Tuesday, 27 September 2016

MENGGUGAH ENTERPRENEURSHIP KAUM MUDA

Diskusi #forumwiken kali ini, mengangkat tema membangkitkan interpreneurship kaum muda” bekerjasama dengan Pengurus Wilayah Pemuda Nahdlatul Wathan NTB. (2/10/2015)
 ---------------------------
 Ada tiga pelaku usaha yang dihadirkan, untuk berbagi pengalaman, tips dan trik, serta motivasi kepada peserta untuk terus membangkitkan semangat berwirausaha. Yakni pengusaha oleh-oleh berupa kue kering Nutsafir, yakni Sayuk Wibawati, Owner Jamu Sasambo Nazrin, dan Pengusaha laundry dan Sembako Ahmad Syarif Husein yang juga Ketua Pemuda Nahdlatul Wathan NTB.

Diskusi #forumwiken dengan tema "Membangkitkan Interpreneurship Kaum Muda"

Bagaimana jatuh bangun usaha oleh-oleh yang dirintis, diawali dari Sayuk Wibawati. Banyak tantangan yang dihadapi, tidak hanya kue yang dipasarkan sempat tidak laku, tetapi juga tantangan dari suami yang sempat menentang usahanya. Sebab, lembur semalaman membuat kue, menghasilkan keuntungan yang kecil. Sayuk sempat mau menyerah, namun berkat tekad yang kuat akhirnya mampu menjadi seperti saat ini. “Sabar dan tawakal, mental dulu siapkan,” tandasnya di depan para peserta, Jumat lalu (2/10).
Memulai bisnis, perlu dari planing usaha, tidak mesti usaha yang dbuka, sesuatu yang baru, yang tidak ada sekali pesaing. Hal pokok adalah inovasi usaha, bagaimana memainkan brand, kemasan dan lainnya. “Jangan takut buat usaha,” terangnya. 
Figur Sayuk bukanlah orang yang berpendidikan tinggi, meskipun sempat kuliah di STKIP Hamzanwadi Selong, namun drop out. Sayuk juga bukan figur yang gaul, orang yang dikenal terbatas pada keluarga saja. Namun dengan usaha keras mampu membuat jaringan luas. Saat memasarkan kuenya ke toko-toko sempat ada perasaan malu, namun dengan tekad kuat, akhirnya berhasil.
Kue kering yang diproduksi Sayuk, bukanlah kue baru, tetapi kue tradisionel sejenis tempani. Namun dengan inovasi, terinspirasi dari masyarakat Lombok yang suka makan biji-bijian seperti Lebui, Tolang komak, dan lainnya, akhirnya biji-bijian lokal inilah yang dijadikan bahan baku. Kini sudah ada tujuh rasa yang diproduksi, diantaranya rasa kopi, biji mete, melinjo, jagung, dan lainnya.
Sayuk tidak takut menjual kue yang diproduksi dengan harga yang lebih mahal. Juga tidak takut tersaingi, sebab dibanding produk lain, produk Nutsafir memiliki banyak keunggulan.
Prestasi usaha sayuk terbilang moncer, sebab hanya dalam waktu tiga tahun, mampu bersaing dengan produk oleh-oleh makanan olahan seperti Phoenix yang sudah beroperasi puluhan tahun. Bahkan sudah dijual secara online ke berbagai daerah, tidak hanya itu, tidak sedikit juga daerah-daerah yang sudah menjadi distributor produknya. Dan menjadi salah satu kue official di kantor Wali Kota Mataram.
Nilai tambah yang selalu didengungkan pemerintah, untuk mendorong olahan komoditas, benar-benar secara nyata dipraktekkan Sayuk. Bahan-bahan yang digunakan adalah komoditas lokal yang melimpah, seperti Jagung, Melinjo. Dan berbagai jenis kacang-kcangan lainnya. Sebagai gambaran, harga jagung kering dijual petani berkisar 1.800 hingga 3.000 per kilogram. Namun, Sayuk bisa memperoleh keuntngan Rp 80 ribu hingga Rp 250 Ribu dari per kilogram Jagung yang diolah menjadi kue kering Nutsafir. 
Kemasan yang menarik dan higienis menjadi salah satu nilai lebih yang membuat produk ini laku di kalangan atas. Sayuk juga ikut ambil bagian mempromosikan keindahan pulau Lombok, dengan menempatkan foto-foto destinasi wisata di kemasan produknya.
“Konsumen biasanya tertarik dengan kemasan. Kalau enak maka akan ketagihan,” bebernya.
Soal cara memasarkan, juga dipaparkan Sayuk, mulai dari memperkenalkan kue ke keluarga dan kerabat. Bahkan, kemanapun Sayuk bepergian tidak pernah lupa membawa kue Nustafir. “Lebih jitu iklan mulut ke mulut. Awalnya saya malu bawa kue dan tawarkan ke orang, tetapi karena saya yakin rasanya enak dan orang suka. Saya terus promosikan,” bebernya.
“Modal tidak hanya uang. Mental yang paling perlu disiapkan. Jangan drop duluan. Sayapun sampai saat ini masih suka mengalami hal seperti itu,” pungkas ibu tiga orang anak ini. 

------------------------------------------------
Butuh Kerja Keras dan Kreatifitas, Optimisme Harus Terus Hidup
------------------------------------------------

Menjadi pengusaha bukanlah cita-cita Ahmad Syarif Husein. Berlatar belakang sebagai aktifis buruh dan tani, yang selama ini kerap mengurus soal sengketa pekerja dan majikan. 
Begitu penuturan pengusaha laundry dan beras, Ahmad Syarif Husein saat menjadi salah satu narasumber dalam diskusi #forumwiken Bale ITE Bappeda NTB, pekan lalu.
“Saya menjadi pengusaha, saya rasa hanya kecelakaan saja,” akunya.
Husein menuturkan bagaimana inspirasi menjadi pengusaha bercermin dari diri sendiri, sejak awal malas mencuci pakaian, terinsipari membuka jasa laundry. “Saya berfikir banyak orang seperti saya, malas mencuci, jadi pasarnya pasti ada,” tandasnya.
Awalnya Husein agak ragu membuka Laundry, sebab posisi rumahnya di kawasan Sandik, bukan di jalan utama komplek. Orang lewatpun jarang. Sehingga Husein memeras otak bagaimana usaha bisa jalan. Salah satu yang dilakukan adalah melakukan promosi gencar melalui SMS ke seluruh penghuni perumahan yang ada di Sandik.
Dengan gencar SMS, usaha Laundry yang awalnya ditarget beroperasi 1 November, justru terpaksa harus beroperasi lebih cepat, karena sudah banyak pelanggan yang datang. Awalnya, setiap hari hanya melayani 10-20 kilogram. Tetapi hari ini sudah bisa melayani hingga 150 kilogram per hari. Rencananya, dalam waktu dekat akan membuka cabang di sejumlah tempat, termasuk di Mataram dan Lombok Timur.
“Usaha harus dimulai dengan tekad kuat, tidak mesti ada modal besar. Tetapi harus istikomah yang tinggi,” bebernya.
Sebelum membuka usaha Laundry, Husein juga menjalankan jual beli beras. Peluang yang dimanfaatkan adalah beras yang cukup berat diangkut ibu-ibu, sehingga beras yang dijual sampai di depan pintu pembeli. Jasa antar inilah yang menjadi kunci banyaknya peminat beras. Meskipun harga tidak jauh berbeda, tetapia da servis yang diberikan.
Kondisi ekonomi saat ini diakui menjadi salah satu tantangan, sebab mau tidak mau ada penurunan omzet. Sehingga untuk tetap bertahan, Husein harus melebarkan jangkauan pemasarannya. Sebab, kondisi yang kian sulit, ternyata membuat konsumen kian mempererat ikat pinggang untuk kebutuhan konsumsi.
Soal rugi, menjadi romantika sendiri bagi Husein, bahkan semua pengusaha. “Rugi sekali dua kali itu bisa,” bebernya.
Sementara itu, Nasrin, narasumber ketiga yang hadir. Pemilik usaha Jamu Sasambo ini memberikan semangat membara pada peserta untuk terus menerus bekerja. Pria asal Dompu ini menuturkan bagaimana dirinya yang hanya lulusan SMP, dari pelosok desa di Dompu, dengan latar keluarga yang jauh dari mapan dengan sebelas saudara.
Namun, dengan kerja keras bisa berhasi, bahkan kini memiliki pabrik jamu sendiri dengan omzet miliaran rupiah.
Bagi Nasrin, usaha keras dan sungguh-sungguhlah yang jadi kunci. Dalam paparannya, Nasrin mempertunjukkan video inspiratif kepada peserta, yakni orang cacat tanpa lengan dan kaki, yang bisa melakukan seluruh aktifitas, sendiri tanpa bantuan orang lain. Juga menunjukkan bagaimana optimisme orang-orang cacat yang tetap ingin berprestasi dalam hidupnya. “Kalau kita kan punya kaki, punya tangan, bisa melihat, bisa mendengar. Masak kalah dengan mereka,” bebernya.
Bagi Nasrin, tentu tidak ada sesuatu yang instan, semua butuh proses. Dan jika kita tidak mulai bangkit, maka akan terlindas. Optimisme harus terus dihidupkan, jangan sampai hidup yang sudah susah selalu dibuat susah dengan membuat masalah.
“Kuncinya juga ada di silaturahim,” terangnya.
Antusiasme peserta dalam diskusi ini cukup hidup, ada berbagai pertanyaan yang diajukan, mulai dari hanya sekedar meminta tips and trik, bagaimana menumbuhkan mental, modal usaha, dan lainnya. (*)

No comments:

Post a Comment