Friday, 28 October 2011

NTB PASKA 83 TAHUN SUMPAH PEMUDA


KAUM muda mampu menunjukkan kepeloporan sejarah. Proklamasi kemerdekaan RI juga tidak lepas dari peran kaum muda, yakni adanya peristiwa Rengas Dengklok yang dipimpin Sukarni dan kawan-kawan berhasil memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejumlah fase lompatan sejarah Indonesia, kaum muda juga memiliki peran besar. Seperti penggulingan Soekarno pada era Orde Lama pada dekade 1960, protes Orde Baru yang melahirkan peristiwa Malari pada era 1970-an. Yang teranyar adalah Gerakan Reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru.
          Di NTB juga memiliki sejarah yang kurang lebih sama dengan fase-fase pergerakan nasional. Seperti pada masa reformasi dengan munculnya Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) sebagai organisasi tingkat lokal. Dan terpilihnya Tuan Guru Bajang (TGB) TGH M Zainul Majdi sebagai Gubernur dan tercatat sebagai gubernur termuda di Indonesia yakni dalam usia 36 tahun, 3 bulan, dan 17 hari dipandang sebagai bukti keberhasilan dan kemampuan kaum muda NTB yang bisa mengambil alih panggung kepemimpinan. Terpilihnya figur muda ini juga menjadi harapan kebangkitan kaum muda di NTB untuk berperan lebih besar dalam mengangkat pembangunan daerah sehingga NTB bisa sejajar dengan daerah lain.
          Namun, tidak semua memiliki pandangan sama tentang posisi TGB sebagai gubernur merupakan keberhasilan kaum muda di NTB. Akademisi IAIN Mataram Dr Kadri justru menilai sebaliknya. Alasannya, terpilihnya TGB sebagai gubernur bukanlah sebuah representasi kaum muda. TGB terpilih justru lebih dipengaruhi faktor trah dan posisinya selaku tuan guru dan pemimpin NW. Belum ada hal signifikan yang juga bisa menunjukkan gubernur memiliki visi dan keberpihakan pada kaum muda NTB. Meskipun layak diapresiasi saat memberikan kesempatan pada sejumlah kader muda yang masuk dalam barisan DPD Partai Demokrat NTB. ‘’Tapi gubernur kita muda, ini riil,’’ beber Kadri saat diskusi #forumwiken di Sekretariat NC, Jalan Pariwisata 11 Mataram, Jumat 28 Desember 2011.
Mengenai kondisi pemuda NTB kekinian, Kadri mengakui kalangan muda memiliki beragam persoalan serius yang mesti dibenahi, seperti kondisi organisasi kepemudaan yang tidak solid baik secara internal maupun eksternal. Bahkan, kalangan pemuda cenderung berpikir pragmatis dan hedonistis. Kalangam mahasiswa lebih memikirkan soal pulsa dari pada pemikiran.
Di arena politik juga demikian. Kalangan muda yang masuk dunia politik tidak bisa diharapkan membawa perubahan. Mereka cenderung diperalat kekuatan besar untuk mengamankan kepentingan tertentu. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum DPP Partai Demokrat semestinya bisa menjadi pintu masuk yang baik untuk men-take over generasi berikutnya. Meskipun akhirnya tersandung sejumlah persoalan.
Pada tingkatan lokal, pola gerakan pemuda di NTB juga masih sangat reaktif. Isu-isu nasional masih seringkali ditanggapi dengan reaktif mengikuti mainstream tingkat nasional. Sementara, isu-isu lokal justru minim perhatian. Padahal, rendahnya posisi IPM, soal pendidikan, kesehatan dan persoalan sosial lainnya sebenarnya lebih menjual untuk diangkat dalam menggerakkan kekuatan civil society.
Institusi politik pada dasarnya juga tidak memberikan ruang yang cukup kepada kaum muda. Meskipun disisi lain, sejumlah kader parpol yang kini duduk di parlemen yang dianggap mewakili kaum muda tidak menunjukkan kontribusi optimal bagi daerah. ‘’Ada Fahri Hamzah dan M Luthfi wakil rakyat NTB di pusat. Apa kontribusinya? Anggota DPRD NTB dari kalangan muda juga tidak memberikan kontribusi yang jelas,’’ papar akademisi IAIN Mataram ini.
          Saat ini, pragmatisme generasi pemuda sudah sedemikian parah. Kadri membeberkan, fenomena yang dialami saat melakukan program pemberdayaan ekonomi berbasis madrasah dan masjid di salah satu kabupaten di NTB. Pemuda-pemuda yang direkrut justru menanyakan berapa uang yang akan diperoleh dari pelatihan yang digelar Nusatenggara Centre (NC). Padahal, adanya program ini menjadi momentum yang baik untuk bisa belajar dan menjadi seorang enterpreneur. ‘’Ini juga soal mindset, sehingga perlu ada perubahan mindset yang harus dilakukan sejak usia dini. Generasi muda susah untuk diharapkan bisa melanjutkan perjuangan bangsa dengan kenyataan seperti ini. Makanya, istilah potong generasi bisa diterapkan dengan menerapkan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim menilai, sejak Orde Baru terjadi proses pembusukan di kalangan kaum muda, melalui penjinakan pemikiran dan lainnya. Salah satunya dilakukan dengan menempatkan kaum muda pada kelembagaan yang memperkuat kekuasaan. Kondisi ini terus berlanjut tanpa disadari. Pembusukan gerakan dan peran kaum muda terjadi di dunia kampus. Kanal politik praktis bagi kaum muda dibuka. Sehingga kaum muda tidak mampu lagi menunjukkan indentitas dan ikut tergerus dalam pusaran arus yang ada. ‘’Selama ini, pemuda cenderung memiliki cara pandang untuk menemukan jalan tol dalam berpolitik dan sektor lainnya,’’ bebernya.
          Tidak ada larangan dan bukan hal yang keliru pemuda masuk barisan parpol. Namun, pemuda tentu harus lebih selektif dan kritis masuk dalam barisan parpol. Jika kaum muda hanya terpaku pada politik kekuasaan, maka tidak akan menyelesaikan persoalan kepemudaan. Organisasi-organisai kepemudaan yang ada juga gagal mengambil peran dan menjadi payung pemuda dalam melakukan gerakan. Termasuk juga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Organisasi pemuda ini hampir hanya menjadi sekadar batu loncatan politik yang dimainkan siapa yang menjadi pemilik kuasa di KNPI. Padahal, KNPI merupakan satu-satunya organisasi yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah, bahkan selalu diberikan anggaran resmi dalam APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota. ‘’Ini kan tidak adil, kenapa hanya KNPI? Saya minta sejak lama, anggaran KNPI di APBD dihapus saja,’’ tandas pengusaha muda Agus Firadz Wirawan.
Dalam diskusi-diskusi kepemudaan, seringkali kalangan muda lupa membahas bagaimana mendorong hal konkret yang harus dilakukan. Rekomendasi yang dihasilkan selalu terkait sosio-politik semata. Sedangkan hal yang bersifat mikro, taktis dan faktual jarang dibahas. Hal-hal filosofis mendapatkan porsi terlalu besar. ‘’Pembahasannya selalu berbau langitan, tapi kita lupa kalau kaki kita korengan,’’ cetusnya.
Disisi lain, Agus juga menyorot program 100 ribu wirausahawan yang dikeluarkan Pemprov NTB. Program ini dianggap program mimpi disiang bolong, sebab tidak akan mampu direalisasi. Sebab ada beberapa hal yang tidak mendapat perhatian pemerintah saat menyusun program ini. Yakni adanya usaha semacam kartel yang menguasai sebagian besar sektor bisnis di NTB. Dengan pertambahan wirausahawan, maka bisnis kartel yang sudah lama ada akan terganggu. ‘’Jangankan 100 ribu, 10 saja mereka akan terganggu,’’ ungkapnya.
Ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian politisi dan pemegang kebijakan. Khususnya terkait hal yang lebih teknis, misalnya cukai yang tinggi terhadap pengiriman ayam ke pulau Bali. Padahal, tingginya cukai membuat ayam NTB tidak mampu bersaing dengan ayam di Bali, meskipun pasar ayam di Bali sangat potensial. ‘’Hal-hal seperti ini kan perlu intervensi politik. Tapi tidak pernah dilakukan,’’ tandasnya.
Begitu juga di sektor perberasan. Pemprov NTB dianggap terlalu membebek dengan keinginan pemerintah pusat, salah satunya terkait dengan posisi NTB yang ditempatkan sebagai lumbung pangan nasional. Pemerintah ‘’memaksa‘’ petani menanam padi. Padahal, kesejahteraan petani tidak pernah bisa meningkat dengan menanam padi. Sebab, sektor ini telah dikuasai kartel beras, sehingga komoditi ini hanya menguntungkan para pengusaha besar yang ada dalam lingkaran kartel perberasan. ‘’Jika pemuda dianggap menguasai 30 persen segmen politik, kenapa kebijakan seperti ini tidak bisa dilawan. Pemerintah masih tetap saja memberi proteksi terhadap pengusaha tertentu, ini kan ironis,’’ ungkapnya.
Pemerintah harus memberikan jaminan terhadap sektor usaha kemudian bisa membentuk ideologi ekonomi pemuda dengan gerakan riil. Perjuangan pemuda tidak lepas dari perjuangan ekonomi. Pemerintah perlu menerapkan aturan main dengan menerapkan sanksi tegas terhadap semua pihak termasuk di internal pemerintah. ‘’Jika ada kartel bisnis yang menguasai, kenapa tidak kita membikin kartel bisnis yang dijalankan pemuda, ini lebih baik,’’ tegasnya.

Membenahi Pendidikan Generasi
PERAN negara adalah menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan. Kerap kaum muda justru menjadi kalangan yang melancarkan protes terhadap kebijakan pemerintah. Persoalan kepemudaan ini seringkali tidak dilihat sebagai persoalan serius oleh penyelenggara negara. Seringkali pemuda hanya dilihat sebagai potensi politik semata yang bisa dimanfaatkan.
          Direktur Semmaidea Communication Adhar Hakim menilai, dengan karakter khas yang dimiliki NTB, ada peluang untuk melahirkan dan menjawab akar persoalan ke-NTB-an. Ponpes bisa dijadikan salah satu kekuatan membangun pemuda, di Pulau Jawa, banyak kader Ponpes yang mampu melahirkan pemikiran radikal. Selama ini, pemerintah daerah seringkali membuat janji dan rencana di atas meja tanpa analisis yang komprehensif. Sehingga tatkala diimplementasikan tidak pernah menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Pemuda tidak bisa berharap akan ada perubahan. ‘’Coba lihat, siapa yang ragukan Gus Dur, dididik di lingkungan Ponpes tapi dibesarkan dengan kegelisahan sosial politik menempatkan diri sebagai posisi berlawanan dengan Orde Baru,’’ bebernya.
Bagi Adhar, berharap ada perubahan dengan kondisi seperti saat ini bukan hal yang patut dilakukan. Tapi bagaimana mendorong perubahan atau merebut aset dan peluang dengan berbagai metodologi agar kaum muda bisa ditempatkan pada posisi yang seharusnya. Perjuangan terhadap keberpihakan anggaran terkait kepemudaan juga patut dilakukan. Selama ini, keberpihakan politik anggaran pemerintah terhadap pemuda patut dipertanyakan. Dalam penyusunan anggaran, para politisi biasanya membahas anggaran kepemudaan pada prioritas kesekian. Perlu membangun ruang apresiasi bagi pemuda agar bisa menyalurkan aspirasi dan keinginan mesti disediakan. Selama ini selalu saja pemerintah membicarakan hal-hal jangka pendek tanpa pernah mau menempatkan pondasi untuk NTB kedepan. ‘’Selama ini pemuda hanya dilihat sebagai beban, bukan resource. Pemda mesti memiliki konsep politik untuk bisa membela kepemudaan,’’ tegasnya.
Perbaikan sektor pendidikan juga harus dilakukan, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan semangat interpreneurship dengan membuat kurikulum pendidikan juga mengajarkan kewirausahawanan. Pondok pesantren bisa menjadi salah satu basis untuk mulai mendidik generasi enterpreneur ini. ‘’Adanya karakter Islami santri ponpes tidak masalah. Ini bisa lebih baik. Jika ini bisa dilakukan, maka akan bisa meminimalisasi kondisi, dan orientasi ke ranah politik pemuda bisa diminimalisasi,’’ jelas Akademisi IAIN Dr Kadri.
Lain lagi dengan pandangan Akademisi IAIN Mataram Riduan Mas’ud soal pemuda. Menurutnya, saat era Nurkholis Majid, gerakan yang berkembang adalah gerakan pemikiran yang mampu menghasilkan dinamika keilmuan yang luar biasa. Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, seperti IAIN Jogjakarta maupun IAIN Jakarta memiliki sejumlah pendobrak pemikiran yang ketokohannya diakui seperti Syafi’i Ma’arif dan lainnya. Namun, kondisional yang dihadapi Nurkholis Majid dan Syafi’i Ma’arif tentu berbeda dengan kondisi yang dihadapi pemuda era masa kini.
          Persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian semua pihak, khususnya kaum muda. Sebab tantangan persoalan ekonomi menjadi salah satu kondisi yang harus siap dihadapi. Jika pemuda sepakat, musuh utama adalah persoalan ekonomi, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah bagaimana melahirkan gagasan yang siap diimplementasikan.
Moratorium pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditetapkan pemerintah akan berdampak pada jumlah pengangguran pada usia produktif. Hal ini merupakan ancaman nasional yang juga dihadapi NTB. Salah satu hasil survei menunjukkan, jumlah pengangguran di Indonesia berkorelasi terbalik dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka jumlah pengangguran dari kelompok yang tamat pendidikan SD/SMP ini justru lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelompok pemuda usia produktif yang memiliki pendidikan SMA dan perguruan tinggi.
          Generasi muda saat ini tidak memiliki minat dan kemampuan yang cukup untuk menjadi enterpreneur alias menciptakan lapangan kerja sendiri. Sebagian besar kelompok pemuda dengan pendidikan SMA ke atas cenderung memilih menunggu melamar pekerjaan di sebuah instansi atau perusahaan. Padahal, pemerintah sudah mulai mengampanyekan gerakan enterpreneurship, begitu juga dengan Pemprov NTB dengan program 100 ribu wirausahawan baru.
Akademisi IAIN Mataram Riduan Mas’ud menegaskan, pembenahan pendidikan, khususnya bagaimana menumbuhkan semangat enterpreneur di lingkungan pendidikan perlu segera dilakukan. Jika tidak memulai dari pendidikan, apa yang hendak dicapai tidak akan mampu terjawab seperti apa yang diharapkan. Ini juga bisa dimulai dengan membuka jurusan-jurusan baru yang lebih mengarah pada pembentukan skill pemuda. ‘’Harus ada transformasi,’’ ujar Riduan yang juga ketua Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) NTB ini.

Krisis Peran Organisasi Pemuda
Ketua GP Ansor Syaeb Qury menyorot keberadaan KNPI, khususnya KNPI NTB yang tidak memiliki visi dan semangat membangun kepemudaan. Justru KNPI menjadi kekuatan politik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ‘’Ini kan ironis. Jangan biarkan KNPI ini jadi bagian dari alat untuk melanggengkan kepentingan,’’ tandasnya.
Mengenai peran GP Ansor sebagai salah satu elemen organisasi pemuda di NTB maupun lebih luas di Indonesia, jika dilihat secara histrois, Ansor memiliki sejarah dan tradisi melawan kekuasaan. Meski  demikian, Syueb tidak membantah jika kader Ansor tetap diperkenankan masuk dalam ranah politik praktis asalkan tetap menjaga prinsip-prinsip menjadi pedoman, seperti prinsip membangun ukhuwah wathiniyah dan ukhuwah batiniyah.
          Ketua Serikat Tani Nasional (STN) NTB Ahmad Rifai menilai, pemuda cenderung gamang dan kehilangan arah, miskin filsafat dan tidak memiliki ideologi yang menjadi pegangan. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ini terkait dengan pendidikan yang mahal dan tidak berkualitas. Dan ini merupakan dampak dari imperialisme modal yang mencengkeram Indonesia. ‘’Sekarang, hasil lukisan budaya penjajah yang menjadi fenomena pemuda saat ini tidak mampu kita bendung,’’ bebernya.
          Hal senada juga diungkapkan Koordinator P2PHSD Unram Dr Wira Pria Suhartana terkait posisi dan peran kaum muda NTB saat ini. Dikatakan, kaum muda hampir tidak memiliki kuasa rencana dan kehilangan arah dalam melakukan gerakan kepemudaan karena tidak memiliki support system yang kuat agar pemuda bisa berdaya. Karakter miskin masih ada pada diri pemuda. Kompetisi semakin ketat, apalagi perjanjian perdagangan bebas buru-buru diteken pemerintah.
          Sementara itu, peneliti P2PHSD Universitas Mataram Lalu Syaepuddien memandang, negara memiliki peran yang semestinya tidak dilupakan ketika bicara pemuda dan ekonomi. Jika saat ini pemuda tidak memiliki kemampuan atau dalam kondisi yang tidak menggembirakan, maka perlu dipertanyakan peran negara dalam menjamin hak-hak konstitusional warga negara. Saat ini, persentase pemuda yang nganggur mencapai 602 persen. Indonesia memiliki SDM yang kaya raya, tapi justru tidak bisa dinikmati untuk kesejahteraan. Namun, adanya kebijakan ekonomi politik yang diterapkan pemerintah justru tidak berpihak pada pemuda dan masyarakat banyak. ‘’Politik ekonomi inilah yang memiskinkan pemuda,’’ kata pria yang akrab disapa Gayep ini.
          Pemerintah selalu heroik meneriakkan pemberdayaan dan peranan pemuda. Namun, tidak pernah melakukan hal yang heroik dalam mengupayakan lapangan kerja bagi pemuda. Rendahnya tingkat ekonomi kaum muda ini memunculkan persoalan baru. Apalagi barang-barang terbaru memenuhi kebutuhan hidup era masa kini banyak berjejer di etalase pertokoan, namun tidak mampu diakses. Sehingga persoalan ini mendorong tingkat kriminalitas. ‘’Ini yang dinamakan push pull theory dalam kriminologi, yakni adanya tekanan dari luar sehingga orang melakukan tindak kejahatan,’’ jelas dosen kriminologi Fakultas Hukum Unram ini.
Program pemerintah tidak amburadul, seperti adanya subsidi Rp 15 juta bagi PNS yang akan membeli rumah dari Kementerian Perumahan Rakyat. Kalangan PNS yang notabene merupakan kalangan mampu seharusnya tidak diberikan kemudahan seperti ini, dana ini seharusnya bisa diberikan kepada pemuda yang ingin mengembangkan diri. ‘’DPRD juga seharusnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membantu pemuda. Selama ini, Pemprov tidak pernah membangun semangat ekonomi pemuda. Seharusnya hal ini bisa menjadi ikon kebangkitan pemuda NTB,’’  jelasnya. ‘’Negara akan kuat jika pemudanya juga kuat,’’ tambah Koordinator P2HSD Dr Wira Pria Suhartana.
          Kordinator LARD NTB Mahmudah juga mengungkapkan adanya sejumlah fenomena yang memprihatinkan terkait sektor ekonomi produktif, khususnya terkait enterpreneur. Sejumlah mesin pengolahan yang diberikan pemerintah seperti mesin pengolah kayu, mesin rumput laut, mesin jambu mete di sejumlah kabupaten tidak dikelola dan difungsikan. Padahal, jika dikelola dengan baik akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi. ‘’Ini kan jadi soal. Apakah SDM kita yang tidak mampu atau program ini tidak dikawal pemerintah. Jika mesin-mesin ini mampu dimanfaatkan, maka bisa merektrut pengangguran-pengangguran,’’ kata perempuan yang akrab disapa Mbak Uda ini.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim juga menilai ada beberapa langkah yang sudah dilakukan dengan tepat oleh pemerintah, meskipun masih dalam proses trial error. Yakni mengubah konsep pendidikan dengan memperbanyak sekolah kejuruan. Hal ini untuk menangkap adanya peluang-peluang ekonomi yang ada. ‘’Makanya secepatnya, pemerintah melakukan maping terkait persoalan pemuda ini. Jangan hanya kapling pemuda dari sisi politik,’’ tandasnya.(*)

No comments:

Post a Comment