Award pulau Lombok yang dinobatkan sebagai World Best Halal Destination dan World Best Honeymoon Destination, menjadi bukti bahwa potensi pariwisata kita tidak main-main. Berbagai debat soal wisata halal ini juga menyeruak. Berikut ulasan diskusi #forumwiken yang digelar Bale Informasi, Teknologi dan Edukas (ITE) Bappeda NTB, November 2015.
-------------------------------
KEPALA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB HL Mohammad Faozal yang hadir dalam diskusi ini. Memulai paparannya dengan penekanan soal pentingnya branding pariwisata sebagai juala. Sebab, tanpa branding yang baik, maka jualan kita tidak laku. Perlu upaya agar jualan bisa berterima pasar. Dampak kongkrit akan terlihat dari angka kunjungan.
Faozal juga tidak lupa memberikan gambaran soal dampak erupsi Gunung Baru Jari yang cukup luar biasa dengan perkiraan kerugian hingga puluhan miliar rupiah. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak, bagaimana Gunung Baru Jari bisa memberikan dampak luar biasa ditengah puncak-puncaknya kenaikan kunjungan.
Faozal kemudian meminta bantuan ke Kementerian PAriwisata untuk mengirimkan 10 media nasional untuk meyakinkan publik, bahwa LOmbok tetap aman meskipun Gunung Baru Jari erupsi. “Kita perlu recovery. Sebab bisnis pariwisata juga bisa lebih kejam dari narkoba. Cerita di luar soal Lombok tidak aman luar biasa,” tandasnya.
AKTIF : Suasana diskusi #forumwiken tentang wisata halal di Bale ITE Jalan Majapahit 12 Mataram. |
Mengenai wisata halal, kata Faozal, merupakan pilihan. Sebab saat ini pasar wisata halal sedang naik daun. Bulan depan, akan ada Expo Halal Tourism di Melbourne Australia, negara yang notabene jumlah muslimnya kecil, justru juga menjadi salah satu pasar.
Begitu Lombok mendapatkan award di Abu Dhabi, maka peta langsung berubah. Malaysia yang awalnya begitu getol memantik pasar halal tourism, harus gigit jari. Padahal, Malaysia memiliki satu pejabat khusus setingkat Direktorat Jenderal untuk mengurus wisata halal ini.
Pasar wisata halal ini bukan hanya timur tengah, tetapi juga negara-negara Eropa. Ada satu setengah miliar warga muslim yang yang akan mencari dan memilih tempat berlibur. Lantas bagaimana kesiapan kita menyiapkan opsi wisata halal. Ini yang harus kita ciba untuk memenuhi standar minimalnya.
Hal ini bisa dimulai dengan hal-hal sederhana, seperti kamar hotel yang menyediakan arah kiblat, ada kelengkapan bersuci, maupun fasilitas dan sarana ibadah yang standar.
Pertama”Standar-standar ini ingin dikembangkan,” bebernya.
Dari sisi regulasi, Disbudpar saat ini sedang menggodok Peraturan Gubernur tentang pariwisata halal ini. NTB harus segera berbenah, sebab 13 provinsi lainnya juga sedang berupaya keras menembak pasar yang sama. Momentum award Best World Halal Tourism ini harus menjadi momentum untuk membenahi diri. Kondisi faktual Lombok sudah sangat menguntungkan seperti keberadaan masjid, ponpes, dan fasilitas religi lainnya.
Kata Faozal, para pelaku pariwisata juga tidak masalah dengan adanya opsi pasar halal tourism ini. Bahkan, ada 15 hotel yang sudah siap dengan wisata halal, dan mulai tahun depan akan dilakukan standarisasi untuk memenuhi standar Hilal 1. Ada 14 tingkatan wisata halal dari sisi fasilitas wisata, bahkan ada juga pasar yang meminta agar pantai yang ada terpisah antara perempuan dan laki-laki.
Selain itu, di restauran hotel tertentu, akan dibuat corner halal, sbagai opsi bagi wisatawan yang ingin menikmati halal food. Juga ada program pemerintah untuk melakukan audit terhadap restauran/rumah makan untuk makanan halal. Pemprov akan membantu sertifikasinya bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB.
Tidak hanya itu, dari sisi desain konsep, perspektif wisata NTB sudah tidak sesuai lagi dengan tabline Visit Lombok Sumbawa. Sebab, saat ini NTB sudah tidak bermasalah dari sisi kunjungan, tetapi justru kesiapan destinasi. Sehingga, tahun depan, Disbudpar akan merubah tagline wisata menjadi Pesona Lombok Sumbawa. Isu utamanya adalah, mampu dan siapkah kita menjadi tuan rumah yang baik?. “Pesona Lombok Sumbawa ini akan menjadi payung semua. Termasuk salah satu di dalamnya adalah wisata halal,” tuturnya.
Berbagai perkembangan positif juga dijelaskan Faozal, salah satunya dimulainya penerimaan mahasiswa baru Politeknik Lombok, yang merupakan satu bagian dari Mandalika Resort. Sembari menunggu kampusnya jadi, para mahasiswa akan berkuliah di gedung Badan Kepegawaian dan Pendidikan dan Latihan (BKD) NTB, seperti halnya Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Meskipun diakui soal berbagai masalah pariwisata tidak dapat dipungkiri, mulai dari runway Bandara Internasional Lombok (BIL) yang belum diperpanjang, sehingga akan bermasalah ketika Garuda Indonesia tidak lagi mengoperasionalkan pesawat Boeing 737 NG, beralih ke Air Bus.
Destinasi juga masih banyak masalah, salah satunya dua Taman Nasional yang ada. Gunung Rinjani masih bermasalah berkutat dengan sampah, manajemen tracking yang belum baik, dan lainnya. Belum lagi soal kerusakan hutan yang massive di Gunung Tambora. “Kita tidak boleh diam dengan hal ini,” tandasnya.
Sinergitas dengan kabupaten/kota juga masih bermasalah. Sejumlah daerah yang jelas-jelas mengunggulkan pariwisata seperti Lombok Tengah justru anggarannya sangat kecil mendukung pariwisata, apalagi daerah lain yang kepala daerahnya memang tidak fokus di pariwisata.
Pariwisata merupakan hal yang multisektor, pertanian dan peternakan harus ada sinergitas saling sokong. Kita maish belum siap sepenunya UMKM kita menyiapkan produk yang bersinergi dengan pariwisata. Padahal, kompetitor NTB di daerah lain bergerak cepat, seperti Bantuwangi dan Jember yang luar biasa membranding wisata mereka. Padahal, dari sisi sumberdaya, tentu NTB lebih siap. “Jika ada sinergitas semua sektor, tentu kita bisa berlari lebih cepat,” bebernya.
Sementara itu, Rudy Lombok, salah satu pelaku wisata, menanggapi nyinyir soal adanya branding wisata halal ini. Rudy membayangkan bagaimana ruwetnya menghadirkan wisata halal ini. Soal adanya potensi market muslim, bagi Rudy bukanlah wisata halal, tetapi lebih tepat disebut wisata islami. Dan soal kemenangan Indonesia di ajang award wisata halal dunia dituding hanya sebagai kemenangan akibat voting saja, dengan keuntungan penduduk Indonesia yang besar.
Konsep wisata halal ini masih jadi debat, dengan berbagai istilah seperti yang terdahulu dengan istilah wisata syariah. Sehingga dari definisi saja belum jelas. “Bagi saya, halal atau tidak halal, tidak masalah. Yang penting ada wisatawan datang ke Lombok. Jangan sampai wisata halal ini justru menghancurkan kita,” tandasnya. “Jangan sampai ini jadi boomerang,” sambungnya.
Masih banyak hal yang perlu didiskusikan soal wisata halal ini. Salah satunya soal istilah halal yang merupakan istilah agama yang berhadapan dengan istilah haram. Direktur Samanta NTB Dwi Sudarsono melihat wisata halal tidak lebih dari branding untuk menggaet wisatawan. Hal ini menjawab kenapa negara seperti Australia dan Thailand mengemas wisata halal. Menyediakan layanan buat wisatawan muslim yang juga merupakan bagian dari pasar besar. “Kita harus prima dalam pelayanan. Yang mereka cari pasti pelayanan yang bagus,” tandasnya.
Sedangkan, Ketua Pemuda NW Ahmad Syarif Husein memandang bahwa, mewujudkan wisata halal bukan hal mustahil. Dari sisi sumberdaya saja sudah memungkinkan. “Saya rasa kita harus berhenti berdebat soal istilah. Seperti bilang pak Dwi, ini branding. Pasarnya sangat terbuka,” paparnya.
Demikian juga diungkapkan peneliti Inskrip NTB Badrun AM, dikatakan, wisata halal saat ini berkembang di banyak negara di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, bahkan juga Thailand memiliki pusat kajian wisata halal terbesar. Pasar wisata halal ini besar, sehingga saatnya NTB harus mulai memikirkan industri penopang, seperti usaha travel, hotel, kuliner, fashion dan kosmetik.
Soal pulau Lombok yang identik dengan pulau seribu Masjid, tentu juga jadi nilai lebih, tetapi tentu orang beriwsata bukan ke Masjid, tetapi ke pantai, gunung, dan aneka kekayaan budaya yang ada. Soal bagaimana prilaku masyarakat kita terhadap wisatawan juga penting dipikirkan. “Guide yang pintar bahasa Arab juga perlu disiapkan. Soal bagaimana siapkan SDM juga penting,” bebernya.
Sementara itu, Direktur Nusra Institute Lalu Pahrurrozi menerangkan soal konsephalal yang bermula dari konsep agama. Selama ini, ada hal serius yang kita hadapi, yakni agama hanya dipandang sebagai soal akidah saja.
Padahal, agama juga soal memuliakan tamu. Agama tidak lahir dari definisi,tapi dari tindakan.
Selama ini, agama, dengan pengajarpengajar utamanya, tidak dijadikan konsep hidup, tindakan hidup.
“Hemat saya, Dinas Budaya dan Pariwisata, menggerakkan kaum agamawan untuk tidak lagi memahami agama secara akidah saja. Kalau di Lombok tamu kita datang, hartanya kita jaga, itu penting. Peran agamawan itu harus disegarkan kembali, untuk kemaslahatan bersama. Saya lihat, pertentangan kaum agamawan bermula dari cara pandang kita terhadap agama,” terang pria yang akrab disapa Ojhie ini.
Market yang besar industri halal tourism ini memang harus dipertimbangkan. Apalagi dampak pariwisata ini memang sangat besar. Ketika angka kunjungan wisata naik, maka pendapatan dari makanan juga akan meningkat. “Kalau pariwisata kita maju, ekonomi kita juga akan meningkat,” terangnya.
Dari sisi regulasi, Akademisi Universitas Mataram Lalu Syaifuddin menegaskan, tidak ada regulasi jelas soal wisata halal ini. Hanya ada peraturan menteri yang mengaturnya. Fasilitas yang ditetapkan halal atau tidak tentu ada proses penetapannya. Dan hotel yang akan menarget wisata halal tidak dipaksa pemerintah, tetapi pilihan sadar untuk menggaet pasar. Jangan sampai ada yang berfikir, seluruh komponen “halal” dari perspektif agama ansich. Jika itu terjadi, justru akan mengjalangi wisatawan lain. “Konsep wisata halal antitesis dari konsep wisata yang sangat liberal,”paparnya.
Koordinator BaKTI Sub Office Mataram Nurjanah juga ikut berikan pandangannya. Dikatakan, untuk meminimalisir multitafsir, harus ada studi untuk menjernihkan persoalan wisata halal ini. Jannah juga mendorong agar tenaga perempuan yang menjadi penopang pariwisata seperti gerabah, kuliner dan lainnya harus terus dilibatkan dan dilatih dalam merumuskan kebijakan.
Diperlukan juga edukasi yang luas soal wisata halal ini, termasuk ke Ponpes, sebab jangan sampai para tokoh agama juga menilaj. Karena perspektifnya masih umum. “Pariwisata ini strategis untuk dikembangkan secara serius. Karena bersandar pada tambang,” tegasnya.
Sementara itu, Manajer Ekonomi Kreatif PT Gerbang NTB Emas Jaelani AP mengangkat soal produk gerabah yang kini sudah mulai turun pamor. Soal besarnya fee bagi guide dituding sebagai salah satu soal. Besaraanya yang bisa mencapai 10-60 persen, membuat penjual gerabah mati suri. “Mudah-mudahan nanti, ada pemikiran jauh, bagaimana menghadapi masalah ini,” bebernya.
Komisioner Komisi Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Agus Martha Hariadi juga ikut berikan pandangannya. Tidak perlu dikhawatirkan soal adanya resistensi dari wisatawan non muslim dengan adanya wisata halal ini. Sebab, toleransi masyarakat negara maju sudah cukup lebar. Sehingga hal yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana pengembangan wisata halal secara massive.
“Pariwisata ini juga seperti soal keterbukaan informasi. Pelayanannya juga harus cepat, sederhana dan transparan,” bebernya.
Aktifis JMS Lobar Hendro Purbo mengingatkan, jangan sampai fokus soal wisata halal ini melupakan soal berbagai pembenahan. Salah satunya soal pertanahanan. Banyak lahan yang saat ini terlantar yang dikuasai investor. Pemerintah harus tegas, apakah investor tersebut didepak jika tidak memanfaatkan lahannya.
Berbagai tanggapan peserta diskusi ini drespon Kepala Disbudpar NTB HL Mohammad Faozal. Soal wisata halal, tentu sudah tidak ada jalan mundur, sehingga langkah pengawalan harus tetap dilakukan. Kedepan, diharapkan bagaimana mengembangkan pariwisata halal ini mendapat dukungan semua pihak. Sebab, jika bekerja sendiri tentu tidak akan menyelesaikan masalah. “Kita memang tidak bisa lagi bersandar pada tambang,” pungkasnya. (*)
No comments:
Post a Comment