SOAL kesatuan data kerap menjadi soal, dan muncul setiap kali ada pembahasan program pemerintah. Namun selama itu pula tidak pernah ada penanganan serius yang dilakukan. Seharusnya pemerintah memiliki sistem informasi terpadu yang dinamis untuk penyusunan perencanaan dan implementasi program.
Soal data ini pemerintah pada dasarnya sudah memiliki instrumen yang cukup untuk mengurus segala jenis soal mengenai data dan informasi ini. Tetapi tidak kunjung selesai. Begitu juga soal- soal desa ini sudah ada kelembagaan yang jelas di atas pemerintahan yang mengurusnya.
Berbagai soal ini didiskusikan dalam # forumwiken yang diselenggarakan Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan sejumlah NGO di Lombok Tengah seperti Lesa Demarkasi, Konsorsium LSM Loteng, yang menjalankan program SAPA ( Strategic Alliance for Poverty Allevation).
Ilustrasi pemanfaatan sistem informasi dalam memudahkan berbagai hal.foto by : |
Kabid Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara yang hadir mewakili Kepala BPMPD NTB, mengakui pentingnya peran sistem informasi desa ntuk perencanaan pembangunan, terut ama meningkatkan pelayanan di desa. Hanya saja, belum ada data lengkap yang akurat. Dari sisi regulasi sudah ada P ermendagri khusus tentang penyusunan profil desa kelurahan, namun belum optimal. Data yang ada masih sebatas pelayanan penduduk. Padahal, dalam Permendagri juga diatur bagaimana potensi desa juga ada dalam angka. “Bi asanya kecamatan menunjuk kalau ada lomba desa. Jadi secara tergesa-gesa data profil itu diisi dan dibuat,” paparnya.
Soal apa upaya BPMPD?. Kata Irman, pihaknya akan bekerjasama dengan Kompak ( Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan) yang disuport AusAID. Utamanya mengadvokasi pembuatan perencanaan desa berbasis data yang lengkap dan akurat untuk membantu aparatur desa untuk mengelola SID. “Kompak bersedia membantu program pemerintah dalam bidang sistem informasi desa,” paparnya.
Kepala BPS NTB Wahyudin juga turut hadir dalam diskusi ini. Dikatakan, BPS melaksanakan pendataan potensi desa, dilaksanakan 3 tahun sekali, terakhir 2015 dan akan dilakukan 2018 nanti. Pendataa n ini mirip dengan profil desa. Untuk ketersediaan data ini, Desa sebenarnya memiliki satu arsip kuisioner yang sudah diisi petugas. Sehingga Desa memiliki data lengkap mengenai desa masing-masing. “ Banyak visi yang bisa kita dapat dalam potensi desa itu. Mirip dengan profil desa. Itu bisa dipakai oleh teman-teman di desa sebagai data dasar,” paparnya..
Wahyuddin juga memaparkan mengenai bagaimana BPS memproses pendataan kemiskinan. Sejak tahun 2005 B PS melakukan dua model pendataan. Terbaru melakukan pendataan data mikro, dengan adanya profil berdasarkan by name by adresse. Dan setiap tahun diperbaharui. Sejak 2011 pemerintah meminta pendataan 40 persen masyarakat garis ekonomi terbawah. Di NTB, dari dari 1, 25 juta rumah tangga, sekitar 802 sudah didata. “Data inilah yang dipakai untuk pembagian raskin dan program perlindungan sosal lainnya,” bebernya.
Dan yang terbaru sudah dilakukan pendataan tahun 2015 , dan hasilnya sudah diserahkan ke TNP2K. Berbagai indikator kemiskinan seperti perumahan, mulai dari jenis lantai, atap, sumber air minum, cara memperoleh air minum, penerangan, bahan bakar untuk memasak, sumur, dan sebagainya. “Banyak sekali informasi yang bisa dipakai sebagai
Rujukan. Berapa orang bergerak di sektor peternakan, dan lainnya juga ada,” pungkasnya.
Kabid Sosial Budaya Bappeda Lombok Tengah Lalu Satria Utama juga ikut memberikan pandangannya. Soal data tidak akan ada ujungnya, sampai sekarang. Dalam upaya konsolidasi penyusunan SID ini sudah ada upaya kuat di level kabupaten khsususnya di Lombok Tengah, salah satunya dengan suport teman-teman NGO yang tergabung dalam program SAPA sudah menginisasi pendampingan penyusuan SID ini. “Cuma, anaknya punya keinginan, ibunya tidak. Ini masalahnya. Kenapa begitu. Ibaratnya, keinginan baik dari provinsi itu belum ada,” tandasnya..
Pengelolaan data level desa sebenarnya dari awal sudah ada, ada program NGO tetapi keinginan melanjutkan tidak ada. “Soal Kompak belum tau, k arena belum masuk, tapi SID ini terasa sekali. Kenapa? Karena kabupaten-kabupaten di luar NTB datang berkunjung. Mereka datang melihat praktik SID. Sudah tiga tahun saya mengusulkan untuk difasilitasi Provinsi terkait SID, tapi tak ada kelanjutan,” jelasnya.
Satria menginginkan adanya satu sistem terkait SID ini, tidak berbeda-beda. Sekarang ada Kompak, ada lagi yang lain, sehingga tidak nyambung. Seharusnya ada roadmap terkait SID ini.
Direktur Lesa Demarkasi Hasan Masat memaparkan, sudah dua tahun Lesa Demarkasi bekerjasama dengan Ford Fondation menjalankan program SID termasuk juga dalam upaya pengentasan kemiskinan. “SID ini bukan semata-mata aplikasi. Tapi diharapakan menjadi sistem yang berkembang dari desa,” ungkapnya.
Dalam upaya membantu Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TPKD) di Lombok Tengah, ada 70 desa tem pat pelaksanaan program. MAsyarakat sangat mengapresiasi program ini, masalah yang dihadapi adalah sarana dan prasarana yang terbatas. Namun dari keterbatasan yang ada muncul inisiatif yang luar biasa.
desa yang kami bina, sudah muncul inisiatif yang luar biasa.
Integrasi data dari desa belum punya titik, diharapkan kedepan ada fokus ke masyarakat. Bagaimana sinergit as program. Sebab selama ini d ata yang ada sering tidak digunakan Bappeda. “Mungkin karena kondisi kepentingan politik, bansos, dst. Sehingga SID tidak berintegras i ke program kebijakan,” bebernya.
Hal lain soal penggunaan anggaran dana desa. Di Lombok Tengah ada 13 kepala desa jadi tersangka kasus korupsi. Kewenangan BPD yang dipangkas dalam UU Desa juga jadi masalah, sehingga BPD tidak memiliki kewenangan monitoring. “Tapi saya senang, masyarakat sudah berinisiatif melaporkan kalau ada masalah,’ ungkapnya.
Perbedaan Data Wajar, Sinergitas Diperlukan
Kepala Sub Bidang Pengelolaan Data Bappeda NTB Abel Hatuina memberikan tanggapan atas sejumlah sorotan yang muncul dalam diskusi. Dikatakan, sist em informasi ini pada dasarnya, dasar hukumnya sudah tersirat dalam UU 23/ 2014 tentang Pemda. Seluruh perencanaan harus berdasarkan sistem informasi pembangunan daerah.
“Kalau membahas sistem informasi. Tidak usah bahas perbedaan. Karena memang banyak perbedaan, termasuk soal definisi kemiskinan,” ungkapnya.
Saat pendataan, indikator penting jika ingin membandingkan hal yang satu dengan yang lain. Dalam pendataan, asumsinya dianggap semua sama, padahal kebutuhan berbeda-beda. Hal inilah yang memunculkan ada yang puas dan tidak puas. Jika indikatornya beda, maka data tidak akan bisa dibandingkan.
Yang terjadi selama ini, lanjutnya, setiap lembaga yang membuat sistem informasi, sebab masing-masing ada ego yang kuat. Contohnya di pemerintah pusat. Di level kementerian sudah banyak sistem informasi yang dibuat, masalahnya apakah mau dibuka untuk disharing atau tidak. “A sal mau dibuka sistem dasarnya, kita bisa saling con ect. Harapannya, Kominfo bisa memfasilitasi ini,” tandasnya.
Abel kemudian memperlihatkan sistem informasi yang sudah dibuat Bappeda NTB, dengan memanfaatkan data dari PPLS. Dilakukan pengolahan lanjutan, sehingga menghasilkan data kemiskinan berbasis spasial. Sehingga per desa bisa dilihat sesuai kategori yang diinginkan, berapa jumlah kepala keluarga erempuan per desa, dan lainnya.
“Kita bermain dengan pengolahan data yang besar. Bagaimana kapasitas penyimpanan kita? Ini baru agregasi, sudah sangat besar. Yang jadi soal juga bagaimana meng-updatenya data ini,” paparnya.
Sementara itu, peneliti program SAPA Lombok Tengah Tahmayati memeparkan adanya kendala penerapan SID ini di level desa, salah satunya soal belum adanya regulasi yang pasti. Termasuk juga soal sinergitas data dan indikator yang disusun. Dalam penentuan kemiskinan, BPS suda h memiliki indikator, tetapi desa juga ingin adanya indikator lokal juga diakomodir. Sebab, masing- masing desa punya karakteristik kemiskinan yang berbeda. Salah satu indeks yang dibuat SAPA soal kemiskinan juga dikutur dari kurangnya jumlah kali piknik warga. Sehingga indeks kesejahteraan masyarakat masih dianggap kurang. Ada juga versi desa mengusulkan indikator “haji” sebagai salah satu indikator. “Kalau sudah naik haji, ada prestise sosial. Kita mau dorong, beranikah seorang haji mengaku miskin agar dapat raskin,” tandasnya.
Belajar dari pengalaman program, lanjut Rahmayati, den gan SID yang ada, pembuatan surat sangat cepat, tidak sampai lima menit. Dan lebihnya, dia langsung meng- update data kependudukannya. Misalnya urus surat nikah dan pindah, langsung ter-update bahwa dia sudah pindah dari desa itu. Dengan adanya SID ini, maka penurunan kemiskinan juga akan lebih tepat, sebab data yang digunakan lebih akurat.
“Saat ini, provinsi pakai data hasil BPDT, kabupaten dari Dinas Sosial, desa punya data mikronya sendiri, karena mereka punya dana desa untuk dikelola. Bisa tidak data- data ini diintegrasikan?,” ungkapnya.
Peneliti InSkrip NTB Badrun AM juga turut memberikan pandangannya. Dalam melihat data ada dua kaca mata, yakni data sebagai realitas dan data sebagai perspektif. Jenis data pertama ini negara yang melakukan, sebab sensus itu berbiaya mahal dan dilakukan sekali 10 tahun. Adanya SID menawarkan adanya data yang riil time karena terus di-udate. Skema mengintegrasikan SID harus jelas, apakah ditangani Pemda atau pemerintah pusat. “Saya sepakat dengan BPS, kita tak ada masalah dengan data,” bebernya..
Yang sering jadi soal, data sebagai perspektif. Ini tergan tung indikator yang dia pakai. Bagi Badrun, kemiskinan bukan semata-mata soal rezim data, tapi soal rezim perencanaan. Desa itu seperti terminal, bak sampah, banyak skema anggaran yang datang ke desa. Ditaruh uang di desa, tapi masyarakat tak pernah berubah. “Di mana masalahnya? Menurut saya, ada di system perencanaannya di Bappeda. Tidak pernah sejahtera masyarakat desa,” bebernya.
Penliti Somasi NTB Hendriadi Jamal mengungkapkan, jika meru juk mandate pasal 86 UU Desa sudah jelas. Pemerintah dan Pe mda wajib mengengembangkan sis tem informasi. Artinya, pemerintah harus menyediakan, jadi bukan kewajiban desa, harus digarisbawahi. Kalau menjadi kewajiban, sarana, sumber daya yang ada, harus diperkuat pemerintah kabupaten.
“Kalau tidak, ini akan menimbulkan kemiskinan informasi, yang selanjutnya menimbulkan kemiskinan lainnya ,” tegasnya. “Kita buat sederhana ini persoalan. Kita pakai kearifan lokal. Kita mau pakai berugak, mesjid, kentongan, apa saja, yang penting bisa diakses,” tambahnya.
Direktur Hamzanwadi Institute Dr Salman Faris juga memberikan penegasan. Ada dua prinsip terkait data ini yakni, benar dan nyata. Jika m embuka definisi data, akan ber beda. Dan yang jadi masalah di Indonesia ini, datanya benar tapi tak nyata. Ada juga dia nyata tapi tak benar. “Ini persoalan kita,” tandasnya.
Ada berbagai soal, ada soal dalam memperoleh data, ada juga soal klasifikasi data. Soal metode bisa tidak diragukan, tetapi seringkali observasi menjadi hal yang terbaikan. “Datang langsung ke lokasi. Langsung dapat data. Benar angka kemiskinan kita turun, tapi tak nyata,” bebernya.
Terkait system data, Salman mengapresiasi inisiatif ini. Namun perlu diingat, sistem da ta ini secara prinsipil adalah digitalisasi dunia. Orang tak perlu lagi keluar rumah, dia sudah punya informasi komprehendif tentang dunia. Pe rsoalannya, orang miskin di desa tak tahu soal digitalisasi ini. Sehingga ketika ada program atau proyek korporasi, mereka hanya jadi korban. Oleh karena itu, BPS dan BPMPD tak boleh terpisah dalam membangun paradigm ini. BPS mendigitalisasi dunia, BPMPD bertugas menyiapkan supratstruktur.
Direktur M16 Bambang Mei Finarwanto mengingatkan, soal data ini dari perspektif intelejen. Dikatakan, dalam setiap hubungan apapun, pasti ada balance, take and give. Dalam konteks SID ini, dikhawa tirkan semua data tebuka, sehingga betapa mudahnya Indonesia akan dipetakan negara lain. Harus juga dipikirkan data ini bisa dimanfaatkan pihak lain. Sebab, kita tidak bisa mengakses data negara lain. “D engan keterbukaan ini, saya rasa, perlu dipikirkan savety- nya. Bagaimana nanti kalau terjadi apa-apa? Siapa yang yang melindungi itu,” tambagnya.
Akademisi Unram Lalu Syaifuddin Gayep menegaskan, c ara dan mekanisme. Tapi tak memikirkan solal mendasar, keterbukaan informasi ini sebagai ideologisasi. Tidak mengedepankan, bagaimana public supaya mengerti apa pentingnya keterbukaan informasi ini. Ini penting. Jadi tak berhenti pada cara atau alat.
Aktifis perempuan LARD NTB Mah mudah Kalla menuturkan pengala mannya dalam sensus pertanian. Mungkin ini bisa memberikan factor data-data tersebut. Saya menemukan lagnsung yang diberikan program, kan beda tujuan, ingin mendapatkan data yang akurat. “Tapi teman- teman yang hanya mengejar program uang, dia cepat sekali mendapatkan data. Tidak sama dengan kami,” bebernya.
Kepala BPS NTB Wahyudin menanggapi berbagai paparan yang disampaikan. Disimpulkan, betapa Sistem informasi data itu sangat penting. Bisa untuk eksekusi program. Ini lebih kepada, bagaimana kelanjutan dari pengelolaan sistem ini. Sebab sudah banyak sekali, apakah Sapa, Kompak, membuat hal yang mirip dengan ini. Tapi, begitu Sapa keluar, berhenti program itu. Tidak ada keberlanjutan.
Tadi disampaikan teman dari Loteng. Data-data yang ada tidak selaras. Kalau kita menganalisis dari data yang ada. Secara NTB, saya belum pernah menemukan data 75% partisipasi Pilkada. Kenapa? Karena yang masuk dalam daftar itu, teman-teman kita di Malaysia masuk di situ. Saya coba kalkulasi, sekitar 20% dari daftar itu ada di luar.
Lalu soal pendataan. Soal pendataan, tidak pernah ada kepala dusun diberikan pencerahan apa yang dimaksud dengan pendataan. Satu kuesioner bisa bermacam-macam interpretasinya. Tapi kita lakukan pelatihan untuk menyamakan persepsi apa yang dimaksud dengan kuesioner itu. Selama lima hari itu. Kita punya system untuk bisa mendapatkan data dengan akurat.
Lalu soal data dasar. Jadi akan jadi tugas teman-teman ketika membuat SID, di samping data yang nasional, sisanya yang mungkin perlu dicari data basenya. Itu barangkali yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.
Sementara itu, Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara menjekaskan, sebena rnya pemikiran kita sama bagaimana menggali, mendiskusikan SID ini, belum ada SID dan kawasan desa yang terintegrasi. “Diskusi ini ada titik terang. Kami akan bersinergi dengan Bappeda dan BPS,” pungkasnya. (*)
No comments:
Post a Comment