ILUSTRASI wisatawan yang sedang berlibur di Gili Trawangan. kawasan ini kian ramai dan menjadi rebutan para investor. |
Adanya kepentingan modal yang memboncengi penertiba Gili ini bukan hal yang mengada-ada, tapi didasari indikasi dan fakta yang ada di lapangan. Sikap ngotot TNI/Polri yang tetap ingin berada di Gili Trawangan dengan jumlah besar dan peralatan lengkap menjadi kecurigaan yang mendasar.
Jika hanya ingin memerangi narkotika, miras dan preman, tentu saja aparat kemanan tidak memerlukan pasukan bersenjata lengkap dengan tameng seperti layaknya pasukan huru-hara.
Sebelum operasi dimulai, Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wacyunadi menegakaskan, tim penertiban akan mengedepankan pendekatan premtif dan prefentif. Untuk memudahkan evaluasi, 90 hari tenggat waktu yang diberikan dilakukan secara bertahap per 10 hari.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram, Lalu Saepuddien menegaskan, logika penanganan prefentif yang dilakukan kepolisian rancu, jika aparat justru datang dengan membawa senjata seperti hendak perang. Seharusnya, aparat sadar dan mengetahui kondisi masyarakat yang traumatik terhadap aparat keamanan, yakni dengan aksi penggusuran yang sudah dilakukan tiga kali sejak masyarakat mendiami Gili Trawangan.
‘’Tahun 1993 tentara lengkap dengan senjata bentrok dengan warga, jelas trauma masyarakat masih ada dan harus dipahami. Kita setuju usaha pro yustisia tapi tentu harus dilakukan dengan bijak. Jika aparat masuk dengan membabi buta, kita tentu bertanya, ada apa dibalik itu?,’’ papar mantan aktifis FKMM ini saat diskusi #forumwiken di Lombok Timur Center, awal Agustus 2011.
Selain itu, ada juga fakta yang mengejutkan yang dibeberkan peserta diskusi, gabungan pengusaha diindikasikan tengah bersiap melakukan investasi di Gili Trawangan jika penertiban sukses. Di salah satu titik di pesisir Lombok Utara telah ditempatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pagar beton Willcon. Pagar-pagar beton ini akan digunakan untuk mengelilingi areal milik PT WAH dan PT GTI dengan luas 100 hektar lebih, jika aparat telah berhasil menggusur warga. Pagar beton ini sengaja ditempatkan jauh dari akses menuju Gili Indah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan yang paling mengejutkan, investor yang akan menguasai Gili ini memiliki hubungan bahkan menjadi bagian dari salah satu partai politik besar di NTB.
Soal traumatik masyarakat ini juga diakui Dosen Fakultas Hukum Unram Widodo Dwi Putro yang telah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat Gili. Adanya traumatik ini bisa dideteksi dengan adanya nama-nama warga yang disematkan orang tua mereka untuk mengingat peristiwa penggusuran dekade 1990an, seperti Sensowati, Gusuruddin dan lainnya. Setidaknya sudah ada tiga kali aksi penggusuran warga di Gili Trawangan dan melibatkan aparat kemananan dan pemerintah daerah, dan saat ini diindikaskan akan terjadi penggusuran jilid keempat.
Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi, lanjut Widodo, dikenal memiliki program 3A (Absano,Adono,dan Akino). Dan sering diplesetkan dengan Apeno? Yang dalam keseharian masyarakat sasak adalah tanda tanya apa. ‘’Tapi sekarang apakah Gubernur berani mengatakan dan menambah program menjadi 4A, Apeno dijadikan Angka penggusuran nol,’’ tandasnya.
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB, dan di Gili Trawangan TGB juga menang, begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan, mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini.
Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberika analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi, jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin.
Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya?. ‘’Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah, ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekrang Gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya.
Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. bahkan widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995. ‘’ Tentara dan polisi dalam jumlah besar masuk ke Gili, bahkan ada polisi lalu lintas yang juga ikut menggusur, ceritanya polisi lalu lintas ini tidak sempat berganti baju saat diperintahkan ikut masuk ke Gili. Kebetulan saya di Gili waktu itu, saya lari mendengar gemuruh yang begitu besar dan lari ke tengah pulau. Saya pikir ada tsunami, keesokan harinya, saya melihat tumpukan seng dan kayu dalam jumlah besar di pinggir pantai,’’ tuturnya mengenang.
Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’I melihat bahwa apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat dan pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut, kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di tanjah-anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegas Rifai dalam diskusi #forumwiken yang berlangsung hingga larut malam ini.
Hal senada juga diungkapkan Ridho, Ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi massal dan gratis) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional hadir dengan sokonga World Bank, begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.
Dalam konsep pembangunan apapun, modal memainkan peran vital. Dan yang menjadi persoalan saat pemerintah terlibat dan dikeruhkan oknum. Ketika pemerntah tidak objektif dalam menangani persoalan, maka akan menimbulkan bencana bagi masyarakat. Investor datang ke NTB khususnya ke Lombok bukan karena pemerintah, tapi investor melihat pulau Lombok yag seksi dan alam yang indah. ‘’Persoalan ada, ketika sudah mulai gunakan instrumen institusi. Persoalan datang ketika negara/pemerintah ambil bagian,’’ jelas Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim. (*)
No comments:
Post a Comment