Komitmen Dipertanyakan, Fungsi Pengawasan Nol
Sorotan terhadap anggota DPR/DPD RI dari daerah pemilihan
(Dapil) NTB menjadi persoalan klasik yang tidak pernah lepas dari pro dan
kontra. Khususnya terkait perannya dalam ikut serta membangun daerah. Persoalan
ini menjadi salah satu tema dalam diskusi #forumwiken
11 Nopember 2011.
Provinsi NTB memiliki 10 wakil
rakyat di DPR RI. Ada juga empat kursi untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Jumlah ini cukup besar dibandingkan dua provinsi tetangga, yakni Bali
dengan sembilan kursi dan NTT yang hanya memiliki enam kursi. Namun, di pentas
nasional, jumlah yang lebih banyak ini tidak menunjukkan hal lebih dibandingkan
legislator dari provinsi tetangga.
Nama-nama anggota DPR RI Dapil NTB :
Nanang Samodra KA (Demokrat)
I Wayan Gunastra (Demokrat)
Abdurrahman Abdullah (Demokrat)
Adi Putra Tahir (Golkar)
M Luthfi (Golkar)
Fahri Hamzah (PKS)
Rachmat Hidayat (PDIP)
Sunardi Ayub (Hanura)
Syafruddin (PAN)
Tommy Adrian Firman pengganti Izzul
Islam (PPP)
Nama-nama anggota DPD RI Dapol NTB :
Farouk Muhammad
HL Muhyi Abidin
Bq Diyah Ratu Ganefi
H Supardan
Meskipun jumlah wakil rakyat dari NTB cukup
banyak, namun dari sisi anggaran, NTB merupakan salah satu
provinsi di urutan bontot yang memiliki kemampuan finansial dan mendapat jatah
APBN yang paling sedikit. Padahal, kondisi provinsi ini masih jauh tertinggal
dibandingkan provinsi tetangga jika dilihat dari angka-angka statistik.
Sehingga tugas budgeting para wakil rakyat yang berasal dari
representasi partai politik ini patut dipertanyakan. Tentu tidak fair mengukur kinerja dewan hanya dari
keberhasilan menarik anggaran ke daerah. Adanya praktik mafia anggaran serta
persoalan pola kerja dewan menjadi alasan yang selalu dikemukakan. Apalagi tidak
satupun wakil rakyat dapil NTB duduk di Badan Anggaran DPR RI. Tidak hanya
dalam fungsi budgenting, para wakil
rakyat tidak menunjukkan hasilnya, tapi juga dari sisi pengawasan anggaran juga
tidak dilakukan para wakil rakyat meskipun jelas diamanatkan UU. Sejumlah
proyek yang dialokasikan dari APBN di NTB mangkrak. Proyek-proyek baru juga
terbilang seret.
Minimnya pengawasan anggaran
yang diperankan anggota DPR RI dapil NTB yang dieksekusi di NTB ini diungkapkan
peneliti Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB Ahyar Supriadi.
Indikator yang disampaikan pria yang akrab disapa Yadi ini terbilang sederhana.
Sejumlah kasus korupsi dari dana APBN seperti kasus DAK Pendidikan Kota Bima
senilai Rp 10 miliar, DAK Kota Mataram Rp 8 miliar lebih, DAK Lombok Barat dan
Lombok Tengah serta dana BOS yang juga sedang dibidik aparat hukum dan sejumlah
kasus lainnya.
Diperkirakan, total anggaran yang berbau pelanggaran
hukum dari APBN/APBD mencapai Rp 300 miliar. Jumlah ini tentu sangat besar
untuk ukuran NTB. Namun, persoalan korupsi ini tidak pernah disentuh untuk dikomunikasikan
dan menjadi perhatian DPR RI dapil NTB melalui fungsi pengawasan pelaksanaan
anggaran.
Sebagai anggota DPR RI dapil
NTB, lanjutnya, semestinya paham dengan alokasi, alur serta anggaran yang
dieksekusi di NTB. Dan semestinya dijalankan fungsi pengawasan. ‘’Jangankan
pengawasan, statemen di media saja tidak. Dari seluruh berita media yang
dikliping Somasi tidak ada satupun anggota dewan yang ngomong soal korupsi,’’
tandasnya. ‘’Statemen di media ini merupakan bentuk uji komitmen dengan kasta
paling rendah,’’ tambahnya.
Bagi Yadi, adanya wakil rakyat Senayan dapil NTB yang menginginkan
pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dipertanyakan. Patut diduga,
adanya langkah untuk mendorong pembubaran KPK ini merupakan reaksi dan upaya
menyelematkan diri karena tengah jadi bidikan lembaga penegak hukum ini.
‘’Bagaimana sinergi eksekutif dan DPR RI selama ini? Tidak ada. Apa sebenarnya
yang kita bisa harapkan dari DPR/DPD,’’ pungkasnya.
Hal senada diungkapkan peneliti
P2HSD Unram Lalu Syepuddien terkait peran DPR/DPD RI dapil NTB dari sisi hukum,
khususnya terkait adanya wacana pembubaran KPK ini. Usulan pembubaran KPK ini
tidak mewakili rakyat NTB, bahkan justru membuat malu warga NTB. Tindak pidana
korupsi, lanjutnya, merupakan extra-ordinary crime dan dilatarbelakangi ketidakmampuan
Kejaksaan/Polri dalam melakukan tindakan yang diharapkan masyarakat. ‘’KPK masih
dbutuhkan, percepatan pemberantasan korupsi. Wakil rakyat diharapkan jangan
buat sikap yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat,’’ tegasnya.
Sementara itu, Syamsul Hadi, salah seorang peserta diskusi dari unsur
pemuda mengatakan, tanpa duduk menjadi anggota Banggar, anggota DPR RI
seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan NTB. Setiap anggota dewan duduk di
komisi-komisi dewan. Namun, adanya praktik mafia anggaran menjadi salah satu
soal yang menjadi kendala anggaran mengalir ke NTB. ‘’Biasanya ada transaksi,
sehingga kalau tidak ada transaksi tidak ada dana mengalir,’’ bebernya.
Kualitas Personal
Dipertanyakan, Minim Bersuara
Provinsi tetangga, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat jatah Rp 1 triliun
dari APBN 2011 untuk perbaikan rumah kumuh. Sedangkan NTB hanya mendapat jatah
sekadar saja dari APBN. Ini akan menjadi bahan evaluasi terus menerus dari
publik.
Lowongnya wakil rakyat Dapil NTB yang duduk dalam Badan Anggaran (Banggar)
ditengarai menjadi salah satu persoalan yang menjadi sebab utama minimnya
anggaran pusat ke daerah. Persoalan anggaran ini tersentralisasi pada figur
tertentu yang mendapat dukungan dari partai.
Persoalan kualitas personal para wakil rakyat dapil NTB di Senayan juga
dianggap menjadi soal, sehingga belum bisa memainkan peran dalam hal anggaran
ini.
Para wakil rakyat NTB ini juga jarang menduduki
jabatan-jabatan strategis. Hanya H Sunardi Ayub yang menjadi ketua Fraksi
Hanura dan wakil ketua Badan Legislasi. Persoalan posisi dan kualitas personal
ini dianggap sebagai pemicu yang cukup signifikan ketika berbicara peran dewan
dalam memberikan kontribusi anggaran bagi daerah. Seperti diungkapkan Ketua GP
Anshor NTB Syueb Qury. ‘’Sebagian anggota DPR yang mewakili NTB di Senayan juga
tidak pernah tahu soal NTB,’’ terangnya.
Lain lagi dengan pendapat
Direktur Semaide Communication Adhar Hakim. Bagi Adhar, minimnya anggota DPR RI
dapil NTB yang menduduki posisi strategis termasuk di Banggar, tidak serta
merta menihilkan peluang untuk memperjuangkan daerah. Sebab masih ada ruang
melakukan lobi di tingkat kementerian dan jalur-jalur lainnya. Dewan seharusnya
memiliki peran besar bagi daerah. Apalagi sudah ada perbaikan regulasi dari
sebelumnya yang memberikan ruang lebih besar agar wakil rakyat bisa membawa aspirasi daerah. Sebagai wakil
rakyat dari dapil tentu tolok ukur yang paling sederhana adalah apakah memiliki
peran dan kontribusi terhadap daerah atau tidak. Wakil rakyat semestinya tidak
hanya menyuarakan sikap parpol, serta apa yang tengah hot di tingkat nasional,
tapi juga menyuarakan apa yang terjadi di dera. Anggota dewan dapil NTB, tentu
harus tetap menyuarakan soal pendidikan dan tenaga kerja yang banyak menjadi
masalah.
Selain itu, isu-isu strategis daerah yang menjadi
isu nasional juga semestinya mendapat respons kuat dari para wakil rakyat NTB.
Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah soal divestasi saham PT Newmont
Nusa Tenggara (NNT). Suara-suara wakil rakyat dapil NTB nyaris tenggelam. Berbeda
dengan para wakil rakyat asal Papua yang tetap garang memperjuangkan daerah
ketika ada kisruh Freeport dan lainnya. Wakil rakyat asal NTB justru tidak
menunjukkan sikap jelas. Bahkan para wakil rakyat menunjukkan sikap sesuai
kondisi. Jika daerah sedang dalam kondisi tersudut, ramai-ramai ikut mencerca
daerah, tapi jika daerah dalam kondisi kuat, politisi Senayan ikut menikmati. ‘’Sikap-sikap
ini terlihat ketika divestasi saham. Ini kan
tidak fair. Wakil rakyat dapil NTB tidak menunjukkan fight untuk daerah. Politisi NTB nyaris tidak terdengar,’’
tandasnya.
Bagi jurnalis senior ini,
banyak cara bisa dilakukan untuk memperkuat daya tawar memperjuangkan daerah,
seperti dengan membentuk sejenis kaukus wakil rakyat NTB di pusat. Sebab tidak
bisa kita benarkan jika wakil rakyat hanya duduk manis tanpa suara. Memperkuat
barisan bersama Pemprov NTB berjuang untuk daerah tentu juga bisa dilakukan.
Sehingga posisi tawar NTB bisa meningkat dan tidak dipandang sebelah mata.
Peran Parpol Dipertanyakan,
Hanya Ada Sanksi Moral
Partai politik (Parpol) dituding menjadi salah satu institusi yang paling
bertanggung jawab terhadap rendahnya komitmen, peran dan tugas wakil rakyat di Senayan
bagi daerah, khususnya wakil rakyat dari Dapil NTB. Siapa yang akan menjadi wakil
rakyat di Senayan sangat bergantung dari parpol. Siapa yang ditunjuk sepenuhnya
menjadi wewenang partai. Rakyat hanya diberikan pilihan yang sudah ada. Pemilu
tidak ubahnya seperti berbelanja di supermarket. Pada dasarnya pemilih/pembeli
tidak pernah bebas untuk memilih/berbelanja. Sebab apa yang bisa dibeli hanya
apa yang tersedia di supermarket. Tidak ada pilihan lain.
Sementara komitmen parpol untuk mendorong
figur-figur yang bisa menjadi corong rakyat di pusat tentu patut diragukan.
Parpol tidak mengevalusi kader dari uji komitmen terhadap konstituen/publik,
tapi loyalitas, jasa, dan pengabdian pada partai. Soal asal daerah kader juga
jadi soal. Tidak semua parpol memberikan dukungan terhadap kader-kader dari
daerah, semua diputuskan pemegang saham parpol yang duduk di pusat. Sehingga perbaikan
pola rekrutmen dan kaderisasi parpol dengan memberikan porsi sepenuhnya pada
kader lokal masih dipertanyakan.
Ada hal yang luput dalam regulasi di negeri ini.
Tidak ada jalur dan peluang hukum bagi konstituen untuk melakukan keberatan
terhadap wakil rakyat yang dipilih jika bekerja tidak sesuai yang dijanjikan
dan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Tertutupnya ruang
dan peluang ini dianggap sengaja didesain demikian oleh para politisi. ‘’Sanksi
yang bisa diberikan konstituen hanya sanksi moral saja,’’ jelas Direktur
Semaidea Communication Adhar Hakim.
Tidak ada hal lain yang bisa
dilakukan kecuali ‘’balas dendam’’ pada pemilu berikutnya. ‘’Semua sepakat, DPR
tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsi secara optimal. Problem pokok ada di
parpol yang mengusung figur buruk,’’ tandas Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif
Husein. Banyak tugas yang seharusnya bisa diperankan politisi asal NTB. Salah
satunya soal konflik agraria yang muncul di semua kabupaten/kota di NTB,
khususnya di kawasan pertanian dan pariwisata. Peran parpol juga dipertanyakan
Husein. Selama ini, parpol tidak memberikan pendidikan politik yang layak
kepada masyarakat. ‘’Harusnya rakyat bisa menuntut pada parpol mengenai kinerja
dewan,’’ ungkapnya.
Husein justru menolak adanya penekanan pada isu
putra daerah atau bukan. Sebab hal ini tidak bisa dijadikan ukuran soal
kontribusi. Berkaca dari kondisi dewan hari ini, banyak dewan yang putra daerah
justru tidak menunjukkan apapun. ‘’Yang penting kontribusinya apa? Saya rasa
konyol kalau debat soal putra daerah dan non-putra daerah,’’ beber Husein yang
juga pengurus DPD Partai Demokrat NTB ini.
Bahkan, peneliti Somasi NTB Ahyar Supriadi
menegaskan apatismenya terhadap komitmen parpol. Sebab, parpol tidak memiliki
sejarah yang bisa membuktikan bisa berpihak pada hal-hal yang prorakyat.
‘’Kalau saya tidak percaya pada parpol, memang sudah tidak bisa diharapkan,’’
jelasnya.
Sedangkan Ketua Serikat Tani Nasional (STN)
beranggapan, parlemen memang tidak bisa diharapkan untuk menyuarakan apa yang
menjadi kehendak masyarakat. Seperti merebut anggaran untuk diturunkan ke
daerah. Sejarah sudah membuktikan, anggota parlemen sejatinya hanyalah wakil
dari rakyat, bukanlah rakyat sebenarnya. Harapan akan ada jika dibentuk dewan
rakyat yang memang bekerja dari dan untuk rakyat. Sehingga parlemen hari ini
bukanlah perwujudan konstituen, tapi merupakan perwujudan dari kelompok yang
tidak segaris dengan perjuangan rakyat. ‘’Sejarah telah mencatat bahwa parlemen
selalu memecundangi rakyat,’’ bebernya.
Apa yang terjadi hari ini,
lanjutnya, merupakan bentuk blunder
dari parpol yang tidak lahir dari rahim rakyat, tapi justru dilahirkan dari
rahim borjuasi. Hampir semua parpol tidak memiliki ideologi yang jelas yang
kemudian memengaruhi sepak terjang di dunia politik.(*)
No comments:
Post a Comment