KAUM muda mampu menunjukkan
kepeloporan sejarah. Proklamasi kemerdekaan RI juga tidak lepas dari peran kaum
muda, yakni adanya peristiwa Rengas Dengklok yang dipimpin Sukarni dan
kawan-kawan berhasil memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada
17 Agustus 1945. Sejumlah fase lompatan sejarah Indonesia, kaum muda juga
memiliki peran besar. Seperti penggulingan Soekarno pada era Orde Lama pada dekade
1960, protes Orde Baru yang melahirkan peristiwa Malari pada era 1970-an. Yang teranyar
adalah Gerakan Reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru.
Di NTB juga memiliki sejarah yang kurang lebih sama dengan fase-fase
pergerakan nasional. Seperti pada masa reformasi dengan munculnya Forum
Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) sebagai organisasi tingkat lokal. Dan terpilihnya
Tuan Guru Bajang (TGB) TGH M Zainul Majdi sebagai Gubernur dan tercatat sebagai
gubernur termuda di Indonesia yakni dalam usia 36 tahun, 3 bulan, dan 17 hari dipandang
sebagai bukti keberhasilan dan kemampuan kaum muda NTB yang bisa mengambil alih
panggung kepemimpinan. Terpilihnya figur muda ini juga menjadi harapan
kebangkitan kaum muda di NTB untuk berperan lebih besar dalam mengangkat
pembangunan daerah sehingga NTB bisa sejajar dengan daerah lain.
Namun, tidak semua memiliki pandangan sama tentang posisi
TGB sebagai gubernur merupakan keberhasilan kaum muda di NTB. Akademisi IAIN
Mataram Dr Kadri justru menilai sebaliknya. Alasannya, terpilihnya TGB sebagai gubernur
bukanlah sebuah representasi kaum muda. TGB terpilih justru lebih dipengaruhi
faktor trah dan posisinya selaku tuan guru dan pemimpin NW. Belum ada hal
signifikan yang juga bisa menunjukkan gubernur memiliki visi dan keberpihakan
pada kaum muda NTB. Meskipun layak diapresiasi saat memberikan kesempatan pada
sejumlah kader muda yang masuk dalam barisan DPD Partai Demokrat NTB. ‘’Tapi gubernur
kita muda, ini riil,’’ beber Kadri saat diskusi #forumwiken di Sekretariat NC,
Jalan Pariwisata 11 Mataram, Jumat 28 Desember 2011.
Mengenai
kondisi pemuda NTB kekinian, Kadri mengakui kalangan muda memiliki beragam
persoalan serius yang mesti dibenahi, seperti kondisi organisasi kepemudaan yang
tidak solid baik secara internal maupun eksternal. Bahkan, kalangan pemuda
cenderung berpikir pragmatis dan hedonistis. Kalangam mahasiswa lebih
memikirkan soal pulsa dari pada pemikiran.
Di arena
politik juga demikian. Kalangan muda yang masuk dunia politik tidak bisa
diharapkan membawa perubahan. Mereka cenderung diperalat kekuatan besar untuk
mengamankan kepentingan tertentu. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum DPP Partai Demokrat semestinya bisa menjadi pintu masuk yang baik untuk
men-take over generasi berikutnya. Meskipun akhirnya tersandung sejumlah
persoalan.
Pada tingkatan lokal, pola
gerakan pemuda di NTB juga masih sangat reaktif. Isu-isu nasional masih
seringkali ditanggapi dengan reaktif mengikuti mainstream tingkat
nasional. Sementara, isu-isu lokal justru minim perhatian. Padahal, rendahnya
posisi IPM, soal pendidikan, kesehatan dan persoalan sosial lainnya sebenarnya
lebih menjual untuk diangkat dalam menggerakkan kekuatan civil society.
Institusi politik pada dasarnya
juga tidak memberikan ruang yang cukup kepada kaum muda. Meskipun disisi lain,
sejumlah kader parpol yang kini duduk di parlemen yang dianggap mewakili kaum
muda tidak menunjukkan kontribusi optimal bagi daerah. ‘’Ada Fahri Hamzah dan M
Luthfi wakil rakyat NTB di pusat. Apa kontribusinya? Anggota DPRD NTB dari
kalangan muda juga tidak memberikan kontribusi yang jelas,’’ papar akademisi
IAIN Mataram ini.
Saat
ini, pragmatisme generasi pemuda sudah sedemikian parah. Kadri membeberkan,
fenomena yang dialami saat melakukan program pemberdayaan ekonomi berbasis madrasah
dan masjid di salah satu kabupaten di NTB. Pemuda-pemuda yang direkrut justru
menanyakan berapa uang yang akan diperoleh dari pelatihan yang digelar
Nusatenggara Centre (NC). Padahal, adanya program ini menjadi momentum yang
baik untuk bisa belajar dan menjadi seorang enterpreneur. ‘’Ini juga soal mindset,
sehingga perlu ada perubahan mindset yang harus dilakukan sejak usia
dini. Generasi muda susah untuk diharapkan bisa melanjutkan perjuangan bangsa
dengan kenyataan seperti ini. Makanya, istilah potong generasi bisa diterapkan
dengan menerapkan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan,’’ ungkapnya.
Sementara
itu, Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim menilai, sejak Orde Baru
terjadi proses pembusukan di kalangan kaum muda, melalui penjinakan pemikiran
dan lainnya. Salah satunya dilakukan dengan menempatkan kaum muda pada
kelembagaan yang memperkuat kekuasaan. Kondisi ini terus berlanjut tanpa
disadari. Pembusukan gerakan dan peran kaum muda terjadi di dunia kampus. Kanal
politik praktis bagi kaum muda dibuka. Sehingga kaum muda tidak mampu lagi
menunjukkan indentitas dan ikut tergerus dalam pusaran arus yang ada. ‘’Selama
ini, pemuda cenderung memiliki cara pandang untuk menemukan jalan tol dalam
berpolitik dan sektor lainnya,’’ bebernya.
Tidak ada larangan dan bukan hal yang keliru pemuda masuk
barisan parpol. Namun, pemuda tentu harus lebih selektif dan kritis masuk dalam
barisan parpol. Jika kaum muda hanya terpaku pada politik kekuasaan, maka tidak
akan menyelesaikan persoalan kepemudaan. Organisasi-organisai kepemudaan
yang ada juga gagal mengambil peran dan menjadi payung pemuda dalam melakukan
gerakan. Termasuk juga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Organisasi
pemuda ini hampir hanya menjadi sekadar batu loncatan politik yang dimainkan
siapa yang menjadi pemilik kuasa di KNPI. Padahal, KNPI merupakan satu-satunya
organisasi yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah, bahkan selalu
diberikan anggaran resmi dalam APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota.
‘’Ini kan tidak adil, kenapa hanya
KNPI? Saya minta sejak lama, anggaran KNPI di APBD dihapus saja,’’ tandas
pengusaha muda Agus Firadz Wirawan.
Dalam diskusi-diskusi
kepemudaan, seringkali kalangan muda lupa membahas bagaimana mendorong hal
konkret yang harus dilakukan. Rekomendasi yang dihasilkan selalu terkait sosio-politik
semata. Sedangkan hal yang bersifat mikro, taktis dan faktual jarang dibahas.
Hal-hal filosofis mendapatkan porsi terlalu besar. ‘’Pembahasannya selalu
berbau langitan, tapi kita lupa kalau kaki kita korengan,’’ cetusnya.
Disisi lain, Agus juga menyorot
program 100 ribu wirausahawan yang dikeluarkan Pemprov NTB. Program ini
dianggap program mimpi disiang bolong, sebab tidak akan mampu direalisasi. Sebab
ada beberapa hal yang tidak mendapat perhatian pemerintah saat menyusun program
ini. Yakni adanya usaha semacam kartel yang menguasai sebagian besar sektor
bisnis di NTB. Dengan pertambahan wirausahawan, maka bisnis kartel yang sudah
lama ada akan terganggu. ‘’Jangankan 100 ribu, 10 saja mereka akan terganggu,’’
ungkapnya.
Ada beberapa hal yang
seharusnya menjadi perhatian politisi dan pemegang kebijakan. Khususnya terkait
hal yang lebih teknis, misalnya cukai yang tinggi terhadap pengiriman ayam ke
pulau Bali. Padahal, tingginya cukai membuat ayam NTB tidak mampu bersaing
dengan ayam di Bali, meskipun pasar ayam di Bali sangat potensial. ‘’Hal-hal
seperti ini kan perlu intervensi politik. Tapi tidak pernah dilakukan,’’
tandasnya.
Begitu juga di sektor
perberasan. Pemprov NTB dianggap terlalu membebek dengan keinginan pemerintah
pusat, salah satunya terkait dengan posisi NTB yang ditempatkan sebagai lumbung
pangan nasional. Pemerintah ‘’memaksa‘’ petani menanam padi. Padahal,
kesejahteraan petani tidak pernah bisa meningkat dengan menanam padi. Sebab,
sektor ini telah dikuasai kartel beras, sehingga komoditi ini hanya
menguntungkan para pengusaha besar yang ada dalam lingkaran kartel perberasan.
‘’Jika pemuda dianggap menguasai 30 persen segmen politik, kenapa kebijakan
seperti ini tidak bisa dilawan. Pemerintah masih tetap saja memberi proteksi
terhadap pengusaha tertentu, ini kan ironis,’’ ungkapnya.
Pemerintah harus memberikan jaminan terhadap sektor usaha
kemudian bisa membentuk ideologi ekonomi pemuda dengan gerakan riil. Perjuangan
pemuda tidak lepas dari perjuangan ekonomi. Pemerintah perlu menerapkan aturan
main dengan menerapkan sanksi tegas terhadap semua pihak termasuk di internal
pemerintah. ‘’Jika ada kartel bisnis yang menguasai, kenapa tidak kita membikin
kartel bisnis yang dijalankan pemuda, ini lebih baik,’’ tegasnya.
Membenahi
Pendidikan Generasi
PERAN negara adalah menyediakan kesempatan bagi kaum muda
untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan. Kerap kaum muda justru menjadi
kalangan yang melancarkan protes terhadap kebijakan pemerintah. Persoalan kepemudaan
ini seringkali tidak dilihat sebagai persoalan serius oleh penyelenggara
negara. Seringkali pemuda hanya dilihat sebagai potensi politik semata yang
bisa dimanfaatkan.
Direktur
Semmaidea Communication Adhar Hakim menilai, dengan karakter khas yang dimiliki
NTB, ada peluang untuk melahirkan dan menjawab akar persoalan ke-NTB-an. Ponpes
bisa dijadikan salah satu kekuatan membangun pemuda, di Pulau Jawa, banyak
kader Ponpes yang mampu melahirkan pemikiran radikal. Selama ini, pemerintah
daerah seringkali membuat janji dan rencana di atas meja tanpa analisis yang
komprehensif. Sehingga tatkala diimplementasikan tidak pernah menunjukkan hasil
seperti yang diharapkan. Pemuda tidak bisa berharap akan ada perubahan. ‘’Coba
lihat, siapa yang ragukan Gus Dur, dididik di lingkungan Ponpes tapi dibesarkan
dengan kegelisahan sosial politik menempatkan diri sebagai posisi berlawanan
dengan Orde Baru,’’ bebernya.
Bagi Adhar, berharap ada
perubahan dengan kondisi seperti saat ini bukan hal yang patut dilakukan. Tapi
bagaimana mendorong perubahan atau merebut aset dan peluang dengan berbagai
metodologi agar kaum muda bisa ditempatkan pada posisi yang seharusnya.
Perjuangan terhadap keberpihakan anggaran terkait kepemudaan juga patut
dilakukan. Selama ini, keberpihakan politik anggaran pemerintah terhadap pemuda
patut dipertanyakan. Dalam penyusunan anggaran, para politisi biasanya membahas
anggaran kepemudaan pada prioritas kesekian. Perlu membangun ruang apresiasi
bagi pemuda agar bisa menyalurkan aspirasi dan keinginan mesti disediakan.
Selama ini selalu saja pemerintah membicarakan hal-hal jangka pendek tanpa
pernah mau menempatkan pondasi untuk NTB kedepan. ‘’Selama ini pemuda hanya
dilihat sebagai beban, bukan resource. Pemda mesti memiliki konsep politik untuk
bisa membela kepemudaan,’’ tegasnya.
Perbaikan sektor
pendidikan juga harus dilakukan, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
menumbuhkan semangat interpreneurship dengan membuat kurikulum pendidikan juga
mengajarkan kewirausahawanan. Pondok pesantren bisa menjadi salah satu basis
untuk mulai mendidik generasi enterpreneur ini. ‘’Adanya karakter Islami santri
ponpes tidak masalah. Ini bisa lebih baik. Jika ini bisa dilakukan, maka akan
bisa meminimalisasi kondisi, dan orientasi ke ranah politik pemuda bisa
diminimalisasi,’’ jelas Akademisi IAIN Dr Kadri.
Lain lagi dengan pandangan Akademisi IAIN Mataram Riduan Mas’ud soal pemuda. Menurutnya, saat
era Nurkholis Majid, gerakan yang berkembang adalah gerakan pemikiran yang
mampu menghasilkan dinamika keilmuan yang luar biasa. Sejumlah perguruan tinggi
di Indonesia, seperti IAIN Jogjakarta maupun IAIN Jakarta memiliki sejumlah pendobrak
pemikiran yang ketokohannya diakui seperti Syafi’i Ma’arif dan lainnya. Namun,
kondisional yang dihadapi Nurkholis Majid dan Syafi’i Ma’arif tentu berbeda
dengan kondisi yang dihadapi pemuda era masa kini.
Persoalan
ekonomi merupakan salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian semua
pihak, khususnya kaum muda. Sebab tantangan persoalan ekonomi menjadi salah
satu kondisi yang harus siap dihadapi. Jika pemuda sepakat, musuh utama adalah
persoalan ekonomi, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah bagaimana
melahirkan gagasan yang siap diimplementasikan.
Moratorium pengangkatan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditetapkan pemerintah akan berdampak pada jumlah
pengangguran pada usia produktif. Hal ini merupakan ancaman nasional yang juga
dihadapi NTB. Salah satu hasil survei menunjukkan, jumlah pengangguran di
Indonesia berkorelasi terbalik dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah
tingkat pendidikan, maka jumlah pengangguran dari kelompok yang tamat
pendidikan SD/SMP ini justru lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelompok
pemuda usia produktif yang memiliki pendidikan SMA dan perguruan tinggi.
Generasi
muda saat ini tidak memiliki minat dan kemampuan yang cukup untuk menjadi enterpreneur
alias menciptakan lapangan kerja sendiri. Sebagian besar kelompok pemuda dengan
pendidikan SMA ke atas cenderung memilih menunggu melamar pekerjaan di sebuah
instansi atau perusahaan. Padahal, pemerintah sudah mulai mengampanyekan
gerakan enterpreneurship, begitu juga dengan Pemprov NTB dengan program 100
ribu wirausahawan baru.
Akademisi IAIN Mataram Riduan
Mas’ud menegaskan, pembenahan pendidikan, khususnya bagaimana menumbuhkan
semangat enterpreneur di lingkungan pendidikan perlu segera dilakukan. Jika
tidak memulai dari pendidikan, apa yang hendak dicapai tidak akan mampu terjawab
seperti apa yang diharapkan. Ini juga bisa dimulai dengan membuka
jurusan-jurusan baru yang lebih mengarah pada pembentukan skill pemuda. ‘’Harus
ada transformasi,’’ ujar Riduan yang juga ketua Pusat Inkubasi Bisnis Usaha
Kecil (Pinbuk) NTB ini.
Krisis Peran Organisasi Pemuda
Ketua GP Ansor Syaeb Qury menyorot
keberadaan KNPI, khususnya KNPI NTB yang tidak memiliki visi dan semangat
membangun kepemudaan. Justru KNPI menjadi kekuatan politik untuk kepentingan
pribadi dan kelompok. ‘’Ini kan ironis.
Jangan biarkan KNPI ini jadi bagian dari alat untuk melanggengkan
kepentingan,’’ tandasnya.
Mengenai
peran GP Ansor sebagai salah satu elemen organisasi pemuda di NTB maupun lebih
luas di Indonesia, jika dilihat secara histrois, Ansor memiliki sejarah dan
tradisi melawan kekuasaan. Meski demikian,
Syueb tidak membantah jika kader Ansor tetap diperkenankan masuk dalam ranah
politik praktis asalkan tetap menjaga prinsip-prinsip menjadi pedoman, seperti
prinsip membangun ukhuwah wathiniyah dan ukhuwah batiniyah.
Ketua Serikat Tani Nasional (STN) NTB Ahmad Rifai menilai,
pemuda cenderung gamang dan kehilangan arah, miskin filsafat dan tidak memiliki
ideologi yang menjadi pegangan. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ini terkait
dengan pendidikan yang mahal dan tidak berkualitas. Dan ini merupakan dampak
dari imperialisme modal yang mencengkeram Indonesia. ‘’Sekarang, hasil
lukisan budaya penjajah yang menjadi fenomena pemuda saat ini tidak mampu kita
bendung,’’ bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Koordinator
P2PHSD Unram Dr Wira Pria Suhartana terkait posisi dan peran kaum muda NTB saat
ini. Dikatakan, kaum muda hampir tidak memiliki kuasa rencana dan kehilangan
arah dalam melakukan gerakan kepemudaan karena tidak memiliki support system yang kuat agar pemuda
bisa berdaya. Karakter miskin masih ada pada diri pemuda. Kompetisi
semakin ketat, apalagi perjanjian perdagangan bebas buru-buru diteken
pemerintah.
Sementara
itu, peneliti P2PHSD Universitas Mataram Lalu Syaepuddien memandang, negara
memiliki peran yang semestinya tidak dilupakan ketika bicara pemuda dan
ekonomi. Jika saat ini pemuda tidak memiliki kemampuan atau dalam kondisi yang
tidak menggembirakan, maka perlu dipertanyakan peran negara dalam menjamin
hak-hak konstitusional warga negara. Saat ini, persentase pemuda yang nganggur
mencapai 602 persen. Indonesia memiliki SDM yang kaya raya, tapi justru tidak
bisa dinikmati untuk kesejahteraan. Namun, adanya kebijakan ekonomi politik
yang diterapkan pemerintah justru tidak berpihak pada pemuda dan masyarakat
banyak. ‘’Politik ekonomi inilah yang memiskinkan pemuda,’’ kata pria yang
akrab disapa Gayep ini.
Pemerintah
selalu heroik meneriakkan pemberdayaan dan peranan pemuda. Namun, tidak pernah
melakukan hal yang heroik dalam mengupayakan lapangan kerja bagi pemuda.
Rendahnya tingkat ekonomi kaum muda ini memunculkan persoalan baru. Apalagi
barang-barang terbaru memenuhi kebutuhan hidup era masa kini banyak berjejer di
etalase pertokoan, namun tidak mampu diakses. Sehingga persoalan ini mendorong tingkat
kriminalitas. ‘’Ini yang dinamakan push
pull theory dalam kriminologi, yakni adanya tekanan dari luar sehingga
orang melakukan tindak kejahatan,’’ jelas dosen kriminologi Fakultas Hukum
Unram ini.
Program pemerintah tidak amburadul, seperti adanya
subsidi Rp 15 juta bagi PNS yang akan membeli rumah dari Kementerian Perumahan
Rakyat. Kalangan PNS yang notabene merupakan kalangan mampu seharusnya tidak
diberikan kemudahan seperti ini, dana ini seharusnya bisa diberikan kepada
pemuda yang ingin mengembangkan diri. ‘’DPRD juga seharusnya mengalokasikan
anggaran yang cukup untuk membantu pemuda. Selama ini, Pemprov tidak pernah
membangun semangat ekonomi pemuda. Seharusnya hal ini bisa menjadi ikon
kebangkitan pemuda NTB,’’ jelasnya. ‘’Negara
akan kuat jika pemudanya juga kuat,’’ tambah Koordinator P2HSD Dr Wira Pria
Suhartana.
Kordinator
LARD NTB Mahmudah juga mengungkapkan adanya sejumlah fenomena yang
memprihatinkan terkait sektor ekonomi produktif, khususnya terkait enterpreneur.
Sejumlah mesin pengolahan yang diberikan pemerintah seperti mesin pengolah
kayu, mesin rumput laut, mesin jambu mete di sejumlah kabupaten tidak dikelola
dan difungsikan. Padahal, jika dikelola dengan baik akan mampu memperbaiki
kondisi ekonomi. ‘’Ini kan jadi soal. Apakah SDM kita yang tidak mampu
atau program ini tidak dikawal pemerintah. Jika mesin-mesin ini mampu dimanfaatkan,
maka bisa merektrut pengangguran-pengangguran,’’ kata perempuan yang akrab
disapa Mbak Uda ini.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim juga
menilai ada beberapa langkah yang sudah dilakukan dengan tepat oleh pemerintah,
meskipun masih dalam proses trial error. Yakni mengubah konsep
pendidikan dengan memperbanyak sekolah kejuruan. Hal ini untuk menangkap adanya
peluang-peluang ekonomi yang ada. ‘’Makanya secepatnya, pemerintah melakukan
maping terkait persoalan pemuda ini. Jangan hanya kapling pemuda dari sisi
politik,’’ tandasnya.(*)
No comments:
Post a Comment