Lahirnya Peraturan Gubernur ( Pergub) 35/2013 tentang Pelayanan Publik sebagai respon Pemprov NTB untuk pembenahan layanan publik di NTB. Bagaimana implementasi Pergub ini. Berikut ulasan diskusi yang dinisiasi Bale Informasi-Teknologi-Edukasi ( ITE) Bappeda NTB bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum Reform.
------------------------------ -------
RAPOR kinerja pelayanan publik di Provinsi NTB, khususnya di lingkup Pemprov NTB menjadi pembuka paparan yang disampaikan Kepala Perwakilan Ombudsman NTB Adhar Hakim. Meskipun bukan hasil penilaian baru, yakni temuan 2013-2014, namun masih dianggap relevan. Penilaian berdasarkan kenampakan kelengkapan pelayanan mengacu UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Ada 16 unit satuan kerja yang dijadikan sample dalam penilaian Ombudsman. Terutama satuan kerja yang dekat dengan pelayanan masyarakat. Saat dilakukan pemantauan awal, hasilnya cukup mengejutkan, dari 16 satuan kerja, hanya satu satuan kerja yang dianggap kategori baik (hijau), yakni Dinas Pendapatan Daerah (Samsat). Dua satuan kerja di level kuning yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BKPM-PT) dan Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB.
PELAYANAN : Kepala Perwakilan Ombudsman RI Prov NTB Adhar Hakim saat memberikan paparan bersama Kepala Biro Organisasi Setda NTB Tri Budiprayitno. |
Usai pemantauan awal, Ombudsman kemudian melakukan asistensi untuk pembenahan. Dan hasilnya, enam satuan kerja dalam zona hijau, hanya satu satuan kerja masih merah, yakni Dinas Pekerjaan Umum, sedangkan sisanya masuk zona hijau.
Dalam diskusi ini, hadir juga Kepala Biro Organisasi Setda NTB Tri Budiprayitno memberikan paparan soal implementasi Pergub 35/2015. Pria yang akrab disapa Yiyit ini juga memberikan klarifikasi terhadap sejumlah temuan Ombudsman, salah satunya mengenai pelayanan di Bidang Perhubungan Udara Dishubkominfo yang tidak memiliki ruang tunggu, Air Conditioner, dan televisi, layaknya ruang tunggu yang layak. Sebab, dalam setahun, jumlah pemohon layanan di Bidang Perhubungan Udara tidak lebih dari 12 pemohon per tahun, sehingga dianggap tidak membutuhkan fasilitas lengkap seperti layanan di SKPD lainnya. “Saya rasa perlu ruang diskusi dalam proses penilaian tersebut,” ujarnya.
Kata Yiyit, berbagai jenis pelayanan termasuk pelayanan informasi juga sudah diberikan optimal. Salah satu capaian adalah posisi NTB sebagai Pemda paling terbuka se NTB. Termasuk membentuk Desk Pengaduan dan Pos Pengaduan seperti yang diwajibkan dalam Pergub 35/ 20013. Ada juga SMS Center, dan semua keluhan dan aduan, diupayakan untuk ditindaklanjuti oleh SKPD teknis.
Diakui, sejak diterbitkan, pelaksanaan Pergub 35/2013 belum optimal, disebabkan berbagai kendala, mulai isi pergub yang sangat detail membuat kesulitan pelaksanaan, hingga ketersediaan anggaran dan sumberdaya manusia.
Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaifuddin Gayep yang turut menjadi salah satu penyusun Pergub Yanlik ini mengungkapkan, penyusunan Pergub ini diakui didorong dari kalangan civil society. D iharapkan, bagaimana instrumen hukum ini sebagai bentuk kepastian hukum publik memperoleh hak-haknya. Keberadaan UU 25/2009 sebagai senjata bagi masyarakat, pasca-diperlakukan semena- mena selama orde baru.
Meskipun sudah lahir UU 25/ 2009, tidak serta merta paradigma lama pemerintah berubah. Dari pola dilayani menjadi melayani. Perkembangannya masih pasif, masih sebatas pemenuhan SOP, SPM, secara fisik aturan semata, namun bagaimana realitasnya belumlah optimal. “Kita harapkan kinerja pemerintah bisa baik, tidak hanya aksesoris,” bebernya.
Ada juga Direktur Samanta Dwi Sudarsono yang turut memberikan pandangannya, terkait pelayanan publik di NTB. Salah satunya soal bagaimana ruang pengaduan On The Spot, yakni ada semacam isian ketika orang usai mendapatkan layanan. Sehingga ada respon langsung.
Menurut Dwi, ada distrust yang tumbuh di masyarakat, sehingga malas untuk mengadu. Adanya aduan On The Spot ini bisa memberikan ruang lebih. Jika ada perhatian lebih dari pemerintah, maka bisa merubah budaya warga untuk mengadu. “ Soal anggaran saya rasa betul. Tanpa anggaran baik, tidak akan optimal,” terangnya.
Bagaimana pelibatan CSO ( Civil Society Organization) juga penting untuk diajak kolaborasi dalam implementasi. Jangan hanya, dilibatkan dalam penyusunan regulasi saja. “Soal implementasi ini sering jadi masalah. Jangan Pergub, Perda saja banyak yang tidak dilaksanakan,” bebernya.
Soal Desk Pengaduan dan Pos Pengaduan yang dibentuk Biro Organisasi Setda NTB ini juga ditanggapi Redaktur Lombok Post Fathul Rakhman. Seharusnya, kata Fathul, ruang pengaduan tidak hanya diidentikkan dengan kotak atau ruangan. Tetapi perlu juga bagaimana memanfaatkan dunia maya. Diperlukan trobosan meskipun sederhana, seperti Bupati Purwakarta dengan trobosan Pilkades sehari dan langsung dilantik, membuatnya populer sedunia.
Pria berlatar pendidikan Kesehatan Masyarakat ini juga memberikan pandangan soal pelayanan di RSUP NTB. “ Banyak SOP. Tetapi dilupakan, yang dilayani manusia. Tidak cukup dokter spesialis yang hebat, jika tidak pernah tersenyum,” paparnya.
Koordinator Sub-Office Mampu Yayasan BaKTI Provinsi NTB Nurjanah juga mengusulkan layana pengaduan via online, agar partisipasi masyarakat bisa lebih luas. Minimnya jumlah pengaduan, tentu bukan hal positif, sebab bisa jadi pengelolaan pengaduannya yang tidak optimal.
Perempuan berjilbab ini juga mengusulkan bagaimana dibentuk sukarelawan pengaduan. Yakni bagaimana ada pihak yang mengorganize pengaduan. Khususnya di pelayanan-pelayanan vital seperti Imigrasi, LTSP, Pengadilan, Lapas dan lainnya.
“Warga biasanya hanya ngedumel, namun tidak tersedia ruang layanan pengaduan yang baik,” tandasnya.
Keberadaan regulasi berupa Perda Yanlik juga penting didorong. Di Kota Mataram, hingga saat ini belum ada Perda Yanlik, meskipun sudah pernah masuk Prolegda, namun tidak pernah dibahas. Biasanya pemerintah lebih mendaulukan ragulasi terkait retribusi.
“Bagaimana sosialisasi luas terkait Pergub ini perlu dilakukan. Agar bisa mendapat pengawalan dan respon banyak pihak,” pungkasnya.
------------------------------ ----------------------
CSO Dorong Pembenahan Yanlik Agraria, Pemprov Siapkan SPM Award
------------------------------ ----------------------
ZUKI Juarman, perwakilan Agra NTB yang turut hadir dalam diskusi mengungkap soal bagaimana pelayanan publik di sektor pertanian juga perlu diperhatikan. Salah satunya soal akses lahan, apalagi banyak sengketa lahan yang membuat petani kehilangan lahan.
“Pertanian ini sektor paling pokok. Ini menentukan ekonomi dan kebutuhan ekonomi daerah kita,” bebernya.
Dari aspek pelayanan publik, kata Zuki, petani cenderung tidak memperoleh hak sosial ekonomi yang baik. Seperti banyak kasus yang terjadi di pulau Lombok maupun Sumbawa. Advokasi terus dilakukan agar petani bisa memperoleh legalitas atas lahan, namun perilaku birokrasi seperti pemain bola Lionel Messi. “ Birokrasi cenderung menggering-giring bola. Padahal mereka bukan pemain bola,” tandasnya.
Dikatakan, ketika soal tanah ini tidak ada jaminan kepastian hukum, maka semakin lama semakin banyak petani kehilangan lahan, dan berhadap-hadapan dengan perusahaan.
Bagaimana soal sektor agraria ini juga diungkapkan Ketua Serikat Petani Indonesia NTB Wahidjan.. Soal tanah merupakan soal vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wahidjan yang juga bergelut dalam advokasi hukum kerap menyaksikan bagaimana pelayanan pembuatan sertifikat tidak adil antara warga biasa dan warga kelas atas. Dicontohkan di Sumbawa. “Coba bayangkan orang cacat urus sertifikat. Kita saja yang sarjana hukum, hafal mati undang undang, peraturan pemerintah. Tetapi tetap saja ruwet,” bebernya.
Menanggapi berbagai soal yang terungkap dalam diskusi, Kepala Perwakilan Ombudsman NTB Adhar Hakim mengakaui soal agraria yang masih marak. Bahkan, kasus pertanahan menempati rangking kedua pengaduan di NTB. Bahkan, tidak hanya warga biasa yang mengeluh, kepala daerah yang hendak mensertifikatkan aset daerah juga mengeluh soal pelayanan BPN.
Ombudsman juga tidak lepas dari intervensi unuk pembenahan, seperti di Lombok Barat mulai ada perubahan. Bagaimana mafia tanah menggerogoti hutan juga terjadi di kawasan Sekaroh Lombok Timur.
Kata Adhar, soal pertanahan ini soal sistemik, salah satunya soal biaya ukur yang tidak disediakan negara, dan tidak memiliki tarif yang jelas. Dan Ombudsman mendorong agar biaya ukur tanah ini dimasukkan menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga legal dengan tarif jelas.
Kalangan petani juga diakui menjadi warga yang masih termarjinalkan, bahkan bersama oknum pegawai pemerintah di lapangan menjadi bagian dari rantai mengeruk keuntungan kelompok atau pribadi.
Sementara itu, Kepala Biro Organisasi Setda NTB Tri Budprayitno menuturkan, kedepan pihaknya akan melakukan lomba inovasi pelayanan publik, yakni SPM Award. Momentum Hari Ulang Tahun Provinsi NTB akan dimanfaatkan untuk menghelat kegiatan ini.
Soal pelayanan sertifikat tanah, Tri mengatakan, Pemprov NTB sudah berupaya mendorong agar perbaikan pelayanan terus dilakukan. Salah satunya ketika Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bertandang ke NTB, Gubernur mengarahkan kunjungan ke BPN. Hal ini untuk memastikan pelayanan bisa lebih baik. (*)
No comments:
Post a Comment