Friday, 14 October 2011

MENGGUGAT KENAIKAN TARIF PDAM MENANG MATARAM



DALAM diskusi #forumwiken yang digelar Jumat malam, 14 Oktober 2011. Peserta menyepakati menggugat PDAM Menang Mataram yang memberlakukan kenaikan tarif penjualan air bersih. Rencana gugatan class action yang akan diajukan para pelanggan PDAM, akademisi, pengacara, tokoh LSM, tokoh pemuda dan berbagai unsur gabungan merupakan puncak kekecewaan terhadap pengelolaan PDAM beserta dua pemerintah daerah sebagai pemilik, yakni Lombok Barat dan Kota Mataram. Jika saja kedua pemda tidak memberikan restu terhadap kenaikan tarif ini, kebijakan ini tidak bisa dieksekusi PDAM.
Kebijakan PDAM Menang Mataram yag diamini Pemda Lombok Barat dan Pemkot Mataram selaku pemilik tidak bisa menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan semangat pasal ini. Sejumlah kebijakan pemda serta PDAM dianggap bertentangan dengan semangat Pasal 33 ini. Termasuk kebijakan kenaikan tarif. Diketahui, PDAM memiliki keuntungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan tarif sebelum dinaikkan. Jumlahnya mencapai Rp 15 miliar lebih. Namun, deviden PDAM ini justru tidak dialokasikan lagi dalam bentuk penyertaan modal kepada PDAM untuk perluasan dan perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan tarif jasa air bersih yang ada, PDAM sudah memperoleh keuntungan yang cukup besar. Rendahnya biaya produksi menjadi faktor pendukung, sebab air baku yang digunakan merupakan air pegunungan yang bersumber dari Taman Nasional Gunung Rinjani. Keuntungan ini bisa digunakan untuk memperluas jaringan, sehingga semakin banyak pelanggan yang bisa menikmati pelayanan PDAM. Selama ini, PDAM hanya melakukan pengembangan jaringan dari bantuan pemerintah pusat. ‘’Pengelolaan air ini mesti dikembalikan ke Pasal 33 UUD 1945 ini,’’ ungkap Ketua LSBH NTB Suhaimi.
          Ada semangat yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan air, khususnya kebijakan kenaikan tarif yang ditetapkan PDAM Menang Mataram dengan persetujuan Pemda Lobar dan Pemkot Mataram selaku pemilik saham. Padahal, tingkat ketergantungan masyarakat Kota Mataram dan sebagian Lombok Barat terhadap PDAM ini sangat tinggi. Pelayanan PDAM ini menjadi satu-satunya akses pelayanan air bersih. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menfasilitasi warga memperoleh akses air bersih.  ‘’Air tidak boleh dijadikan ajang mencari uang bagi pemda,’’ tegas peneliti P2PHSD Unram Lalu Syaepuddin alias Gayep.
Pemda Lombok Barat sepatutnya tidak mengklaim air yang berasal dari TNGR yang berada di wilayah administratif Lombok Barat ini sebagai hak milik. Dalam Pasal 33 UUD 1945 jelas tertuang penegasan mengenai posisi air yang dikuasai negara. Kepemilikan bersama menjadi semangat yang harus dijaga.  Air sebagai barang publik harus dikeloa dengan bijak dengan memperhatikan seluruh aspek yang ada.
Soal kepemilikan saham juga disorot, dalam regulasi tentang perusahaan daerah, tidak dikenal istilah ‘’kepemilikan saham‘’ dalam PDAM. Istilah ini hanya digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap posisi dua pemda pemegang kendali perusahaan. Kepemilikan saham ini juga sempat disoal karena dirasa tidak proporsional. Pemda Lobar memiliki kuasa 65 persen, sedangkan Kota Mataram hanya 35 persen. Sehingga dari sisi kebijakan, Lobar lebih dominan. Sehingga apa yang menjadi dasar Pemda Lobar menjadi pemegang saham dominan dipertanyakan. Sebab, jika mengklaim sebagai pemilik air, jelas keliru. Sebab dalam konstitusi UUD 1945, tegas disebutkan, air dikuasai negara. Sehingga pemda ataupun warga Lobar tidak bisa mengklaim air yang bersumber di Lobar merupakan hak milik.
Di sisi lain, hampir 80 persen pelanggan PDAM ada di Kota Mataram. Sehingga pendapatan terbesar perusahaan diperoleh dari masyarakat Kota Mataram. Tingkat ketergantungan warga kota terhadap PDAM ini sangat tinggi. Kebutuhan air bersih warga sebagian besar dipenuhi dari pipa-pipa PDAM. Namun, pemkot dianggap tidak memiliki cukup kewenangan dalam memberikan proteksi terhadap warganya sendiri. Hanya saja, persoalan proporsi kepemilikan saham ini dipandang tidak subtansial. Sebab, kepemilikan dominan pemkot terhadap PDAM bukan merupakan jaminan pemkot bisa menelurkan kebijakan yang promasyarakat.
Berkaca dari kebijakan kenaikan tarif, Pemkot Mataram jelas mendukung kebijakan kenaikan tarif ini ini, meskipun di tingkat DPRD Kota Mataram sejumlah wakil rakyat bersuara lantang menentang kebijakan ini. Sehingga, soal kepemilikan saham ini menjadi urusan yang tidak prioritas dalam hal pelayanan terhadap masyarakat. ‘’Siapapun pemiliknya dan siapapun mayoritas, bagi publik adalah pelayanan. Ini yang jadi soal,’’ ungkap pengamat kebijakan publik Dr Kadri saat diskusi #forumwiken yang berlangsung hingga larut malam ini.
Hampir seluruh peserta diskusi yang terdiri dari akademisi, pengacara, tokoh LSM, tokoh pemuda, kalangan jurnalis serta tokoh masyarakat lainnya ini merupakan pelanggan PDAM Menang Mataram. Mereka merasakan dampak langsung dari kebijakan yang dianggap tidak populis ini. Persoalan kenaikan tarif ini menjadi isu publik utama di Lombok Barat dan Kota Mataram. Beragam sikap dan rasionalisasi diungkapkan masing-masing pihak. Sehingga, #forumwiken yang selalu mengangkat tema-tema terkait publik menyepakati persoalan air ini menjadi fokus diskusi akhir pekan.

Jasa Lingkungan Bukan untuk PAD
Penetapan jasa lingkungan yang notabene merupakan retribusi yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Lombok Barat juga menjadi masalah lain dalam pengelolaan air di Lombok Barat dan Kota Mataram. Adanya retribusi jasa lingkungan yang ditetapkan melalui perda ini juga menjadi salah satu komponen yang akan digugat.
Pelestarian lingkungan tidak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar mata air. Desakan secara ekonomi membuat masyarakat sekitar mata air atau di sekitar hutan tidak mampu memelihara lingkungan. Bahkan masyarakat setempat bisa menjadi aktor perusak lingkungan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kesadaran partisipatif dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan menjadi hal wajib dalam pengelolaan air dan lingkungan. Dengan ekonomi yang lebih baik, kesadaran atas kelestarian lingkungan yang memadai, maka masyarakat akan proaktif dan menjadi bagian dari sistem pelestarian lingkungan.
Konsep jasa lingkungan ini menjadi hal wajib yang dijalankan dan dibebankan kepada seluruh pelanggan PDAM. Hanya saja, konsep jasa lingkungan ini semestinya tidak ditetapkan melalui perda. Sebab ketika besaran jasa lingkungan ini ditetapkan melalui perda, maka Pemda Lobar berada pada posisi ‘’pemilik hak’’ atas air. Adanya tarif jasa lingkungan ini akan terhitung sebagai pendapatan asli daerah (PAD) yang harus disetorkan ke kas daerah dengan klasifikasi sejenis retribusi. Penganggaran jasa lingkungan ini juga harus mengikuti sistem dan pola penganggaran seperti umumnya PAD. Jika keberpihakan politik anggaran Lobar terhadap lingkungan memadai, maka anggaran ini bisa teralokasi dengan baik dalam belanja. Jika tidak, jasa lingkungan ini justru akan menjadi lumbung PAD untuk melaksanakan kebijakan politik pemerintah daerah semata.
Direktur LSBH NTB Suhaimi menegaskan, pihaknya terlibat aktif bersama Walhi NTB saat penyusunan Perda Jasa Lingkungan ini. Namun, pola yang ditawarkan saat itu tidak seperti apa yang berlaku saat ini. ‘’Semangat jasa lingkungan ini tidak untuk PAD, tapi untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,’’ beber mantan salah satu unsur pimpinan Front Mahasiswa Nasional ini.
Jasa lingkungan yang pada dasarnya adalah retribusi yang ditetapkan Pemda Lobar juga dibebankan pada masyarakat Kota Mataram. Padahal, secara hukum, perda merupakan produk hukum yang bersifat teritorial. Perda Provinsi NTB tidak bisa diberlakukan di teritorial Provinsi NTT atau Provinsi Bali. Begitu juga dengan Perda Lombok Barat, tidak bisa diberlakukan kepada masyarakat yang ada di teritorial Kota Mataram.
‘’Perda itu teritorial, jasa lingkungan ini pungli,’’ tegas Koordinator P2PHSD Unram Dr Wira Pria Suhartana. Dan, PDAM semestinya bisa menolak menjadi juru pungut terhadap jasa lingkungan ini. Namun, retribusi ini justru dibayarkan dengan kwitansi yang sama saat pembayaran tagihan air PDAM.
Ada beberapa opsi yang muncul terkait pola jasa lingkungan ini. Kebijakan atas jasa lingkungan ini bisa ditetapkan PDAM, kemudian PDAM menyalurkan kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang disepakati. Sehingga, dana yang bersumber dari jasa lingkungan yang dibayarkan pelanggan PDAM ini bisa sepenuhnya dialokasikan untuk pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jumlah dan penggunaannya dilaporkan secara berkala kepada publik sebagai upaya transparansi dan akutabilitas.
Selama ini, konsumen selalu menjadi subordinat atas produsen yang memiliki kuasa atas produk. Sehingga seringkali produsen bersikap semena-mena terhadap konsumen dengan berdiri pada rasionalisasi dan perspektif produsen. Padahal, konsumen juga memiliki hak terhadap barang/jasa yang telah dibeli dan bagaimana konsumen tidak dirugikan atas jual-beli yang telah dilakukan. Konsepsi dasar atas perlunya perlindungan konsumen inilah yang kemudian menelurkan adanya kebijakan pemerintah sebagai regulator menerbitkan undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen. Di Indonesia, adanya perlindungan konsumen ini baru diatur negara dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen.
          Dalam UU ini, perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Dengan bahasa lain, perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Contohnya, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen. Hak konsumen di antaranya hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya.
           Dalam diskusi #forumwiken ini, pakar perlindungan konsumen Universitas Mataram (Unram) Kurniawan menjelaskan, PDAM sebagai pelaku usaha (perusahaan, Red) juga memiliki kewajiban untuk patuh terhadap UU Perlindungan Konsumen. Sehingga menyoal kenaikan tarif ini pada dasarnya tidak terkait dengan komposisi kepemilikan saham Pemda Lombok Barat dan Pemkot Mataram.
Terlepas dari persoalan validitas data hasil uji yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Mataram, persoalan keamanan dan kualitas produk ini juga menjadi hal yang harus mendapat perhatian PDAM sebagai pelaku usaha. Jika produk PDAM ini cacat secara kualitas seperti adanya kandungan bakteri E-Coli dalam air yang dijual, PDAM wajib bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang tertuang dalam pasal 19 UU 8/1999 ini.
          Dalam UU ini juga diatur bahwa konsumen tidak bisa patuh terhadap peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli. Sehingga penetapan tarif tanpa melalui prosedur dan persetujuan yang jelas dari pelanggan juga merupakan indikasi bentuk pelanggaran UU Perlindungan Konsumen.
          Sementara itu, mengenai adanya sengketa konsumen dan produsen ini, ada tiga cara yang diperbolehkan dalam UU. Yakni bisa menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Jalur non-pengadilan yang disediakan pemerintah yakni adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Atau melalui jalur pengadilan umum dengan melayangkan gugatan. Gugatan melalui peradilan umum ini bisa dilakukan dengan gugatan class action yang dilakukan kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. ‘’Ini bisa dilakukan pelanggan PDAM terkait kualitas produk PDAM dan adanya kenaikan tarif ini,’’ beber Kurniawan.
          Ada juga sejumlah wacana untuk perombakan porsi kepemilikan saham. Pembagian proporsi saham bagi Pemda KLU, serta adanya wacana provinsi masuk sebagai pemilik saham untuk menjadi penengah. Apalagi PDAM ini sudah lintas wilayah, sehingga masuknya provinsi sebagai penyeimbang dianggap rasional. Ada juga wacana sebagian porsi saham PDAM ini dimiliki publik. Sehingga dalam pengelolaan barang publik ini tidak ada pemda yang memegang kekuasan mayoritas, tapi dikontrol penuh publik.
          Terlepas dari itu, bagi Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim, kisruh pengelolaan air dalam PDAM ini merupakan salah satu kisruh yang dikhawatirkan sejak otonomi ini diberlakukan. Kerap muncul fenomena perebutan aset dua wilayah yang bertetangga. Kisruh ini wajar terjadi mengingat saat pembagian kepemilikan saham PDAM ini antara Lobar dan Mataram, belum ada mindset otonomi dalam pemerintah. Terlepas dari itu, lanjutnya, bagaimana pengelolaan air antarwilayah ini sebaiknya dua pemda ini belajar ke daerah lain. Banyak daerah yang memiliki persoalan sama, tapi bisa lebih proaktif menyusun konsep pengelolaan dan menuntaskan persoalan yang ada. ‘’Dua pemda ini harus duduk bersama menyelesaikan persoalan pengelolaan air ini. Jika tidak dilakukan, maka persoalan ini akan terus terjadi,’’ beber mantan jurnalis ini.(*)

No comments:

Post a Comment