KAWASAN Mandalika Resort di pantai selatan Lombok Tengah (Loteng) memiliki sejarah panjang yang berliku. Kini, kawasan seluas 1.250 hektare lebih ini kembali menjadi pembicaraan paska rencana PT Bali Development Corporation (BTDC) mengembangkan kawasan ini. Pengembangan kawasan Mandalika Resort oleh PT Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) dimulai sekitar 1976. Pola pengembangan kawasan ini menjadi tren. Kawasan yang sama juga dikembangkan di NTB, khususnya Pulau Lombok seperti kawasan Sire dan kawasan Selong Belanak dan lainnya. PT LTDC merupakan konsorsium swasta yang dikomandani PT Rajawali Wirabakti yang kini bernama PT Rajawali Corp. Dalam konsorsium ini, Pemprov NTB memiliki saham sekitar 35 persen (mirip golden share). Penyertaan modal yang pernah tercatat dalam APBD NTB sekitar Rp 15 miliar.
Di belakang hari, masuk PT Tridan dengan kepemilikan saham 20 persen. masuknya PT Tridan ini ditengarai tanpa sepengetahuan pemda. Namun, para investor hanya menjadi broker. Membeli tanah pada masyarakat dengan harga murah, lalu menjual dengan harga 10 kali lipat. Mirip-mirip dengan kawasan Sire maupun Trawangan. Modusnya hampir sama.
Paska krisis moneter, PT LTDC bangkrut. Hutang maha besar pada bank tidak mampu dibayar akibat melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah. Sehingga aset PT LTDC diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian berubah menjadi PT Pengelola Aset (PPA). Demikian sejarah singkat kawasan LTDC yang dituturkan Direktur Samanta Dwi Suharsono dalam diskusi #forumwiken.
Pengembangan kawasan Nusa Dua oleh PT BTDC mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Status BTDC selaku BUMN mendapatkan pinjaman lunak dari Bank Dunia. Kinerja BTDC sejak didirikan juga tidak menggembirakan. Sejak dibentuk 1973, kawasan Nusa Dua baru mulai dikembangkan setelah 10 tahun kemudian melalui undangan khusus pemerintah. Investor pertama yang masuk ke kawasan ini di antaranya Aerowisata (BUMN), Putri Bali (Lokal), dan Club-Med (undangan khusus). Jika saja krisis moneter tidak melanda, maka kawasan eks LTDC ini sudah mengalahkan Nusa Dua. Sejak dimulai 1989, LTDC yang merupakan konsorsium murni swasta berhasil menggaet investor tujuh tahun setelah proyek dimulai. Accord Group tercatat sebagai investor pertama yang mendirikan Hotel Novotel. Sejumlah investor dari grup raksasa juga sudah siap melakukan investasi seperti Sheraton, Hilton, Banyan Tree, Oberoi, Aston, Marriott, Best Western, dan Sofitel.
Sejak 2008, pemerintah pusat telah menyerahkan kawasan Mandalika Resort kepada PT BTDC melalui penyertaan modal negara seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 50/2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali. Lahan eks LTDC yang juga merupakan aset eks BPPN dialihkan menjadi tambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC. Nilai penambahan penyertaan modal negara ini akan ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan menggunakan nilai pasar yang wajar. Penyerahan kawasan dalam bentuk penyertaan modal ini diberikan setelah Pemprov NTB menyerahkan hak pengelolaan lahan (HPL) yang pernah dipegang dengan harapan PT Emaar berinvestasi.
PP ini kemudian diubah menjadi PP 33/2009. Dalam sejumlah pasal PP ini mengatur secara jelas mengenai pengalihan penyertaan modal negara berasal dari pengalihan seluruh saham milik negara pada PT LTDC yang merupakan aset eks BPPN kepada PT BTDC. Nilai saham berdasarkan nilai pasar yang wajar adalah Rp 557,660 miliar lebih. Nilai penambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC (Persero) ditetapkan sebesar nilai buku sebelum dilakukan penilaian untuk nilai pasar yang wajar, yakni Rp 260 miliar. Selisih nilai pasar yang wajar dan nilai buku yakni sebesar Rp 297,66 miliar dihibahkan pemerintah Indonesia kepada PT BTDC sebagai insentif bagi pengembangan di kawasan Mandalika Resort. Insentif ini digunakan sesuai dengan tujuan hibah, yakni hanya bagi pengembangan kawasan Lombok Tengah oleh PT BTDC.
DPRD NTB pernah membentuk Pansus LTDC ini kemudian berhasil mengambil alih hak pengelolaan lahan (HPL) kawasan ini. HPL ini kemudian diserahkan ke pemerintah pusat saat PT Emaar berkomitmen berinvestasi di kawasan ini dengan total investasi hingga triliunan rupiah. Penyerahan HPL kepada pemerintah pusat ini merupakan syarat yang diajukan Emaar. Sehingga pemerintah pusat kemudian menunjuk BUMN PT BTDC sebagai pemenang HPL dan memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang disertai dengan penerbitan Perturan Pemerintah (PP) mengenai penyertaan modal dan penetapan PT BTDC sebagai pengelola kawasan. Krisis keuangan global yang juga berdampak pada sektor finansial Dubai memaksa Emaar melakukan restrukturisasi investasi termasuk di kawasan Mandalika Resort. Nasi sudah menjadi bubur. HPL yang sudah diserahkan ke PT BTDC harus dibayar mahal, sebab PT Emaar juga batal berinvestasi.
Sejak Presiden SBY melaunching Master Plan Perluasan dan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI), angin segar berhembus. Pemerintah memberikan lampu hijau untuk menetapkan kawasan Mandalika Resort ini sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK). Presiden SBY juga sudah memberikan komitmennya untuk membantu pengembangan kawasan ini. Bahkan, presiden akan melakukan grounbreaking untuk menandai pembangunan proyek Mandalika Resort ini. Meskipun kalangan dewan menuding groundbreaking ini hanya akal-akalan PT BTDC. Sebab groundbreaking ini hanya mendompleng proyek perluasan kawasan yang dilakukan Hotel Novotel Lombok.
Sementara itu, kalangan DPRD NTB membuat keputusan berbeda dengan apa yang dilakukan eksekutif. Para politisi Udayana mendesak Pemprov NTB untuk mengambil alih HPL dari PT BTDC. Ada beragam alasan yang disampaikan dewan terkait opsi ini. Penyerahan HPL kepada BTDC ini penyerahan bersyarat, yakni syarat PT Emaar berinvestasi. Sehingga ketika PT Emaar batal berinvestasi, maka HPL juga harus dikembalikan PT BTDC. Bahkan, keputusan politik dewan ini sudah ditetapkan melalui sidang paripurna dewan belum lama ini. Untuk mengawal keputusan ini, dewan sudah membentuk panitia khusus (Pansus) Mandalika Resort yang ditetapkan dalam sidang paripurna dewan, Jumat malam 7 Oktober 2011. Pansus ini dipimpin Politisi Golkar H Misbach Mulyadi, Wakil Ketua H Husni Jibril dari Fraksi PDI Perjuangan, dan Sekretaris Johan Rosihan dari PKS.
Muncul Lima Opsi Pengembangan Mandalika Resort
PT Emaar hengkang dan PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC) berencana menggandeng investor lain dengan membentuk konsorsium baru. Tidak ada hiruk pikuk publik merespons persoalan ini. Namun, sejumlah pemerhati pariwisata NTB dan politisi Udayana (DPRD NTB) mulai menyuarakan desakan agar Pemprov NTB mengambil alih Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari tangan BTDC. Pemprov NTB pun belum melontarkan opsi apapun, tapi ikut larut dalam pusaran arus rencana BTDC. Pemprov NTB mulai membuat opsi setelah DPRD NTB menetapkan keputusan politik melalui sidang paripurna DPRD NTB meminta pemprov mengambil alih HPL kawasan Mandalika Resort dari BTDC atau dikenal sebagai opsi pertama. Opsi yang ditawarkan pemprov atau dikenal sebagai opsi kedua ini, kali pertama dilontarkan Kepala Badan Penanaman Modal (BPM) NTB Dr Lalu Bayu Windya dalam rapat dengan DPRD NTB di gedung dewan setempat. Usulan Bayu ini baru sebatas pendapat pribadi.
Opsi yang diungkapkan adalah membentuk Joint Venture Company (JV-Co) dengan PT BTDC. Yakni PT BTDC membentuk anak perusahaan yang akan bergandengan dengan Pemprov NTB melalui perusda baru atau menunjuk salah satu BUMD yang ada. Kemudian membentuk perusahaan baru yang terdiri dari BTDC dan Pemprov NTB yang diwakili perusda. Opsi kedua ini kemudian dikenal sebagai opsi eksekutif. Sebab opsi ini dilontarkan langsung Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi kepada publik.
Peneliti Pusat Penelitian Hukum dan Sumberdaya (P2HSD) Universitas Mataram Lalu Syaipuddien menegaskan, opsi yang disampaikan pemprov dengan membentuk JV-Co ini merupakan opsi yang visible. Sebab, penguasaan BTDC atas Mandalika Resort ini ditetapkan melalui peraturan pemerintah (PP), yakni PP 50/2008 yang kemudian diubah menjadi PP 33/2009 tentang Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali alias BTDC. Posisi Pemprov NTB lemah, sebab secara hukum PT BTDC yang memiliki wewenang terhadap kawasan ini. ‘’Jika ingin mengambil alih, maka PP harus diubah dulu. Sementara, pemerintah pusat masih ingin tetap BTDC menjadi kuasa pengelola kawasan Mandalika Resort ini. Jika penolakan BTDC ini hanya karena sentimen adanya nama ‘Bali’, maka alasan penolakan ini terlalu prematur,’’ tandasnya.
Di sisi lain, opsi JV-Co ini diragukan peneliti P2HSD Unram Dr Wira Pria Suhartana. Sebab, jika menginginkan pembentukan JV-Co, pemprov juga harus memiliki modal dalam JV-Co yang terbentuk. ‘’Jika ingin ada komposisi saham, tentu harus ada modal yang harus diberikan pemprov,’’ ujarnya.
Selain dua opsi resmi ini, ada juga tiga opsi lain yang masih belum ditetapkan menjadi keputusan institusi tertentu. Seperti opsi ketiga yang dilontarkan Ketua Komisi III DPRD NTB H Misbach Mulyadi. Dikatakan, jika pengelolaan kawasan Mandalika Resort ini tetap dengan pola JV-Co, maka Misbach menawarkan mitra BUMN lain, bukan BTDC. Mitra yang dianggap paling tepat untuk mengembangkan kawasan ini adalah bermitra dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) (Persero) dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan. Ada juga opsi keempat yang bisa dilakukan asalkan ada keberpihakan pemerintah pusat. Yakni, mendirikan BUMN baru bidang parwisata di NTB seperti halnya PT BTDC. BUMN baru ini bisa diberi nama Lombok-Sumbawa Tourism Development Corporation (LSTDC) atau nama lain. Pada esensinya, BUMN ini fokus untuk mengembangkan pariwisata di NTB, seperti halnya PT BTDC yang mengelola kawasan Nusa Dua Bali. Opsi ini dimunculkan birokrat senior Chairul Mahsul yang kini menjabat Inspektur Provinsi NTB.
Opsi kelima yang muncul masih berpola sama dengan JV-Co. Gandengan juga tidak berubah, tetap berkolaborasi dengan PT BTDC selaku pemilik HPL dan HGU kawasan. Namun, dibuat skema tertentu seperti halnya skema kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Dalam rentang tahun tertentu, saham JV-Co tetap dipegang PT BTDC, tapi kemudian secara bertahap diberikan kepada Pemprov NTB melalui mekanisme hibah yang ditetapkan dalam sebuah PP, seperti halnya pemerintah pusat terhadap PT BTDC. ‘’Opsi seperti ini ini bisa diajukan,’’ tandas Kepala BPM Dr Lalu Bayu Windya mengenai opsi kelima ini.
Akademisi IAIN Mataram Dr Kadri memandang, BTDC selaku BUMN membawa kepentingan negara, bukan kepentingan kelompok tertentu. Yang perlu didorong adalah bagaimana Pemprov NTB mampu ’’menggunakan‘’ power Presiden SBY untuk mendesak BTDC mempercepat realisasi investasi di kawasan Mandalika Resort. Sehingga momentum ini harus bisa dimanfaatkan Pemprov NTB.
Masih dalam #forumwiken, Ketua FSNTBI NTB Syarif Husein menegaskan, opsi yang harus dipilih Pemprov NTB harus mendapat manfaat bagi masyarakat. Opsi-opsi yang muncul ini merupakan opsi yang harus dipilah pemprov, mana yang terbaik. Berkaca dari kasus Bandara Internasional Lombok (BIL), yang awalnya diharapkan akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerja. Namun, pada kenyataannya berbeda ketika BIL benar-benar beroperasi. ‘’Jangan sampai hal seperti itu terjadi di kawasan Mandalika Resort ini,’’ tandasnya.
Pansus Dewan Pasang Jurus Hadang Groundbreaking
Tensi politik di DPRD NTB semakin meninggi terkait rencana groundbreaking Mandalika Resort yang akan dilakukan PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Pansus yang dibentuk DPRD NTB tetap bertekad untuk mempercepat proses pengembangan kawasan ini tanpa melibatkan PT BTDC. Bahkan groundbreaking kawasan yang akan dilakukan presiden diupayakan agar dibatalkan. Jikapun groundbreaking tetap dilakukan, maka bukan groundbreaking Mandalika Resort yang dilakukan, tapi hanya groundbreaking Novotel. Sebab BTDC hanya diaggap memanfaatkan groundbreaking oleh Presiden SBY ini sebagai stempel untuk menguasai penuh kawasan ini tanpa bisa lagi diganggu gugat.
Pansus ini berupaya akan bertemu langsung dengan Presiden SBY saat berkunjung ke Lombok 19-21 Oktober mendatang untuk membicarakan persoalan pengembangan kawasan ini. Perlu ada sikap tegas dari presiden mengenai opsi apa yang akan dijalankan, sehingga paling bermanfaat bagi masyarakat NTB dan kepentingan nasional.
Adanya kesan Bali menjual Lombok ini juga sempat diangkat Presiden SBY saat rakor kabinet terbatas dengan Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi di istana negara Jakarta belum lama ini. Diharapkan, persoalan ini bisa diselesaikan tanpa mengganggu proses pengembangan kawasan ini.
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum, kawasan Mandalika Resort dengan keindahan alam yang dimiliki, bukanlah surga bagi investasi. Sebab, ada beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian semua pihak, mulai dari pemda, aparat keamanan, penggiat pariwisata, hingga masyarakat. Kendala-kendala terkait pengembangan kawasan Mandalika Resort ini, seperti frekwensi konflik horizontal antarmasyarakat setempat dan kecenderungan tindak anarkis dalam berpendapat merupakan hal tabu bagi kehadiran investor dan kemajuan sektor pariwisata. Ditambah lagi adanya keterbatasan prasarana dan sarana, khususnya sarana akomodasi pariwisata di wilayah Loteng yang hanya terdiri dari 108 kamar hotel berbintang. Selebihnya kelas losmen dari total 400 kamar.
Dari skala makro, kawasan Mandalika Resort ini menjadi salah satu tujuan investasi yang mengangkat NTB masuk dalam deretan tujuh daerah yang termasuk regional champion dari sisi investasi bersama Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan sejumlah provinsi lainnya. Apalagi dengan keberadaan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sudah mulai beroperasi. BIL dan Mandalika Resort ini merupakan paket kawasan yang saling mendukung sehingga jika kendala-kendala yang disebutkan di atas ditiadakan, maka kawasan ini 100 persen menjadi surga investasi. Terlebih lagi dengan status kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang memberikan beragam kemudahan dan insentif.
Tentu saja, opsi-opsi terkait pengembangan kawasan Mandalika Resort ini masih bisa bermunculan. Masyarakat berharap, Pemprov NTB memilih dan memilah opsi yang akan dipilih merupakan opsi yang terbaik dengan manfaat yang paling besar terhadap masyarakat NTB. Pengembangan kawasan Mandalika Resort akan kehilangan makna jika tidak memberikan mafaat besar bagi masyarakat NTB, khususnya Lombok Tengah yang selama ini tertinggal. ‘’Jika kawasan ini hanya dikembangkan tapi dikelola orang lain dan kita jadi penonton, lebih baik tanah itu dibagikan ke masyarakat,’’ kata Wakil Ketua DPRD NTB HL Moh Syamsir dalam sebuah rapat di gedung dewan.(*)
No comments:
Post a Comment