
Dalam paparannya, KPK menjelaskan soal berbagai temuan awal KPK terkait dana desa ini, mulai bagaimana pengalihan dana bergulir PNPM yang saat ini masih bergulir di masyarakat. 
Siapa yang bertanggung jawab? Apakah Gubernur, Bupati/Wali Kota atau siapa?. Sampai saat ini 
belum ada kejelasan. Begitu juga dengan kejelasan pengangkatan pendamping PNPM.
Aturan yang ada juga masih tumpang tindih antara bina pemerintahan desa di Kementerian Dalam 
Negeri dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Tidak hanya itu, sejak awal, mulai dari formulasi pembagian dana desa ini mulai dari regulasi sudah 
tidak beres. Dalam hitungan bulan sudah ada tiga kali pergantian aturan main. 
Asumsi penyusunan APBN terkait dana desa, dengan saat impelemntasi pembagian alokasi, formula yang digunakan sudah berbeda. Kondisi ini membuat banyak desa yang diragukan. Lambannya 
pencairan dana desa ini juga jadi soal. “Ada 3 PP jadi dasar pencairan, semuanya tidak memberikan adanya kepastian hukum,” tandasnya. 
“Jika sampai sekarang ada desa yang belum terima dana desa, bisa disebut korupsi. Bisa dicek temen-teman LSM advokasi anggaran,” sambungnya.
Berbagai perubahan regulasi ini membuat ketidakadilan, KPK ambil Sampel di tiga desa di Pakis 
Malang, Jawa Timur. Jumlah dana desa yang diterima desa yang lebih luas, dengan penduduk yang 
banyak justru lebih sdikit dari desa yang luasannya tiga kali lipat lebih kecil. “Saya tidak tahu kenapa seperti ini. Apakah apakah pemerintah salah hitung atau formulanya tidak pas,” tuturnya.
KPK memberikan sejumlah rekomendasi terhadap persoalan dana desa ini, diantaranya 
Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota menyediakan dana untuk peralihan dana bergulir, menyusun 
regulasi untuk acuan penggunaan APBDes, serta bagaimana mewajikan Pemdes mempublikasikan 
RAPBDesnya. Salah satunya dengan mengembangkan sistem informasi desa.
KPK juga meminta Pemda menggelar pelatihan pengelolaan keuangan, serta menyediakan auditor 
khusus untuk pengelolaan dana desa. Di desa juga harus dibangun sistem pengaduan yang handal.
Pemda juga diminta untuk menyusun regulasi pengendalian tenaga pendamping. Sebab dari temuan KPK, konsultan dan fasilitator yang ada di desa ternyata jadi penyedia barang jasa, sehingga ada 
konflik of interest dalam pengelolaan dana desa tersebut.
“PR bersama juga bagaiman aturan main dana desa ini diperjelas. Kesepakatan formula, serta membangun partisipasi masyarakat mengawasi dana desa ini,” pungkasnya.

ilustrasi dana desa. foto by sorotmagelang.com


Sementara itu, Plt Kepala BPMPD NTB Irman Sukmantara memberikan paparan realisasi transfer 
dana desa. Jumlah dana desa di NTB tahun ini mencapai 371 Miliar lebih. Masing-masing desa 
mendapatkan proporsi sesuai formula yang ada. Kabupaten yang paling besar memperoleh dana desa ini adalah Lombok Timur dengan 239 desa, dengan anggaran Rp 73,259 Miliar lebih. Yang terkecil diLombok Utara Rp 12 Miliar lebih dengan jumlah desa hanya 33 desa. Progres pencairan dana desa 
ini sudah mencapai 80 persen dari pusat. 
Namun, dana yang sudah ditransfer ke rekening desa baru 52 persen, atau Rp 157,872 Miliar. 
Realisasi per kabupaten berbeda beda. Lombok Barat sudah realisasi 55 persen, Lombok Tengah 27 
persen, LOmbok Timur 68 persen, Dompu 79 persen, Bima 40 persen, Sumbawa Barat 28 persen, 
dan Lombok Utara 40 persen.
Irman juga mengakui lambannya realisasi dana desa ini, kendalanya mulai dari aturan di pusat yang 
berubah-rubah. 
Awalnya, NTB sejak lama sidah menyiapkan Perbup tentang dana desa ini, tetapi pemeirntah pusat 
merubah aturan main, sehingga butuh proses bagi kabupaten/kota untuk menyesuaikan diri.
Ada berbagai rekomendasi yang sudah disampaikan Pemprov NTB ke Kabupaten/Kota, mulai dari 
mendorong revisi Perbup tentang pengelolaan dana desa, menyederhanakan mekanisme pencairan 
sesuai Surat Keputusan Bersama 3 Menteri, serta mendayagunakan peran fasilitator PNPM.Mengenaipendamping desa, belum ada kejelasan dari pemerintah pusat. Jumlah pelamar saat pendaftaran 
mencapai 5.600 orang, padahal yang diterima hanya 490 orang.
“Kita sudah kirim longlist ke Jakarta. Tetapi shortlistnya belum dikirim balik agar bisa dilakukan test tertulis,” bebernya.
Irman juga menjelaskan soal sasaran dana desa bisa dilaksanakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan sosial kemasyarakatan, pembiayaan 
pemberdayaan desa. Selama ini sudah banyak desa yang mengeloala dana miliaran rupiah, seperti 
desa-desa yang ada di Lombok Utara yang mengelola diatas Rp 1 Miliar. “Ini cuman agak aneh. 
Dana yang dikelola miliaran rupiah, tetapi menjadi daerah yang paling besar persentase 
kemiskinannya,” tutur Arifin.
BPMPD juga terus mendorong peningkatan kapasitas aparatur desa, saat ini secara marathon digelar pelatihan perencanaan dan manajemen keuangan hingga 11 Desember.
Soal lambannya pencairan dana desa ini diakui sebagai kekeliruan pemerintah pusat. Kabupaten 
dibuat bingung dengan aturan yang dibuat. Awalnya, dana desa yang dialokasikan Rp 9,6 Triliun, 
setelah Presiden Jokowi dilantik ditambah menjadi Rp 20 Triliun lebih. Perubahan ini kemudian 
berdampak pada perubahan teknis hingga ke bawah, sehingga menjadi lamban.
Arifin juga menuturkan, progres terakhir realisasi dana desa sudah banyak peningkatan. Seperti di 
Lombok Tengah. Ada juga soal di Bima yang baru 40 persen. Sebab dana sebelumnya belum 
dilaporkan sehingga pencairan ditunda realisasinya.
“Sebenarnya dana itu sudah di rekening desa. Tetapi belum bisa dieksekusi, sebelum selesaikan 
pelaporan,” terangnya. 

-------------------------------------------

Ada banyak soal impelemntasi dana desa ini. Mulai dari komitmen Pemda, hingga soal kesiapan 
aparatur pemerintahan di desa. Berikut lanjutan ulasan diskusi #forumwiken Bale ITE Bappeda NTB kerjasama dengan Somasi NTB.

-----------------------------------------

SEKJEN Fitra NTB Ervyn Kaffah menegaskan soal keberadaan UU Desa sebagai cara berfikir baru 
yang mengedepankan azas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi sebagai bentuk pengakuan negara 
terhadap keberadaan desa yang ada sebelum negara Indonesia lair. Desa juga sebagai kesatuan 
wilayah utuh yang memiliki pemerintahan dan warga.
“Kalau mau tegakkan UU Desa, harus ada rekonsiliasi atau pemulihan posisi desa dari negara,” 
tandasnya.
Dengan azas subsidiaritas, desa tidak lagi hanya sebagai aparatus pelaksana wewenang administratif Pemda untuk mensukseskan misi administratif seperti soal kependudukan, pemilihan dan lainnya. 
Tetapi juga soal pelayanan dan ekonomi yang selama ini jauh panggang dari api. “Dengan UU Desa, desa bisa disebut sebagai negara kecil, tidak tergantung pada kabupaten,” bebernya lagi.
Adanya UU Desa dengan alokasi anggaran yang dikhususkan, dihajatkan agar ekonomi desa lebih 
optimal. Ujungnya adalah bagaimana mengurangi kemiskinan, pembenahan layanan dasar, dan 
mendorong partisipasi warga. Hanya saja, masih banyak fakta yang ditemukan, dana desa justru tidakdipakai untuk tujuan jelas, yang penting dana habis. Bahkan, dari temuan lapangan dokumen 
RPJMDes, APBDes sepertinya dibuat oranang yang sama, karena umumnya seragam. “Yang dikejar duitnya keluar,” tandasnya. 
“Tantangan terberat kita, bagaimana memastikan dana desa sesuai tujuan,” tambahnya.
Ada berbagai tantangan lain soal desa di NTB, umumnya ada dua jenis desa yakni desa religius yang mengedepankan kegiatan keagamaan. Dan desa parokialyang mengedepankan warisan masa lalu. 
Biasanya, ciri desa ini cukup baik secara ekonomi, tetapi buruk dalam pelayanan. “Semoga dana desa ini bisa kurangi kemiskinan,” harapnya.
Pendamping desa penting untuk disiapkan, perubahan posisi desa ini juga akan merubah struktur 
relasi. Pasar bisa penetrasi langsung ke desa, apalagi desa-desa yang kaya SDA. Jika tidak siap, 
maka akan ada problem besar di desa.
Sementara itu, Peneliti Somasi Hendriadi Jamal mengungkapkan sejumlah temuan posko aduan 
somasi, diantaranya pelaksanaan dana desa yang tidak transparan, proses administrasi terkendala 
oknum pejabat kabupaten, penyimpangan dana dengan sistem kroni di desa, seperti di Desa Bunkate Lombok Tengah, mulai dari kepala desa dan stafnya merupakan satu keluarga. Problem lain juga desa belum mampu susun dokumen dengan baik. Dan soal lainnya.
Peneliti Bale ITE Bappeda NTB Lalu Pahrurrozi mengemukanan, saat ini ada dana cukup besar 
mencapai Rp 1 Triliun berpendar di desa, dana desa dari pusat sepertiga dari jumlah dana yang 
digelontorkan ke desa. Ini menjadi potensi mengurangi angka kemiskinan.
Pria yang akrab disapa Ojhie ini meminta BPMPD NTB bisa membuat rekapan jumlah dana yang ada di desa, agar mengetahui angka pasti jumlah anggaran yang berputar di desa.
Selain itu, BPMPD diminta tidak monitoring pada dana masuk, tetapi bagaimana dana digunakan. 
Sebab, dalam kegelapan (tidak transparan,Red) rentan terjadi manipulasi. Dokumen APBDes harus 
betul-betul didorong keterbukaannya. 
Jangan sampai dokumen APBDes menjadi dokumen yang susah diperoleh. “Tidak ada salahnya 
pemerintah mewajibkan desa menempel APBDes di masjid dan tempat umum lainnya,” terangnya.
Ojhie juga mengungkapkan ada fenomena negatif yang dilakukan Bupati. Misalnya memanfaatkan 
kewenangannya, untuk memanfaatkan dana desa untuk realisasi janji kampanye. Seperti pembelian 
motor yang dititip melalui APBDes.
Lain lagi pandangan M Tamrin, salah seorang warga yang hadir dalam diskusi ini. Selama ini, warga seolah-olah ditakuti, banyak kelompok yang mengintai. 
Faktanya, belum ada lembaga khusus yang mengawasi dan mensupervisi pemerintahan desa, seperti halnya peran Inspektorat di lingkup Pemda.
Seharusnya, BPMPD bisa melakukan riset untuk memetakan kebutuhan prioritas masing-masing desa. 
Sehingga program bisa lebih optimal dilaksanakan. 
Kepala Desa Jeringo Lombok Barat Syahril, mengemukakan berbagai persoalan yang dihadapi 
langsung di desa. Ada oknum pejabat di BPMP Lombok Barat yang menghalang-halangi pencairan 
dana desa. Seharusnya BPMPD mempermudah pencairan, justru bersikap sebaliknya.
Dituturkan, saat penyusunan proposal, dikonsultasikan ke BPMPD, namun setelah data valid. 
Diserahkan ke Kabid Pemdes, namun proposal tersebut tidakmau diebaluasi, diminta serahkan ke 
Kepala BPMPD Lobar. 
“Kami kesulitan dapatkan rekomendasi, saya sediri cairkan dana desa tanpa rekomendasi,” tandasnya. “Kami juga heran kok bisa ambil dana tanpa rekom, tidak jelas,” tambahnya. 
Dengan kondisi seperti ini, lanjut Syahril, maka target percepatan dana desa justu akan terhambat. 
Semua pemerintahan desa, siap implementasi dana desa. Hal yang pokok adalah bagaimana peran 
provinsi dan kabupaten. Sebab, selam aini peran-peran kecamatan juga tidak peran optimal. 
Padahal miliki kewajiban melakukan pendampingan,. Soal ketimpangan perolehan dana desa juga 
terjadi di Lobar, seperti desa Dopang yang hanya peroleh Rp 288 juta. Desa tersebut memiliki potensi besar dari desa lain yang memperoleh diatas Rp 300 juta. “Kesenjangannya jauh, tetapi tidak pernah dievaluasi,” bebernya.
Syahril juga mengungkapkan Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak yang tidak pernah diberikan Pemda 
Lobar. DBH yang tidak dibagikan ke desa tersebut sejak 2009 - 2012. 
“Sampai saat ini belum ada. Yang dibayar hanya sejak tahun 2013. Padahal itu kewajiban Pemda,” 
pungkasnya. 
Direktur Samanta, Dwi Sudarsono menegaskan ranah ideologis soal desa ini harus juga diselesaikan, selain soal teknokratisnya. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah memiliki kerangka yang jelas 
untuk membangun ideologi ini. Jika hanya bicara soal angka, maka rohnya tidak akan diperoleh.
Peningkatan alokasi anggaran tidak akan menjamin penurunan kemiskinan secara signifikan. Siapa 
yang memperoleh manfaat kue pembangunan ini harus terjelaskan. Aspek perencanaannya harus 
tuntas, setiap program yang dilaksanakan hatus jelas manfaatnya bagi warga miskin. Selam ini 
penyakit dari kebijakan radikal seperti dana desa ini, seringkali pemerintah pusat lepas tangan, tidak mau repot, padahal ini pekerjaan yang luar biasa. “Saya sendiri tidak optimis dana desa ini 
dampaknya signifikan. Jika Kalaupun ada desa yang siap bisa dihitung dengan jari,” tandasnya.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaipuddin juga menekankan soal keterbukaan informasi di desa. Ada instrumen di UU Pemda yang bisa dimanfaatkan yakni Lemabag Kemasyarakat Desa. Soal kendala regulasi ini juga harus dituntaskan suapa orang did esa tidak jadi korban. “Kasian orang 
terbaik di desa bisa kena kasus,” terangnya. 
Sementara itu, Budayawan Dr Salman Faris memprediksi, apa yang jadi tujuan dana desa akan gagal.Sejak awal tertatih-tatih, sehingga banyak masalah. 
Saat ini dalam prakteknya, DPR RI saja butuh banyak staf ahli, apalagi desa di pemerintahan desa. 
Diperlukan upaya menggerakkan, hukum dalam rangka akomodasi, rekognisi dan subsidiaritas. Penguatan sosialisasi harus dilakukan, tidak hanya di lingkup Pemdes. 
“Sosialisasi UU Desa harus tembus wilayah kemayasrakatan luas,” tandasnya. 

-------------------------------

Ada banyak ragam pandangan soal hadirnya UU Desa dan implementasinya, dalam diskusi 
#forumwiken Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan Somasi NTB. Potret hari ini, patut kita 
pesimis melihat postru belanja desa yang masih belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil 
masyarakat. 
-----------------------------

ANGGOTA DPRD Lombok Tengah Suhaimi memiliki pandangan berbeda soal implementasi UU 
Desa ini. Dikatakan, apa yang disorot pemerintah, LSM, maupun KPK, sedang menempatkan diri 
dalam pandangan “barat”. Jangan sampai, upaya yang dilakukan saat ini justru untuk 
menyeragamkan wajah desa, seperti yang dilakukan zaman Suharto, tetapi dengan cara baru. 
Contohnya, ketika ada kritik soal Desa Bukate Lombok Tengah, yang seluruhnya aparaturnya 
memiliki hubungan keluarga, dan dianggap negatif, justru keliru. Sebab, hampir semua warga di 
Bunkate memang pada dasarnya berkeluarga. Sebab merupakan kampung besar yang sejak awal 
hanya dihuni keturunan keluarga tertentu.
“Jangan sampai memandangs emua sesuai pikiran modern kita saja,” tandas Ketua DPC PDI 
Perjuangan Lombok Tengah ini.
Suhaimi berharap Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi 
NTB bisa memfasilitasi kabupaten untuk membuat regulasi yang lebih sesuai dengan keadaan daerah, khususnya nafas orang desa. Sebab, selama ini, regulasi yang dibuat Pemda justru hanya sekedar 
ratifikasi dari aturan di atasnya, tanpa ada ketentuan-ketentuan khusus yang  tentu tidak bertentangan 
dengan aturan di atasnya.
Sedangkan, aktifis Keterbukaan Informasi Lalu Busyairi menganalogikan, keberadaan dana desa ini seperti air bah. Semua dibawa, air, lumpur bahkan batuan dan sampah. Namun Busyairi yakin, pada saatnya air kotor akan hilang dan tinggal air bersih. 
Menurutnya, tools utama mewujudkan air bah menjadi air bersih ini adalah transparansi. Pengalaman menunjukkan, alam gelap selalu terang dengan keterbukaan informasi. Berbagai pembenahan layanan publik yang didorong melalui keterbukaan informasi.
Harus ada peta jalan mewujudkan transparansi ini. Dan tentu pemerintahlah yang harus memulainya, khususnya dari BPMPD NTB dan Kabupaten/Kota. NTB sudah memiliki modal besar dengan status 
sebagai juara I nasional keterbukaan informasi publik.
“Kesalehan ini harus juga ditunjukkan dalam dana desa ini di BPMPD. Jangan ada usta diantara kita,” tandasnya.
Kata Busyairi, BPMD jangan hanya melatih aparatur desa saja,tetapi juga warga. Sebab, dengan 
masarakat yang kuat, akan membantu mendorong keterbukaan informasi. Adanya partisipasi publik 
akan sangat meringankan pekerjaan BPMPD. 
“Jika masyarakat sudah mengontrol, maka akan efektif,” bebernya.
Sementara itu, Peneliti Fitra NTB Ramli memberikan hasil riset yang dilakukan Fitra NTB dengan melakukan cheking APBDes. Dari fakta ini bisa mengambil justifikasi, apakah kita patut pesimis atau optimis dengan keberadaan dana desa. Jika dilihat dari postur distribusi, sebagian besar dana desa 
yakni 70 persen dana desa terdistribusi di Indonesia bagian barat, NTB hanya kebagian 1,5 persen.
Tentu terlalu prematur jika mengatakan dana desa bisa efektif atau tidak menurunkan kesmiskinan, 
apalagi hampir 50 persen penduduk miskin ini ada di desa. Dari riset yang dilakukan, ada sejumlah 
kabupaten yang komitmennya lemah mengimplementasi UU Desa, seperti Dompu, Lombok Tengah 
dan Sumbawa Barat. Sebab, tiga daerah ini tidak mengalokasikan dana sesuai dengan amanat UU 
Desa. “Harusnya ini hak desa, tetapi tidak diberikan,” tandasnya.
Jika melihat postru APBDes dari sampel dua desa, Desa Wanasaba, 57 persen APBDes berasal dari 
dana transfer. Itupun, dana swadaya, sebagian besar berasal dari bantuan warga yang diuangkan. Dari sisi belanja, 53 persen dana digunakan untuk pembanguanan desa, tepatnya 90 persen untuk 
perbaikan jalan. Sedangkan untuk pendidikan dan kesehatan dialokasikan hanya 0,6 persen. Dan 
penyelenggaraan desa mencapai 36 persen.
“Yang besar alokasi belanja kendaraan kadus, jauh lebih besar dibandingkan sektor pendidikan,” 
bebernya.
Fitra juga menganalisis APBDes Desa Batu Tulis Lombok Tengah. Postru APBDes desa ini 98,3 
persen berasal dari dana transfer. 43 persen digunakan untuk tunjangan aparatur desa. Pembanguan 
desa hanya 39 persen, salah satu kegiatannya adalah penembokan makam desa, yang merupakan 
penggunaan terbesar dana pembangunan desa.
“Jika kita lihat APBDes, postru anggaran untuk kemiskinan sangat sedikit. Kebanyakan untuk 
infrastruktur dan aparatur desa saja. Jika begini potretnya, saya rasa, kita bersepakat kelompok 
pesimis,” tuturnya. (*)

No comments:

Post a Comment