Aksi perusakan hutan terus menerus saja terjadi. Di Sumatera dan Kalimantan, bahkan menjadi bencana internasional dengan kabut asap yang merugikan banyak negara. Bagaimana regulasi soal perusakan hutan?. Berikut ulasannya.
Akhir pekan lalu, diskusi # forumwiken Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan Samanta NTB, salah satu lembaga swadaya yang concern terhadap isu lingkungan, membedah soal regulasi dan kebijakan kehutanan, secara nasional secara umum, dan NTB secara khusus.
Ilustrasi kerusakan hutan yang kian parah di NTB akibat ilegal loging dan alihfungsi lahan. foyo by |
Direktur Samanta Dwi Sudarsono, memeparkan soal regulasi khusus soal perusakan hutan, yakni UU 18/ 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Pada dasarnya, negara sudah memandang perusakan hutan sebagai kejahatan luar biasa, UU 18/2013 memberikan ruang yang besar upaya pemberantasan ilegal loging.
Ada banyak riset yang menyebutkan bahwa, kayu-kayu dari sejumlah negara tetangga justru berasal dari Indonesia. Jumlah ekspor kayu sejumlah negara, justru lebih besar dibandingkan jumlah kemampuan produksi mereka. Sehingga kuat dugaan, kayu-kayu ilegal Indonesia “diputihkan” agar bisa dijual ke pasar Internasional. Hal ini mendasari lahirnya klausul dalam UU 18/2013 ini soal kejahatan lintas negara.
Hampir seluruh jenis perbuatan perusakan hutan, menyangkut ilegal loging, penggunaan hutan tidak sah seperti perkebunan, hutan tanaman industri, dan lainnya, termasuk perbuatan pidana. Tidak hanya perbuatannya yang dipidana, namun pemanfaatan hasil ilegal hutan seperti kayu, termasuk pertambangan juga bisa dijerat pasal pidana. Aparat negara yang dianggap lalai, membiarkan terjadinya perusakan hutan juga bisa dijerat pidana.
Regulasi ini juga mengatur soal lex spesialis penanganan kejahatan kehutanan. Mulai dari penyelidikan, penindakan, hingga peradilan diatr tersendiri, dan bisa dilakukan Penyidik Negeri Sipil (PPNS).
Tempo peradilan juga diatur, Pengadilan Negeri hanya butuh maksimal 45 hari untuk bersidang, banding di Pengadilan Tinggi hanya 30 hari, dan kasasi di Mahkamah Agung hanya 50 hari kerja.
Tidak hanya itu, keistimewaan dalam regulasi ini, pelapor perusakan hutan tidak bisa didelik pidana. Jika laporannya kelak tidak terbukti di peradilan. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara tegas mengenai peran Pemda. Sehingga pemda masih ambigu menerapkan UU ini.
Meskipun demikian, UU ini juga melahirkan efek buruk bagi penindakan hukum oleh kepolisian. Bahkan dalam kasus tertentu, soal perusakan hutan ini dianggap sengketa perdata oleh Polda NTB.
Hal senada juga diungkapkan Eksekutif Daerah Walhi NTB Murdani, soal penegakan hukum yang masih lembek. Adanya regulasi khusus kehutanan ini, yang secara tidak langsung “ mengambil alih” kewenangan polisi mengurus kehutanan, membuat aparat penegak hukum ogah-ogahan. “Jikapun polisi menangkap pelaku ilegal loging, mereka juga mau serahkan ke Dinas Kehutanan,” bebernya.
Di Dompu, ada oknum kepala desa tertangkap tangan lakukan ilegal loging, malam harinya dilepas oknum polisi. Bahkan, jika melihat data kasus laporan perusakan hutan, Walhi mencatat, dari 192 kasus, hanya sebagian kecil yang bisa diselesaikan, itupun hukumannya rata-rata masih sangat ringan.
Murdani juga mengungkapkan soal laju perusakan hutan yang luar biasa, luasan hutan yang masih tersisi di NTB saat ini hanya sekitar 22 persen, dari 1,7 juta hektar luasna hutan. Ada banyak modus perusakan hutan, seperti di pulau Sumbawa, ada izin penebangan yang dikeluarkan dinas setempat di lokasi tertentu. Namun, yang ditebang justru di tempat yang lain. “Izin penebangannya di Bima, tetapi hutan yang ditebang di Labangka,” terangnya.
Murdani juga menuturkan soal fenomena di hutan lindung Sekaroh Lombok Timur. Sebagian besar kawasan hutan sudah dirambah untuk kawasan pertanian. Dari 2800an hektar kawasan hutan di Sekaroh, hanya di kawasan blok Jipro yang masih berupa hutan.
“Ribuan kepala keluarga sudah mendiami kawasan hutan di Sekaroh. Juga muncul 91 sertifikat hak milik (SHM) yang menguasai 181 hektar,” bebernya. “Kalau sporadik sudah sangat banyak. Ini seolah dibiarkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaipuddin Gayep menjelaskan, lahirnya UU 18/2013 ini menunjukkan semangat yang besar pemerintah untuk memberantas kerusakan hutan. Apalagi ada lex spesialis dalam pengaturan pemudanaan maupun hukum acaranya. Bahkan, dimungkinkan adanya hakim ad- hoc untuk kasus perusakan hutan. “Cuma saya tidak tahu, apakah hakim ad-hoc ini ada atau tidak,” bebernya.
Bagi Gayep, roh pengaturan tindak pudana kehutanan ini bagus. Hanya saja, belum ada tindakan yang kongkrit. Dengan lahirnya UU ini, polisi juga akhirnya lemah, karena kewenangannya di ambil alih PPNS.
Regulasi ini tidak hanya mengatur soal perbuatan perusakan, bahkan orang yang membawa masuk alat-alat yang sekiranya digunakan untuk menebang kayu, ke dalam kawasan hutan juga bisa dipidana. Ada juga aturan minimum khusus untuk sanksi. Orang yang merusak hutan yang berasal dari sekitar kawasan hutan dengan orang yang tempat tinggalnya jauh dari kawasan hutan, sanksinya juga dibedakan. “UU ini sangat represif, ada kelembagaan besar yang dibuat,” tandasnya.
Senada dengan Dwi Sudarsono, Gayep juga menyayangkan tidak adanya ketentuan lebih detail mengenai kewajiban Pemda. Peran pemda hanya disebutkan secara umum saja.
------------------------------ ------------------------------
TGH Hasanain Harus “Dikloning, Pencuri Kayu Lebih Aman Daripada Curi Ayam
------------------------------ -----------------
DIREKTUR World Wild Fund Nusa Tenggara Ridha Hakim mengungkapkan sejumlah fakta menarik soal hutan di NTB. Luas hutan di NTB yang mencapai 1,71 Juta hektar atau sekitar 70 persen dari total luas daratan. Namun, jika melihat perbandingan jumlah polisi hutan dengan luasan hutan, maka perbandingannya satu polisi hutan menjaga 5.000 - 7000 hektar. Lebih parah lagi soal alokasi anggaran pengamanan hutan, jika melihat alokasi APBD NTB terhadap pengamanan hutan, maka hanya tersedia Rp 200 per hektar lahan. “ Bagaimana kita mau bicara pengamanan hutan,” tandasnya.
Soal penegakan hukum kejahatan kehutanan, selama ini nyaris tidak menyentuh pelaku utama, yang ditangkap hanya pesuruh saja. Sebagian besar yang ditangkap terpaksa dilepas, karena pihak Kehutanan tidak memiliki biaya untuk membiayai para pembalak liar.
Terkait itu, implementasi penegakan hukum melalui UU 18/ 2013 belum efektif. Perlu ada pemikiran lain bagaimana menjaga hutan tetap lestari. Daerah seharusnya memiliki strategi penangangan ilgal loging yang jadi acuan bersama. Salah satunya bagaimana ada pengakuan warga ikut serta dalam pengawasan hutan. Ada celah warga ikut serta namun melalui proses yang rumit, harus training, dan lainnya. “Di Rinjani ada 90an jalan tikus membawa kayu hasil ilegal loging. Di Tambora lebih dari 100 jalan tikus,” tandasnya.
Pria yang akrab disapa Edo juga menjelaskan hasil riest WWF 2008-2010 yang menemukan adanya kebijakan yang tidak efektif dalam pengelolaan hutan. Misalnya saja, soal kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm), luasan yang terealisasi mencapai 24 ribu hektar. Aktifitas HKm ini nyaris tanpa pendampingan dan dukungan, sehingga turut membuat kondisi hutan kian kritis. Tutupan hutan saat ini hanya sekitar 20 persen saja.
Dan jika mencoba menghitung kebutuhan anggaran untuk melakukan rehabilitasi hutan, dibutuhkan sekitar Rp 7,48 Triliun atau sekitar tiga kali APBD NTB.
Ketua Pemuda Nahdlatul Wathan NTB (Pancor,Red) Ahmad Sarif Husein berikan usulan menarik, bagaimana memasifkan kampanye penyelematan hutan dan lingkungan kian massive dilakukan. Sebab, selama ini faktanya, aturan sudah lengkap, yang jadi soal implementasi. Perlu dilakukan aksi yang kongkrit secara massive dan terencana. Aksi tanam pohon yang dilakukan TGH HAsanain Juaini tidak bisa sendiri dilakukan. Perlu banyak pihak yang juga lakukan hal yang sama. Bagaimana LSM, aktifis lingkingan yang tambah banyak bisa bagi peran. “Saat ini kondisi parah, kekeringan kian terasa,” bebernya.
Sementara itu, Redaktur Lombok Post Fathul Rakhman yang juga hadir dalam diskusi mengungkapkan, ada pembiaran terhadap warga yang merambah hutan. Salah satunya di Sekaroh Lombok Timur. Padahal, kasus perambahan hutan ini seperti fenomena Pedagang Kaki Lima. Satu jualan, akhirnya ramai-ramai dan dianggap milik sendiri. “Dulu di Sekaroh hanya beberapa rumah, tetapi sekarang sudah ada pemukiman. Karena dibiarkan saja, akhirnya jadi hal biasa,” terangnya.
Dari pantauan yang dilakukan, kata Fathul, sebagian besar perambah hutan, bukanlah warga setempat, tetapi warga pendatang dari berbagai daerah, seperti Lotim dan Loteng
Ada pandangan umum yang keliru pemerintah dan warga. Sebab, selama ini maling kayu lebih enak dibandingkan maling ayam atau maling sendal di Masjid. Maling Ayam atau Sendal pasti babak belur dihajar warga, tetapi kalau maling kayu di hutan, dibiarkan saja.
“Dulu di KLU pernah ada polhut yang tangkap orang yang bawa senso ke kawasan hutan. Malam harinya, pohut tersebut dikepung rumahnya,” terangnya.
Sejumlah fakta, usul saran dalam diskusi ini ditanggapi positif Kepala Bappeda NTB Chairul Mahsul yang turut hadir dalam diskusi ini. Mulai dari usul warga Sembelia agar Dishut menananam pohon yang tidak ekonomi, seperti Pohon Beringin, dan lainnya. Termasuk usul Fathul, bagaimana mendorong kesadaran warga, agar pelaku maling kayu dipandang seperti halnya maling ayam dan sendal.
Upaya yang juga akan dioptimalkan pemerintah adalah bagaimana meningkatkan ekonomi warga sekitar kawasan hutan. Salah satunya dengan mendorong warga ke sektor peternakan dan ekonomi lainnya. Sejumlah pihak ikut terlibat mulai dari Taman Nasional Gunung Rinjani, maupun WWF yang ikut serta mendorong roadmap optimalisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hal ini sbagai upaya mendorong penyelamatan tutupan hutan yang masih ada.
Kata Chairul, anggaran penurunan kemiskinan yang diprioritaskan dalam Rancangan APBD 2016, salah satunya juga soal intervensi warga miskin di sekitar hutan.
Keberadaan Kesatuan Hutan ( KPH) yang kini sudah menjadi SKPD tersendiri, bukan lagi Unit Pelaksana Teknis Dishut, juga hal positif, sehingga KPH fokus mengelola hutan. Dan Dishut fokus dalam hal regulasi, penyusunan roadmap, dan lainnya.
Chairul juga mendukung upaya “ mengkloning” TGH Hasanain, sehingga jika kian banyak pihak yang mendakwahkan soal lingkungan, akan berikan dampak yang kian besar. (MN Ikroman/Bersambung)
------------------------------ -------------------------
Presiden Jokowi Lupa Bicara Hutan, Fiqih Taharah Wajibkan Perlindungan Hutan.
------------------------------ -------------------------
Pentingnya menjaga hutan sebagai sumber air, menjadi penekanan penting Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi. “ Jangan sampai orang tidak bisa wudhu”, begitu pesannya kepada jajaran SKPD. Berbagai upayapun dilakukan, meskipun masih banyak hal yang perlu dibenahi.
KEPALA Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Barat Ir Madani Mukarom memberikan pandangan optimistik soal pengelolaan hutan di NTB, khususnya di kawasan Rinjani Barat.
Satu per satu Madani menguliti persoalan kehutanan. Mulai dari soal kehutanan ini diakui bermasalah secara nasional. Seperti pelepasan hutan untuk Transmigrasi. Selama ini pemerintah tidak mau memanfaatkan kawasan hutan yang tidak punya pohon. Yang diinginkan hutan primer. Sebab, dari situ ada permainan, sebab hampir seluruh biaya pembangunan kawasan bisa diambilkan dari hasil kayunya. Sehingga dana proyek bisa dicincai.
Keberpihakan anggaran Kehutanan juga masih rendah. Salah satunya dipicu perhitungan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang kecil. Sebab, sebagian besar PDRB yang disumbangkan Sektor Kehutanan justru dihitung Perdagangan dan Perindustrian seperti industri kertas tidak masuk PDRB Sektor Kehutanan. Kopi, Kakau yang juga hasil hutan tetap dihitung sektor Perkebunan. Seharunya, PDRB Sektor Kehutanan mencapau Rp 2000 Triliun, tetapi yang terhitung hanya Rp 6 T. Sehingga anggaran kecil. “ Satu polhut jaga 100 ribu hektar, tetapi hutan dituntut lestari. Polhut harus ilmu seperti Kian Santang dan Brama Kumbara untuk jaga hutan. Sebelum ada diklat Sakti seperti itu, ya tidak bisa,” tandas pria yang juga Ketua Asosiasi KPH Se Indonesia ini.
Murdani juga mengkritik Presiden Jokowi yang tercatat sebagai Rimbawan (sebutan untuk orang kehutanan,Red). Namun justru Jokowi lupa berbicara soal hutan. Seharusnya sebagai Presiden yang notabene Rimbawan harus kelihatan.
“Seluruh Kepala KPH teken surat pernyataan sikap dan kirimkan ke Presiden Jokowi waktu pertemuan nasional,” tandasnya.
Mengenai tutupan hutan primer di Rinjani Barat. Disebutkan, 23 ribu hektar hutan kritis. Berbeda dengan data BPDAS yang menyebutkan hanya 5.743, sebab studi yang dipakai adalah citra landsat, sehingga pisang, dan lainnya dihitung hijau sebagai tutupan hutan.
Padahal, posisi hutan Rinjani Barat sangat vital, sebab sebagai sumber air 4 kabupaten/kota. Sumber irigasi Sodet, Dam Batujai, Pengga, termasuk untuk keperluan PDAM Giri Menang dan Lombok Utara. Termasuk suplai air bersih di desa- desa.
Saat ini, KPH Rinjani Barat menjadi KPH Model dengan status KPH terbaik di Indonesia. Pola kemitraan dengan masyarakat dan seluruh stakholder hal yang saat ini sedang digiatkan. Salah satunya menanam Kayu Kalindra untuk bahan bakar omprongan tembakau, sebagai pengganti sawit. Dengan teknologi sederhana pembuatan briket kayu.
Sementara, di Rempe bersama aktifis lingkungan, dirancang HPH Rakyat, bagaimana pengelolaan kehutanan mengedepankan masyarakat. Bahkan, jikapun ada investor harus libatkan masyarakat sekitar hutan. Kedepan akan ada kredit pengelolaan hutan dari BLUD Kehutanan. Sehingga ada roadmap, bagaimana secara bertahap seluruh perumahan di kawasan hutan bisa keluar secara mandiri oleh masyarakat.
“Legalitas kemitraan masyarakat kita dorong. Karena izinnya gak perlu ke Menteri lagi,” tandasnya.
Di KLU juga demikian, ada lahan tidur termasuk kawasan jambu mete yang kondisinya hidup segan mati tak mau, akan dirubah dengan tanaman kayu putih dan karet. KPH mendorong hutan menjadi sumber energi terbarukan, dan ini sekalgus menjawab problem kemiskinan di sekitar kawasan hutan.
Ada juga warga setempat menuntut agar ada tanaman karet di kawasan hutan, sebab mereka di Malaysia umumnya bekerja di Perkebunan Karet. Hanya saja, karena kawasan hutan tidak boleh monokultur makan dibuat pola yang sesuai. “Saya malah diajari petani untuk karet ini,” tuturnya.
Selain itu, program REDD+ juga terus didorong, salah satu syarat dari program ini adalah perubahan mental masyarakat. Agar kedepan ada kompensasi emisi karbon. Jika di Rinjani Barat ada 40 ribu hektar hutan primer. Maka jika dibayar rp 1Juta, maka akan ada sumber dana Rp 40 Miliar per tahun.
Salah satu kawasan hutan yang rumit di Sesaot. Salah satunya adanya praktek hanti rugi kawasan hutan. Saat ini hanya 40 persen orang sesaot yang masih mengelola hutan, sebagian besar lahan sudah diganti rugi ke orang lain, dari Mataram. Bahkan, ganti rugi pengelolaan lahan hutan bisa seharga Rp 100 Juta per hektar.
“Hal penting yang perlu dilakukan. Bagaimana mengembalikan kawasan hutan ke masyarakat miskin di kawasan Sesaot,” bebernya.
Potensi di kawasan hutan akan dimanfaatkan untuk kepentingan eknomi, termasuk untuk pariwisata. Sebab, kedepan KHP dituntut untuk mandiri tanpa ada biaya dari pemerintah. Bagaimana merancang jenis tanaman juga harus bisa dimanfaatkan secara ekonomi, sehingga tidak hanya sekedar tanam saja.
“KPH harus mampu mengelola hutan secara ekologis, ekonomi dan sosial. Jadi tidak lagi yang penting hijau, ” bebernya.
Sementara itu, Aktifis WWF NTB Arya menuturkan, pertumbuhan penduduk dengan tingkat kebutuhan lahan yang tinggi membuat mastarakat memburu lahan hutan. Diperlukan intervensi yang kuat dari pemerintah untuk menjaga hutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, ratusan ribu jiwa warga yang hidup di sekitar kawasan hutan termasuk warga miskin, sehingga mendorong warga merambah hutan.
“Perlu perubahan mindset, dorong skema pemberdayaan masyarakat. Mitigasi perlu segera dipikurkan bgmn solusinya,” tandasnya.
Pentingnya bagaimana menjaga hutan ini juga disampaikan Direktur Nusra Institute Lalu Pahrurrozi. Khususnya soal fungsi hutan sebagai penyedia air bersih. Peneliti Bale ITE Bappeda NTB ini mengambil standing soal pentingnya air dalam kaca mata fiqih Islam, yakni Fiqih Taharah (bersuci, Red). Sejak awal, fiqih Taharah berbicara tentang air, yakni air suci yang mensucikan. Sehingga dalam posisi ini air wajib dilindungi. “Kita kan gak bisa wudhu dengan air kelapa,” tandasnya.
Namun selama ini, kata Ojhie, peran kaum agamawan kurang diperkuat dalam hal perlindungan lingkungan ini. Boleh saja, TGH Hasanain Juani kuat dalam praktek perlindungan lingkungan, namun perlu terus diperkuat basis palsafahnya. Dalam artian, bagaimana Taharah menjadi ilmu lingkungan, maupun dalam praktek pelestarian lingkungan.
Selain itu, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Unram ini juga mengungkapkan soal biaya operasional Kehutanan yang sudah dicabut dari APBD, dan diserahkan ke APBD. Namun, nomenklatur pendapatan sektor kehutanan ada dalam postur APBN, seperti PBB Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan masih domain pusat. Di NTB, nilai dari PBB ini mencapai Rp 28- 29 Triliun per tahun. "Jika provinsi diberikan kewenangan sampai operasional. Sudah selaaknya kita tuntut PBB kehutanan jadi pendapatan provinsi,” tandasnya.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaipuddin Gayep mengusulkan, perlu upaya mengintervensi kelembagaan integrasi warga dengan hutan, salah satunya dengan memanfaatkan celah dalam UU 23/2014 tentang Pemda yang mendorong lembaga adat. Daripada lembaga adat desa hanya mengurus Sapu’ (ikat kepala,Red) saja, lebih baik difokuskan untuk menjaga hutan juga. “Lembaga adat ini bisa lapor PPNS, sebagai mitra lembaga kehutanan pemerintah,” tandas Gayep yang juga peneliti Bale ITE Bappeda NTB ini. (*)
No comments:
Post a Comment