Thursday, 22 December 2011

WAKIL RAKYAT NTB DI SENAYAN






Komitmen Dipertanyakan, Fungsi Pengawasan Nol
Sorotan terhadap anggota DPR/DPD RI dari daerah pemilihan (Dapil) NTB menjadi persoalan klasik yang tidak pernah lepas dari pro dan kontra. Khususnya terkait perannya dalam ikut serta membangun daerah. Persoalan ini menjadi salah satu tema dalam diskusi #forumwiken 11 Nopember 2011.
Provinsi NTB memiliki 10 wakil rakyat di DPR RI. Ada juga empat kursi untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jumlah ini cukup besar dibandingkan dua provinsi tetangga, yakni Bali dengan sembilan kursi dan NTT yang hanya memiliki enam kursi. Namun, di pentas nasional, jumlah yang lebih banyak ini tidak menunjukkan hal lebih dibandingkan legislator dari provinsi tetangga.

Nama-nama anggota DPR RI Dapil NTB :
Nanang Samodra KA (Demokrat)
I Wayan Gunastra (Demokrat)
Abdurrahman Abdullah (Demokrat)
Adi Putra Tahir (Golkar)
M Luthfi (Golkar)
Fahri Hamzah (PKS)
Rachmat Hidayat (PDIP)
Sunardi Ayub (Hanura)
Syafruddin (PAN)
Tommy Adrian Firman pengganti Izzul Islam (PPP)

Nama-nama anggota DPD RI Dapol NTB :
Farouk Muhammad
HL Muhyi Abidin
Bq Diyah Ratu Ganefi
H Supardan

Meskipun jumlah wakil rakyat dari NTB cukup banyak, namun dari sisi anggaran, NTB merupakan salah satu provinsi di urutan bontot yang memiliki kemampuan finansial dan mendapat jatah APBN yang paling sedikit. Padahal, kondisi provinsi ini masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi tetangga jika dilihat dari angka-angka statistik. Sehingga tugas budgeting para wakil rakyat yang berasal dari representasi partai politik ini patut dipertanyakan. Tentu tidak fair mengukur kinerja dewan hanya dari keberhasilan menarik anggaran ke daerah. Adanya praktik mafia anggaran serta persoalan pola kerja dewan menjadi alasan yang selalu dikemukakan. Apalagi tidak satupun wakil rakyat dapil NTB duduk di Badan Anggaran DPR RI. Tidak hanya dalam fungsi budgenting, para wakil rakyat tidak menunjukkan hasilnya, tapi juga dari sisi pengawasan anggaran juga tidak dilakukan para wakil rakyat meskipun jelas diamanatkan UU. Sejumlah proyek yang dialokasikan dari APBN di NTB mangkrak. Proyek-proyek baru juga terbilang seret.
Minimnya pengawasan anggaran yang diperankan anggota DPR RI dapil NTB yang dieksekusi di NTB ini diungkapkan peneliti Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB Ahyar Supriadi. Indikator yang disampaikan pria yang akrab disapa Yadi ini terbilang sederhana. Sejumlah kasus korupsi dari dana APBN seperti kasus DAK Pendidikan Kota Bima senilai Rp 10 miliar, DAK Kota Mataram Rp 8 miliar lebih, DAK Lombok Barat dan Lombok Tengah serta dana BOS yang juga sedang dibidik aparat hukum dan sejumlah kasus lainnya.
Diperkirakan, total anggaran yang berbau pelanggaran hukum dari APBN/APBD mencapai Rp 300 miliar. Jumlah ini tentu sangat besar untuk ukuran NTB. Namun, persoalan korupsi ini tidak pernah disentuh untuk dikomunikasikan dan menjadi perhatian DPR RI dapil NTB melalui fungsi pengawasan pelaksanaan anggaran.
          Sebagai anggota DPR RI dapil NTB, lanjutnya, semestinya paham dengan alokasi, alur serta anggaran yang dieksekusi di NTB. Dan semestinya dijalankan fungsi pengawasan. ‘’Jangankan pengawasan, statemen di media saja tidak. Dari seluruh berita media yang dikliping Somasi tidak ada satupun anggota dewan yang ngomong soal korupsi,’’ tandasnya. ‘’Statemen di media ini merupakan bentuk uji komitmen dengan kasta paling rendah,’’ tambahnya.
Bagi Yadi, adanya wakil rakyat Senayan dapil NTB yang menginginkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dipertanyakan. Patut diduga, adanya langkah untuk mendorong pembubaran KPK ini merupakan reaksi dan upaya menyelematkan diri karena tengah jadi bidikan lembaga penegak hukum ini. ‘’Bagaimana sinergi eksekutif dan DPR RI selama ini? Tidak ada. Apa sebenarnya yang kita bisa harapkan dari DPR/DPD,’’ pungkasnya.
          Hal senada diungkapkan peneliti P2HSD Unram Lalu Syepuddien terkait peran DPR/DPD RI dapil NTB dari sisi hukum, khususnya terkait adanya wacana pembubaran KPK ini. Usulan pembubaran KPK ini tidak mewakili rakyat NTB, bahkan justru membuat malu warga NTB. Tindak pidana korupsi, lanjutnya, merupakan extra-ordinary crime dan dilatarbelakangi ketidakmampuan Kejaksaan/Polri dalam melakukan tindakan yang diharapkan masyarakat. ‘’KPK masih dbutuhkan, percepatan pemberantasan korupsi. Wakil rakyat diharapkan jangan buat sikap yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat,’’ tegasnya.
Sementara itu, Syamsul Hadi, salah seorang peserta diskusi dari unsur pemuda mengatakan, tanpa duduk menjadi anggota Banggar, anggota DPR RI seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan NTB. Setiap anggota dewan duduk di komisi-komisi dewan. Namun, adanya praktik mafia anggaran menjadi salah satu soal yang menjadi kendala anggaran mengalir ke NTB. ‘’Biasanya ada transaksi, sehingga kalau tidak ada transaksi tidak ada dana mengalir,’’ bebernya.

Kualitas Personal Dipertanyakan, Minim Bersuara
Provinsi tetangga, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat jatah Rp 1 triliun dari APBN 2011 untuk perbaikan rumah kumuh. Sedangkan NTB hanya mendapat jatah sekadar saja dari APBN. Ini akan menjadi bahan evaluasi terus menerus dari publik.
Lowongnya wakil rakyat Dapil NTB yang duduk dalam Badan Anggaran (Banggar) ditengarai menjadi salah satu persoalan yang menjadi sebab utama minimnya anggaran pusat ke daerah. Persoalan anggaran ini tersentralisasi pada figur tertentu yang mendapat dukungan dari partai.
Persoalan kualitas personal para wakil rakyat dapil NTB di Senayan juga dianggap menjadi soal, sehingga belum bisa memainkan peran dalam hal anggaran ini.
Para wakil rakyat NTB ini juga jarang menduduki jabatan-jabatan strategis. Hanya H Sunardi Ayub yang menjadi ketua Fraksi Hanura dan wakil ketua Badan Legislasi. Persoalan posisi dan kualitas personal ini dianggap sebagai pemicu yang cukup signifikan ketika berbicara peran dewan dalam memberikan kontribusi anggaran bagi daerah. Seperti diungkapkan Ketua GP Anshor NTB Syueb Qury. ‘’Sebagian anggota DPR yang mewakili NTB di Senayan juga tidak pernah tahu soal NTB,’’ terangnya.
          Lain lagi dengan pendapat Direktur Semaide Communication Adhar Hakim. Bagi Adhar, minimnya anggota DPR RI dapil NTB yang menduduki posisi strategis termasuk di Banggar, tidak serta merta menihilkan peluang untuk memperjuangkan daerah. Sebab masih ada ruang melakukan lobi di tingkat kementerian dan jalur-jalur lainnya. Dewan seharusnya memiliki peran besar bagi daerah. Apalagi sudah ada perbaikan regulasi dari sebelumnya yang memberikan ruang lebih besar agar wakil rakyat  bisa membawa aspirasi daerah. Sebagai wakil rakyat dari dapil tentu tolok ukur yang paling sederhana adalah apakah memiliki peran dan kontribusi terhadap daerah atau tidak. Wakil rakyat semestinya tidak hanya menyuarakan sikap parpol, serta apa yang tengah hot di tingkat nasional, tapi juga menyuarakan apa yang terjadi di dera. Anggota dewan dapil NTB, tentu harus tetap menyuarakan soal pendidikan dan tenaga kerja yang banyak menjadi masalah.
Selain itu, isu-isu strategis daerah yang menjadi isu nasional juga semestinya mendapat respons kuat dari para wakil rakyat NTB. Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah soal divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Suara-suara wakil rakyat dapil NTB nyaris tenggelam. Berbeda dengan para wakil rakyat asal Papua yang tetap garang memperjuangkan daerah ketika ada kisruh Freeport dan lainnya. Wakil rakyat asal NTB justru tidak menunjukkan sikap jelas. Bahkan para wakil rakyat menunjukkan sikap sesuai kondisi. Jika daerah sedang dalam kondisi tersudut, ramai-ramai ikut mencerca daerah, tapi jika daerah dalam kondisi kuat, politisi Senayan ikut menikmati. ‘’Sikap-sikap ini terlihat ketika divestasi saham. Ini kan tidak fair. Wakil rakyat dapil NTB tidak menunjukkan fight untuk daerah. Politisi NTB nyaris tidak terdengar,’’ tandasnya.
          Bagi jurnalis senior ini, banyak cara bisa dilakukan untuk memperkuat daya tawar memperjuangkan daerah, seperti dengan membentuk sejenis kaukus wakil rakyat NTB di pusat. Sebab tidak bisa kita benarkan jika wakil rakyat hanya duduk manis tanpa suara. Memperkuat barisan bersama Pemprov NTB berjuang untuk daerah tentu juga bisa dilakukan. Sehingga posisi tawar NTB bisa meningkat dan tidak dipandang sebelah mata.

Peran Parpol Dipertanyakan, Hanya Ada Sanksi Moral
Partai politik (Parpol) dituding menjadi salah satu institusi yang paling bertanggung jawab terhadap rendahnya komitmen, peran dan tugas wakil rakyat di Senayan bagi daerah, khususnya wakil rakyat dari Dapil NTB. Siapa yang akan menjadi wakil rakyat di Senayan sangat bergantung dari parpol. Siapa yang ditunjuk sepenuhnya menjadi wewenang partai. Rakyat hanya diberikan pilihan yang sudah ada. Pemilu tidak ubahnya seperti berbelanja di supermarket. Pada dasarnya pemilih/pembeli tidak pernah bebas untuk memilih/berbelanja. Sebab apa yang bisa dibeli hanya apa yang tersedia di supermarket. Tidak ada pilihan lain.
Sementara komitmen parpol untuk mendorong figur-figur yang bisa menjadi corong rakyat di pusat tentu patut diragukan. Parpol tidak mengevalusi kader dari uji komitmen terhadap konstituen/publik, tapi loyalitas, jasa, dan pengabdian pada partai. Soal asal daerah kader juga jadi soal. Tidak semua parpol memberikan dukungan terhadap kader-kader dari daerah, semua diputuskan pemegang saham parpol yang duduk di pusat. Sehingga perbaikan pola rekrutmen dan kaderisasi parpol dengan memberikan porsi sepenuhnya pada kader lokal masih dipertanyakan.
Ada hal yang luput dalam regulasi di negeri ini. Tidak ada jalur dan peluang hukum bagi konstituen untuk melakukan keberatan terhadap wakil rakyat yang dipilih jika bekerja tidak sesuai yang dijanjikan dan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Tertutupnya ruang dan peluang ini dianggap sengaja didesain demikian oleh para politisi. ‘’Sanksi yang bisa diberikan konstituen hanya sanksi moral saja,’’ jelas Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim.
          Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali ‘’balas dendam’’ pada pemilu berikutnya. ‘’Semua sepakat, DPR tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsi secara optimal. Problem pokok ada di parpol yang mengusung figur buruk,’’ tandas Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif Husein. Banyak tugas yang seharusnya bisa diperankan politisi asal NTB. Salah satunya soal konflik agraria yang muncul di semua kabupaten/kota di NTB, khususnya di kawasan pertanian dan pariwisata. Peran parpol juga dipertanyakan Husein. Selama ini, parpol tidak memberikan pendidikan politik yang layak kepada masyarakat. ‘’Harusnya rakyat bisa menuntut pada parpol mengenai kinerja dewan,’’ ungkapnya.
Husein justru menolak adanya penekanan pada isu putra daerah atau bukan. Sebab hal ini tidak bisa dijadikan ukuran soal kontribusi. Berkaca dari kondisi dewan hari ini, banyak dewan yang putra daerah justru tidak menunjukkan apapun. ‘’Yang penting kontribusinya apa? Saya rasa konyol kalau debat soal putra daerah dan non-putra daerah,’’ beber Husein yang juga pengurus DPD Partai Demokrat NTB ini.
Bahkan, peneliti Somasi NTB Ahyar Supriadi menegaskan apatismenya terhadap komitmen parpol. Sebab, parpol tidak memiliki sejarah yang bisa membuktikan bisa berpihak pada hal-hal yang prorakyat. ‘’Kalau saya tidak percaya pada parpol, memang sudah tidak bisa diharapkan,’’ jelasnya.
Sedangkan Ketua Serikat Tani Nasional (STN) beranggapan, parlemen memang tidak bisa diharapkan untuk menyuarakan apa yang menjadi kehendak masyarakat. Seperti merebut anggaran untuk diturunkan ke daerah. Sejarah sudah membuktikan, anggota parlemen sejatinya hanyalah wakil dari rakyat, bukanlah rakyat sebenarnya. Harapan akan ada jika dibentuk dewan rakyat yang memang bekerja dari dan untuk rakyat. Sehingga parlemen hari ini bukanlah perwujudan konstituen, tapi merupakan perwujudan dari kelompok yang tidak segaris dengan perjuangan rakyat. ‘’Sejarah telah mencatat bahwa parlemen selalu memecundangi rakyat,’’ bebernya.
          Apa yang terjadi hari ini, lanjutnya, merupakan bentuk blunder dari parpol yang tidak lahir dari rahim rakyat, tapi justru dilahirkan dari rahim borjuasi. Hampir semua parpol tidak memiliki ideologi yang jelas yang kemudian memengaruhi sepak terjang di dunia politik.(*)

No comments:

Post a Comment