Tuesday, 27 September 2016

MEMBEDAH ARUS BARANG JASA DI NTB

EKONOMI daerah kita masih memiliki banyak soal, banyak komoditas melimpah namun tidak disertai pasar dan harga yang layak. Ada juga komoditas yang pasarnya bagus, potensi kita punya, namun tidak tersedia secara cukup. Ada juga yang produksi melimpah namun harga tidak terkendali.
Belum lama ini kita dihebohkan dengan harga beras yang melambung tinggi. Kondisi ini kontras dengan identitas daerah yang tercatat sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Jika melihat data, produksi gabah di NTB mencapai lebih dari dua juta ton, jika dikonversi menjadi beras mencapai 1,2 juta ton lebih. Dan meskipun masyarakat NTB dikenal sebagai penkonsumsi beras yang cukup tinggi, hingga 24 Kg per Kapita. Kebutuhan beras per tahun diperkirakan hanya 600 ribu ton lebih. Hanya setengah dari produksi, sehingga dikhawatirkan beras NTB lebih banyak yang dibawa keluar daerah.

Suasana diskusi Arus Barang Jasa di NTB, dalam #forumwiken 18 September 2015.

Soal adanya fenomena harga beras ini juga diakui Kepala Disperindag NTB Husni Fahri saat memberikan paparan soal sejumlah komoditas perdagangan yang keluar masuk di NTB saat diskusi, Jumat malam (18/9/2015).
“Banyak potensi belum dikembangkan. Bagaimana soal arus barang jasa ini harus jadi soal bersama. Apa yang harus kita lakukan, diperlukan masukan semua pihak,” tandas mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura ini.
Fahri juga mengakui, masih banyak jenis kebutuhan pokok yang harus didatangkan dari luar, seperti kedelai, bawang putih, bahkan cabe juga banyak didatangkan dari pulau Jawa. Ketersediaan komoditas yang terbatas hanya pada saat panen, membuat aktifitas keluar masuk barang menjadi hal lazim. Beberapa kebutuhan lainnya memang nyaris tidak ada yang diproduksi di NTB seperti gula, minyak goreng sawit dan komoditas pabrikan lainnya.
Komoditas andalan yakni Jagung sudah mulai dilakukan ekspor, salah satunya ke Filipina dari Pelabuhan Badas Sumbawa. Sebenarnya, kata Fahri, banyak komoditas lain yang diekspor, namun namun tidak tercatat sebagai komoditas daerah, sebab dikirim melalui daerah lain.
Dalam diskusi ini, Kepala Badan Pusat Statitik NTB Wahyudin juga memberikan paparan soal data barang jasa yang diproduksi, maupun yang didatangkan dari luar. Untuk beras, NTB diprediksi masih akan tetap surplus. Produksi akan naik sekitar 6,89 persen. 
Hanya saja, jumlah serapan beras Bulog Bulog baru tercatat 37 persen lebih dari 100 ribu ton target. Hal ini dipicu harga beras yang relatif tinggi, yakni menembus angka 9.700/Kg. Padahal, harga patokan pemerintah hanya 8.650/Kg. Sehingga Bulog sulit serap gabah petani.
Produksi Jagung NTB jug akan meningkat dari tahun 2014 yang mencapai 785 ribu ton. Sebab di beberapa daerah jumlah areal meningkat, seperti di Dompu ada 40 ribu hektar, Sumbawa mencapai 42 hektar, dan lainnya. Sedangkan untuk kebutuhan kedelai diakui masih kurang, produksi hanya 97 ribu ton lebih tahun 2014. Sehingga didatangkan dari luar.
Satu lagi komoditas NTB yang cukup besar, yakni Bawang Merah, jumlah produksinya tahun 2014 mencapai 117 ton lebih. Dan diperkirakan meningkat di tahun ini. Hanya saja, harga bawang sangat rendah sehingga para petani merugi. Ada juga komoditas tomat yang sedang melimpah, dan sayangnya harganya anjlok, bahkan di Lombok Timur, petani malas panen, sebab biaya panen lebih tinggi dibandingkan harga jual tomat. Padahal, produksi tomat cukup besar, mencapai 37 ribu ton di tahun 2014.
Dari sisi inflasi, kata Wahyudin, saat ini ada sedikit gejolak, salah satunya dipengatuhi hargga cabe yang saat ini Rp 40 ribu lebih per Kg. Apalagi, tingkat konsumsi cabe di pulau Lombok sangat tinggi, sehingga harga cabai mempengaruhi inflasi.
Produksi cabe di NTB tahun 2014 mencapai 64 ribu ton atau naik lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, untuk tahun ini tetap saja stok yang ada tidak cukup, sehingga banyak cabe didatangkan dari Jawa.
“Soal bagaimana soal cabe ini tidak lagi menjadi soal sebenarnya bisa dicarikan solusi. Bagaimana petani bisa untuk, tidak hanya pedagang, dan harganya relatif terjangkau bagi masyarakat. Ini sebenarnya bisa dihitung,” beber Wahyudin.
Sementara itu, Analis Ekonomi BI Mataram Hanif Galih Pratama memberikan paparan,  
Jika memasukkan sektor tambang, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2015 meroket hingga 16,51 persen. Jika sektor tambang dikeluarkan, pertumbuhan ekonomi NTB juga masih relatif baik, diatas rata-rata nasional yakni 5,73 persen.
Sektor pertanian merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi yang signifikan, adanya keterlambatan panen berimbas pada signifikasi panen di triwulan II. Dari 17 sektor yang dianalisa BI, pertanian masih menempati nomor wahid.
Hanya saja, pertanian sebagai backbone ekonomi tidak disertai dengan dukungan modal, termasuk kredit yang menggembirakan. 
Jika dilihat dari struktur kredit, besaran kredit yang disalurkan ke sektor pertanian oleh perbankan hanya 1,24 persen, dari total kredit yang disalurkan. Jauh lebih tinggi kredit di sektor perdagangan yang mencapai 28 persen. Namun, kredit konsumtif masih merajai struktur kredit, yakni hingga 56 persen.
Hanya saja, jika dilihat dari Non Performing Loan (NPL) alias kredit macet, sektor pertanian merupakan jenis kredit dengan NPL tertinggi terutama sektor perikanan. Selama ini, petani belum bersentuhan dengan perbankan, sehingga jadi tantangan. Bank juga berhati-hati memberikan kredit ke sektor pertanian, sebab rentan dengan cuaca, hama dan lainnya. 
Kata Hanif, sektor pertanian masih bisa terus dioptimalkan, apalagi jika didukung sokongan finansial yang memadai, akan memberikan multiplier efek yang sangat besar. Dan ekonomi sektor pertanian lebih stabil dan berkelanjutan. Sehingga jangan sampai ekonomi bergantung ke sektor tambang. Ekonomi muda BI ini kemudian mencontohkan Amerika Serikat yang jumlah petaninya hanya 3 persen, namun dengan teknologi, bisa berpoduksi optimal dengan biaya minimal dan mampu memenuhi kebutuhan seluruh negerinya, bahkan ekspor ke seluruh negara.
“Potensi pertanian kita luar biasa, jika ditopang optimal. Perbankan akan melihat sektor pertanian secure untuk disalurkan kredit,” bebernya.
Soal adanya pergeseran sektor pertanian oleh sektor jasa, tidak mesti hal yang buruk. Meskipun naker pertanian kian mengecil karena banyak yang alih profesi. Jika ditunjang dengan teknologi dan SDM.
Dari sisi inflasi, Hanif memaparkan, triwulan III ini akan lebih rendah dibanding triwulan III yahun sebelumnya. Apalagi jika melihat tren inflasi yang relatif rendah pada waktu-waktu yang biasanya inflasi tinggi. Seperti bulan Maulid infalasinya hanya 0,4 persen, biasanya 1 persen. Bahkan di bulan puasa lalu, terjadi deflasi, padahal bulan puasanya biasa inflasi tinggi. 

------------------------------------------------------------------
SDM Petani Masih Buruk, Diperlukan Integrasi Program
------------------------------------------------------------------

Ide penting di diskusikan lebih detail adalah, bagaimana memperhatikan mikro ekonomi daerah. Bagaimana memastikan tenaga kerja yang ada bisa diserap, dengan penghasilan yang baik. 
Hal ini diungkapkan Direktur Nusra Intitute Lalu Pahrurrozi yang juga salah satu Tim Pengkaji Bale ITE. Dikatakan, pendekatan pembangunan ekonomi yang dibangun, ketersediaan bahan baku harus ada, kedekatan bahan baku dengan pasar juga ada. Termasuk kedekatan dengan pasar. Hal yang penting dibaca adalah bagaimana membaca arus barang/jasa agar membaca dengan pendekatan pasar. Salah satunya bagaimana spesifikasi produk, disesuaikan diri dengan pasar.
Jika produksi bagus, namun tidak didukung pasar tidak bagus, maka dampaknya juga negatif. Seperti tomat dan bawang, ketersediaannya melimpah namun tidak bisa kuasai pasar. 
Ada juga jenis komoditas lain yang ketersediaannya negatif, namun pasarnya tersedia. Harus ada pendekatan ekonomi mendorong bagaimana memenuhi kebutuhan pasar, sehingga resiko soal kekhawatiran lembaga keuangan bisa ditekan. Karena pasar membutuhkan suplai komoditas tersebut. Selama ini, peran lembaga keuangan untuk menyokong berbagai jenis komoditas yang memiliki pasar yang baik, belum memadai.
Dikatakan, perlu ada skema untuk mensinergiskan kebutuhan pasar dengan lembaga keuangan. Sebab, selama ini tidak terintegrasi. Salah satunya soal tenaga kerja, Pemda seringkali hanya menyediakan pelatihan yang tidak dibutuhkan pasar, berkutat pada keahlian menjahit, montir dan lainnya. Jika saja Balai Latihan Kerja pemerintah membuat pelatihan ternak telur organik, pembuatan pakan, dan hal lain yang dibutuhkan pasar. Bahkan bila perlu, ada sertifikasi dan akreditasi bagi naker yang lulus dari BLK. Bahkan seharusnya bisa di diupayakan agar “ijazah” BLK bisa jadi agunan untuk akses modal usaha. “Masak selembar kertas putih, CPNS bisa dengan kredit bank. Kenapa alumni BLK tidak bisa,” tandasnya. 
Sementara itu, Peneliti Inskrip Badrun AM yang juga Tim Pengkaji Bael ITE Bappeda NTB mengatakan, jika melihat data konsumsi dan produksi sejumlah komoditas, ada yang negatif. Dan perlu didalami, apakah lembaga pendidikan membaca penyiapan kebutuhan tenaga kerja.
Soal kebutuhan pakan unggas, seharusnya Pemda bisa menginisiasi pabrik mini pakan ternak. Dan soal komoditas SDA yang melimpah, seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana industri olahan diperkuat. “NTB bisa jadi daerah industri baru,” terangnya.
Lain lagi dengan Ahmad Syarif Husein, salah satu pengusaha muda mengakui soal kondisi ekonomi yang kian sulit. Meskipun demikian saat ini masih bisa bertahan, meskipun banyak hal yang perlu dibenahi. 
Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah soal kualitas SDM pertanian. Saat ini rata-rata kualitas SDM tidak tamat Sekolah Dasar. Dan pada SDM inilah digantungkan denyut ekonomi NTB. "Jika kondisi ini tidak dirubah, maka jangan harap produk unggul. Selama ini, kultur petani selalu diidentikkan dengan pekerja kasar,” bebernya.
Soal bagaimana meningkatkan SDM Pertanian ini juga diamini Rahmayati, aktifis perempuan asal Lombok Tengah. Dan hal yang pokok penting untuk diselesaikan juga adalah soal infrastruktur. Seperti di Lombok Tengah, ketika listrik terus byar pet, hampir seluruh peternak ayam rugi karena listrik mati. “Agak susah juga ketika kita sediakan pakan, tapi ayam mati semua,” paparnya.
Soal akses perbankan ini juga perlu jadi perhatian untuk menggenjot produksi komoditas. Selama ini, petani tidak bisa akses bank, sehingga banyak petani jagung lebih banyak petani yang kredit di tengkulak, mulai dari bibit, pupuk, dan lainnya.
“Petani lebih gampang kredit motor daripada modal usaha. Tidak heran lebih enak ngojek, beralih ke jasa,” terangnya.
Soal akses modal yang rumit bagi petani dan nelayan diperbankan ini, juga diungkapkan Nia, mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis yang ikut hadir dalam diskusi ini. Mahasisi asal Lombok Utara ini menuturkan pengalaman orang tuanya yang sangat sulit mengakses perbankan. Padahal, sebagai nelayan sangat membutuhkan modal cepat, sehingga terpaksa harus meminjam ke rentenir. 
Di sisi lain, Direktur Samanta Dwi Sudarsono mengungkapkan, soal stabilitas ekonomi ini harus membahas stabilitas harga dan stok, bagaimana mekanisme pasar dan rantai pasar yang panjang. Hal ini membuat petani tidak mendapatkan harga layak/premium. Seperti komoditas cokelat dan kopi di pulau Lombok yang dikuasai tengkulak. Harga jual yang tidak layak inilah yang mengurangi semangat para petani. “Ini PR pemerintah, bagaimana proteksi ke petani,” bebernya.
Perlu ada pasar khusus, seperti halnya komoditas ternak yang memiliki pasar khusus yang difasilitasi pemerintah. Apalagi, petani tidak memiliki asosiasi kuat untuk memperjuangkan kepentingannya. Kata Dwi, sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak mesti mayoritas urus daratan, tetapi harusnya berkiblat ke laut. Soal bibit lobster yang bermasalah, harus dijadikan solusi.
Keberadaan BPPT pertanian dan keluatan, termasuk BLK, seharusnya bisa memberikan dukungan aspek teknis. Adanya program kredit usaha rakyat (KUR), juga seharusnya bisa jadi solusi, namun pada kenyataannya KUR tidak optimal disalurkan, bahkan banyak yang macet.
Akademisi IAIN Mataram Dr Kadri juga memberikan pandangannya, bagaimana penguatan peran-peran pemerintah dalam menjawab soal, agar negara tidak terkesan absen dalam hal-hal yang ada di petani. Keberadaan raksasa tambang PT Newmont Nusa Tenggara juga yang bisa jadi pasar untuk produk petani harus dimanfaatkan, sebab selama ini barang di newmont dipasok dari luar.
Bagaimana mendorong agar pariwisata berikan multiplier efek terhadap petani, juga seharusnya dioptimalkan. Termasuk untuk industri olahan, Bandung patut dijadikan contoh soal hidupnya industri kreatif. 
Kata Kadri, salah satu hal yang perlu dikembangkan untuk BLK adalah training by request. Perhotelan atau dunia usaha bisa request ke BLK untuk menggelar pelatihan naker, terhadap naker yang dibutuhkan. 
Sementara itu, Manajer Perdagangan Umum PT Gerbang NTB Emas Lalu Prima Wira Putra mengungkapkan soal perlunya penguatan terhadap perusahaan daerah. Dan salah satu hal yang sedang dikaji bersama Disperindag adalah melakukan revitalisasi pasar lelang. Selama ini, jika hanya lelang forward, cenderung hanya sekedar seremoni.
Dan NTB selama ini cenderung terlalu bebas, berbeda dengan daerah tetangga seperti Bali yang bisa mengontrol seluruh hal yang keluar masuk ke daerahnya. Sapi NTB tidak boleh lewat, ayam tidak boleh, sedangkan di NTB dari daerah mana saja bisa masuk.
“Tidak ada perlindungan komoditas. Makanya kita inisasi bagaimana pasar lelang itu satu pintu, agar bisa dihitung, diambil retribusi agar terukur,” pungkasnya. 
Sementara itu, Kepala Bappeda NTB Chairul Mahsul mengungkapkan, selama ini integrasi program sudah banyak dilakukan, bagaimana teknologi dan kemampuan kelompok ternak disatukan. Jika melihat angka statistik, kata Chairul, sektor pertanian dan peternakan menunjukkan progres. Diharapkan dengan adanya gagasan dan langkah-langkah kongkrit bisa terus ditingkatkan.
Salah satu program nyata yang coba diselipkan dan sudah terlihat hasilnya adalah pengurangan daging putih dan telur masuk ke NTB, yakni dengan mengangkat program unggas. Dan program ini terus dievaluasi dengan melihat kondisi lapangan.
“Tentu ada yang trial dan error, sehingga monev diperkuat di semua sektor,” tandasnya.
Menurutnya, pemerintah juga tidak bisa dibiarkan jalan sendiri, butuh banyak masukan dan ide untuk mengangkat ekonomi daerah. Apa yang menjadi rekomendasi dan review terhadap APBD Perubahan, akan menjadi bekal kebijakan penggaran tahun berikutnya.
Hal ini juga berlaku di kabupaten/kota.
Salah satu yang menjadi kelemahan dasar saat ini, sehingga belum bisa bergerak optimal di kabupaten/kota adalah, Pilkada 2015. Sebelum tanggal 9 Desember belum bergerak optimal, meskipun desain anggaran 2016 secara naskah birokrasi sudah ada, namun ada kewajiban untuk menginsert janji kampanye kepala derah terpilih. “Diperlukan kesamaan pandang bagaimana meningkatkan IPM dan mengurangi kemiskinan, sehingga semua sektor bergerak. Ini juga diungkap waktu pertemuan seluruh kepala Bappeda se NTB,” tandasnya. 

---------------------------------------------
NTB, Butuh Sinergitas, Daerah Sejuta Harapan
---------------------------------------------

DEPUTI Kepala Perwakilan Bank Indonesia Mataram Wayu Yuwana Hidayat mengungkapkan, ada banyak pekerjaan rumah di Indonesia, khususnya di NTB dalam hal ekonomi. Hal yang paling pokok salah satunya soal keunggulan komparatif yang perlu ditingkatkan. Hal ini akan berdampak pada kesiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Adanya migrasi sektor pertanian ke sektor lain, termasuk jasa di NTB, tidak perlu dirisaukan jika dikelola dengan baik. Namun perlu banyak hal yang ditingkatkan dalam peningkatan sektor pertanian dan peternakan, salah satunya bagaimana memanfaatkan Teknologi Tepat Guna yang murah dan efektif. Seperti menanam kedelai yang biasanya disebar begitu saja, hanya dengan mengatur jarak tanam, irigasi, dan maksimal dua butir setiap lubang, mampu meningkatkan produktifitas hingga dua kali lipat.
“Bagaimana migrasi naker ini bisa diimbangi dengan intensifikasi dan mekanisasi pertanian,” paparnya.
Soal ketersediaan listrik di NTB memang problem, hanya saja, di NTB ada anomali, beban puncak disaat malam, beberda dengan daerah maju yang defisit justru di siang hari. Listrik di NTB justru di siang hari hanya dipakai 40 persen. Soal listrik ini juga menjadi soal tersendiri ketika memberikan bantuan alat produksi yang berbasis teknologi listrik.
Semua pihak sudah sepakat tidak menggantungkan ekonomi di sektor tambang. Pariwisata jadi andalan, dan kemajuan pariwisata di NTB luar biasa, dengan tingkat hunian hotel yang tinggi, apalagi dengan maskapai penerbangan yang kian banyak direct flight ke BIL. “Ini bisa berikan nilai tambah. Agriculture juga harus prioritas, tetapi bagaimana ada nilai tambah,” bebernya.
Diakuai Wahyu, BI memiliki kewenangan terbatas pada soal moneter dan fiskal saja. Namun tetap juga BI berikan kontribusi. Wahyu juga mengungkapkan soal postur keuangan yang masih timpang. Fenomenanya, uang yang ditabung masyarakat lebih sedikit dibandingkan yang digelontorkan bank melalui kredit. Sehingga banyak bank yang pinjam uang di kantor pusatnya. Rata-rata bank berikan kredit UMKM 33 persen, lebih tinggi dari angka 20 persen dari total kredit yang diwajibkan. Meskipun persentase ini harus terus ditingkatkan.
Menjawab kritik Akademisi IAIN Dr Kadri soal kerap absennya pemerintah. Wahyu menegaskan hal ini bukanlah hal tiba-tiba tetapi juga dampak dari penerapan kebijakan IMF pada 1997/1998 yang melakukan liberalisasi besar-besaran. Bagaimana peran pemerintah dieliminir. Bahkan lebih liberal daripada negara liberal. Bulog yang awalnya berperan banyak, dipangkas hanya urus beras. Dan saat ini baru dikembalikan lagi untuk mengurus komoditas kedelai bawang dan lainnya.
Berbicara soal kelautan, kata Wahyu, NTB harus rubah pola juga, bagaimana meningkatkan sektor kelautan. Seperti lobster yang dilarang jual bibit, tetapi jual yang sudah besar agar ada nilai tambah.
Ada banyak hal jadi kendala soal distribusi logistik, mulai dari rantai perdagangan yang panjang, hingga soal kapasitas pelabuhan yang terbatas. Apalagi pelabuhan di Lembar hanya beroperasi hingga pukul 5 sore saja.
Wahyu yang belum genap setahun bertugas di NTB, melihat potensi NTB yang luar biasa. Meskipun masih banyak PR yang harus dikerjakan, NTB disebut sebagai daerah sejuta harapan. Salah satu modal yang perlu dibenahi SDM, namun NTB memiliki modal semangat yang luar biasa.
Kepala BPS NTB Wahyudin mengakui adanya problem SDM, salah satunya naker pertanian yang hanya menyerap naker berpendidikan SD ke bawah. Soal penting yang juga harus penting diperhatikan adalah sekolah kejuruan yang memberikan porsi terbesar menyumbang pengangguran. “Mungkin pola pembinaan yang keliru. Bisa jadi soal akses modal,” tandasnya.
Soal data komoditas, diakui BPS tidak memiliki semua data. Seperti ekspor/impor, BPS masih mengandalkan data bea cukai saja. Data arus barang jasa, berapa yang masuk dan keluar secara menyeluruh masih sulit diperoleh dari pelabuhan yang ada. Seharusnya data ini juga dispuport instansi lain, sebab tanggung jawab statistik hanya statistik dasar saja. 
Dan diakui banyak komoditas NTB yang seharusnya layak terus digenjot seperti telur asin, kangkung, dan tahu Abian Tubuh yang sangat terkenal enak diluar.
“Kenapa tidak dikembangkan. Kangkung saja ada yang minta tiga ton sehari, tetapi tidak mampu,” bebernya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB Husni Fahri mengakui, sektor pertanian kian tidak banyak peminat. Anak petani banyak beralih ke sektor jasa. Padahal potensi pertanian besar. Jika diseriusi maka tidak perlu jadi PNS. Sudah banyak contoh sukses dari Sarjana Pertanian yang sukses bertani. “Jika kebijakan pertanian memihak, maka akan makin banyak yang sukses,” beberanya.
Husni juga mengakui soal banyaknya lembaga pendidikan atau kursus yang tidak terkait kebutuhan pasar. Padahal kita ingin pariwisata dan pertanian berkembang. Semua harusnya diarahkan untuk menopang ke arah sektor andalan. (*)

No comments:

Post a Comment