Friday, 30 September 2016

POTRET BURAM PELAYANAN KESEHATAN (2012)

Suhaimi SH
KELUHAN mengenai buruknya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diwajibkan kepada pemerintah. Menjadi salah satu persoalan publik yang nyaris tidak ada akhirnya.
Salah satu tugas negara adalah memenuhi hak-hak dasar warga negara. Hal ini sudah jelas diatur dalam konstitusi, maupun peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Implementasi dari peran negara kepada warga negara ini, salah satunya dalam bentuk penyediaan pelayanan publik. Soal ketersediaan, keterjangkauan, kebersesuaian, dan keberterimaan atas pelayanan yang diberikan negara/pemerintah, menjadi pokok-pokok yang harus dipenuhi. Sehingga, pelayanan yang diberikan sesuai standar minimal yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang kerap menjadi sorotan adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Cerita mengenai warga miskin yang tidak mendapatkan pelayanan yang optimal, maupun warga miskin yang tidak memperoleh jaminan kesehatan dari negara, menjadi ironi yang kerap terjadi.


Sekjen Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Lombok Barat Suhaimi yang konsen mengawal optimalisasi pelayanan publik berpandangan bahwa, rezim pelayanan kesehatan yang dijalankan di Indonesia, pemberian layanan dibedakan dari kontribusi yang diberikan.
Seharusnya, kata Suhaimi, pelayanan kesehatan ini seperti manajeman Masjid, yakni kontribusi dibedakan, tetapi layanan untuk semua. Sehingga, tidak ada lagi pasien yang justru mendapatkan penyakit lain, ketika dirawat diruang kelas III. Pemerintah selalu saja memberikan pelayanan yang cenderung diskriminatif, jika untuk warga miskin, maka kelas pelayanan adalah ruang perawatan berbasis massa alias ruang kelas III. ‘’Kalau dengan sistem pelayanan kesehatan hari ini. Pesannya, orang miskin tidak pantas diperlakukan baik. Saya harus bilang, negara dengan sengaja mendesainnya,’’ terangnya. ‘’Kalau ada orang miskin ke rumah sakit, kalau ruangan kelas III sudah habis, ya dirawat di teras. Jika melihat potret ruang perawatan kelas III, agak susah pasien akan sehat,’’ tambahnya.
Suhaimi juga kemudian menuturkan mengenai rilis dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI, pernah merilis jumlah orang kaya, yang tidak dibebankan membayar pajak. Sebab, dalam sistem di Indonesia, wajib pajak adalah perusahaan, atau pajak bagi profesi tertentu. ‘’Aburizal Bakrie sebagai pemilik perusahaan Bakrie Grup tidak dipajakin, perusahaannya yang bayar pajak. Bakrie juga tidak menerima gaji yang akan dipotong pajaknya oleh pemerintah,’’ tuturnya. ‘’Ini memang ada desain yang seperti itu,’’ tambahnya.
Kat Suhaimi, sifat dasar dari otak pemberi layanan publik, adalah otak feodal, sehingga kita akan selalu menemukan layanan yang tidak optimal.

Soal layanan yang tidak optimal dari tenaga kesehatan ini juga dibenarkan Direktur Samanta Dwi Sudarsono. Sehingga, diusulkan agar pembentukan watak pemberi layanan kesehatan dibentuk sejak bangku sekolah. Agar watak pemberi layanan ini tidak lagi feodal. ‘’Ini dari aspek pendidikan untuk tenaga pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya. ‘’Tapi bisa juga, ada yang pengembangan watak di sekolahnya bagus. Tetapi justru rusak ketika ada di lingkungan sarana kesehatan,’’ tandasnya.
Selain itu, tidak dibangun sistem komplain dalam pelayanan kesehatan. Sehingga, selama ini banyak pasien atau keluarga pasien yang tidak tahu harus komplain kemana mengenai buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan. Sehingga diperlukan regulasi khusus untuk mengatur standar pelayanan tersebut.
Dwi juga menyinggung soal komitmen pemerintah dalam memberikan sokongan dana, kepada lembaga pelayanan kesehatan di daerah. Selama ini, kerap kita menemukan fakta, adanya komplain dari RSUD yang klaimnya tidak dibayar pemerintah.

Tidak Miliki SPM, Kejar Setoran PADTerbitnya Undang-Undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik, seharusnya menjadi momentum perbaikan berbagai jenis pelayanan publik yang wajib diberikan negara kepada warga negara. namun, potretnya, hingga saat ini, sektor pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan masih saja tetap buram.
LEMBAGA pelayanan kesehatan, merupakan lembaga publik masuk dalam kategori tempat vital, yang wajib dilindungi negara. Bahkan, jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, bahwa tidak diperkanankan untuk berunjukrasa di depan depan lembaga kesehatan, seperti Puskesmas dan RSUD. Sehingga, memprotes kebijakan atapun buruknya pelayanan kesehatan, tidak bisa dilakukan dengan cara berunjuk rasa.

Hal ini diungkapkan Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif Husain mengenai posisi lembaga kesehatan sebagai sarana vital yang dilindungi negara. Penyampaian aspirasi secara terbuka, juga tidak diperkenankan. Sehingga, diperlukan cara dan metode khusus dalam penyampaian komplain terhadap pelayanan lembaga kesehatan.
Keberadaan kotak saran, lanjutnya, tidak efektif, sebab tidak semua orang bisa menyampaikan pendapat melalui tulisan. Dan tidak ada kepastian, apakah komplain yang disampaikan dibaca pihak pengelola, sehingga kotak saran, seringkali hanya sekedar sarana pelengkap agar bisa disebutkan di pelaporan.
Terkait itu, diperlukan upaya dan komitmen yang tinggi dari pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan seperti RSU dan Puskesmas/Poskesdes/Polindes, maupun lembaga pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan upaya-upaya pembenahan. ‘’Jika polri saja, telah memiliki quick wins sebagai SOP layanan, kenapa lembaga kesehatan tidak memiliki itu,’’ tandasnya.
Tidak hanya itu, ironisnya, pelayanan buruk yang diberikan lembaga pelayanan kesehatan pemerintah, justru juga dijadikan sebagai lembaga pengeruk duit dengan alasan pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan, di sejumlah kabupaten/kota, target PAD di lembaga kesehatan, dipampang jelas di jendela/loket pelayanan.

Selama ini, kata Sekjen JMS Lobar Suhaimi, belum ada satupun lembaga kesehatan milik pemerintah yang telah memiliki standar pelayanan minimal (SPM). Padahal, dalam Undang-Undang 25/2009 tentang pelayanan publik, jelas diatur mengenai kewajiban lemabaga publik memiliki SPM.
Namun, selam aini, hal yang menjadi alasan, sehingga SPM ini tidak pernah dibuat, terkait dengan dua peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut UU pelayanan publik ini, yang masih tersandera di pusat. ‘’Pemda ramai-ramai beralasan, tidak berani menyusun SPM, sebelum ada PP. jawabannya, selalu menunggu PP,’’ tandas pria yang juga Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) NTB ini.

Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengembangan Sumberdaya (P2PHSD) Universitas Mataram Lalu Saipuddien menegaskan, Pemda tidak seharusnya menunggu terbitnya PP, baru membuat SPM. Sebab, klausul soal SPM ini, sudah tertuang di dalam UU Pelayanan Publik. Kedepan, jika PP tersebut sudah, terbit, bisa disesuaikan. ‘’Pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Tidak boleh berasalan tunggu PP. ini menyangkut nyawa orang banyak,’’ tandasnya.
Terkait itu, lanjut pria yang akrab disapa Gayep ini, harus ada gerakan publik, untuk mendorong penetapan SPM di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sejak diundangkan UU Pelayanan Publik, sudah berlaku kewajiban adanya SPM. ‘’Warga juga bisa mendorong agar penyelenggara pelayanan kesehatan membuat maklumat pelayanan publik. Yakni janji penyelenggara untuk menerapkan SPM dalam pelayanan kesehatan,’’ tandasnya.

Ombudsman Diminta Pro Aktif, Usulkan Insentif SenyumDiperlukan komitmen, keberanian dan keberpihakan yang kuat terhadap masyarakat, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan di NTB. Jika tidak, maka pelayanan yang baik hanya akan menjadi utopia semata.

PENELITI Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengmbangan Sumber Daya (P2HPSD) Universitas Mataram Lalu Saepuddin menegaskan, semua pihak harus bisa berperan aktif dalam mendorong upaya perbaikan pelayanan publik, khususnya sektor kesehatan yang kerap dikeluhkan masyarakat.
Salah satu lembaga yang juga diminta ikut berperan aktif dalam mendorong pembenahan pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan ini adalah Ombudsman perwakilan NTB. Sebab, Ombudsman tidak hanya bertugas melakukan pengawasan, tetapi harus ikut serta mendorong penylenggaraan pelayanan publik dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan. ‘’Ombudsman tidak hanya menerima koplain soal maladministrasi. Tetapi bisa ikut dalam proses pembentukan SPM, sampai pembentukan posko pengaduan,’’ tandasnya.
Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemda untuk membenahi pelayanan publik, adalah dengan membentuk posko pengaduan, yang disertai dengan sistem informasi yang jelas. Posko ini merupakan unit khusus yang melayani soal pengaduan, termasuk mengenai informasi pelayanan, harga obat-obatan dan lainnya. Dan ketika ada persoalan, posko inilah sebagai tempat masyarakat mengadu. ‘’Saat ini, dalam prakteknya, ruang pengaduan publik nyaris tidak ada, tidak ada kanal yang disiapkan khusus penyelenggaran pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya.
Upaya kongkrit perbaikan pelayanan publik dibidang kesehatan ini juga sudah dilakukan, JSM Lobar. Salah satunya dengam membentuk posko-posko pengaduan di level warga. Termasuk membuat maklumat pelayanan publik antara penyelenggara dengan penerima pelayanan.
Dalam SPM ini, harus diatur secara detail mengenai pelayanan yang harus diselenggarakan. Termasuk soal senyum bagi petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis. Dan di level internal lembaga pelayanan publik, juga bisa dibuat sejenis award khusus, bagi karyawan teladan, misalnya karyawan paling ramah, paling rajin, responsif dan lainnya. Hal ini bisa dievaluasi per bulan. ‘’Bila perlu, ada insentif khusus bagi petugas kesehatan yang selalu melayani dengan senyum. Dan sebaliknya, ada punishment bagi yang tidak tersenyum,’’ tegasnya.
Pihak Kepolisian, khususnya Polda NTB, sudah membuat tagline pelayanan, yakni awali dengan senyum. Seharusnya, hal ini juga bisa dipraktekkan di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Fenomena hari ini, banyak perawat yang justru mengganti infus, sembari menelpon.
Hal-hal detail, seperti adanya larangan rapat disaat jam pelayanan juga harus diberlakukan, termasuk juga larangan menghadiri kegiatan seremonial, seperti perayaan perkawainan dan lainnya. Sebab, hal ini bisa mengganggu pelayanan publik. ‘’Pemda harus berani membuat maklumat pelayanan publik, menyusun SPM dalam upaya peningkatan kualitas layanan,’’ terangnya.
Selama ini, lanjut Suhaimi, kelompok-kelompok terorganisir, abai dalam persoalan ini. Padahal, buruknya pelayanan kesehatan, di banyak lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan, sangat nyata dirasakan masyarakat.
Buruknya pelayanan publik bidang kesehatan ini, merupakan wujud nyata dari impreliasme dan feodalisme, sehingga harus dilenyapkan. ‘’Kontrol kualitas pelayanan, bisa dilakukan semua orang, kelompok terganisir bisa melakukan presure,’’ tegasnya. ‘’Hal ini bisa dilakukan tidak dengan LSM dengan mengajukan proposal, tetapi bisa dilakukan semua pihak, termasuk ormas-ormas besar yang ada di tengah masyarakat,’’ jelasnya.
Upaya peningkatan pelayanan publik ini, sudah dimulai Pemprov NTB. Salah satunya dengan adanya komitmen pembentukan posko pengaduan pelayanan publik, bersamaan dengan launching Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi, saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi NTB yang ke 54 lalu, oleh Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi. Sehingga, masyarakat NTB yang tidak merasa tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik, bisa mengadu ke desk dan posko tersebut.(*)

Thursday, 29 September 2016

PENERTIBAN TRAWANGAN DIBONCENGI KEPENTINGAN MODAL (2011)

ILUSTRASI wisatawan yang sedang berlibur di Gili Trawangan. kawasan ini kian ramai dan menjadi rebutan para investor.
Keputusan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) NTB membentuk tim penertiban Gili Indah yang diberi label Tertib Gili Gatarin 2011 mengejutkan banyak pihak, apalagi setelah aparat masuk ke Gili lengkap dengan peralatan dan senjata seperti perlengkapan perang. Kalangan gerakan civil society di NTB tidak tinggal diam, langkah pemerintah daerah dan aparatus kemanan negara dianggap telah diboncengi kepentingan modal.
Adanya kepentingan modal yang memboncengi penertiba Gili ini bukan hal yang mengada-ada, tapi didasari indikasi dan fakta yang ada di lapangan.  Sikap ngotot TNI/Polri yang tetap ingin berada di Gili Trawangan dengan jumlah besar dan peralatan lengkap menjadi kecurigaan yang mendasar.
Jika hanya ingin memerangi narkotika, miras dan preman, tentu saja aparat kemanan tidak memerlukan pasukan bersenjata lengkap dengan tameng seperti layaknya pasukan huru-hara.
Sebelum operasi dimulai, Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wacyunadi menegakaskan, tim penertiban akan mengedepankan pendekatan premtif dan prefentif. Untuk memudahkan evaluasi, 90 hari tenggat waktu yang diberikan dilakukan secara bertahap per 10 hari.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram, Lalu Saepuddien menegaskan, logika penanganan prefentif yang dilakukan kepolisian rancu, jika aparat justru datang dengan membawa senjata seperti hendak perang. Seharusnya, aparat sadar dan mengetahui kondisi masyarakat yang traumatik terhadap aparat keamanan, yakni dengan aksi penggusuran yang sudah dilakukan tiga kali sejak masyarakat mendiami Gili Trawangan.
‘’Tahun 1993 tentara lengkap dengan senjata bentrok dengan warga, jelas trauma masyarakat masih ada dan harus dipahami. Kita setuju usaha pro yustisia tapi tentu harus dilakukan dengan bijak. Jika aparat masuk dengan membabi buta, kita tentu bertanya, ada apa dibalik itu?,’’ papar mantan aktifis FKMM ini saat diskusi #forumwiken di Lombok Timur Center, awal Agustus 2011.
Selain itu, ada juga fakta yang mengejutkan yang dibeberkan peserta diskusi, gabungan pengusaha diindikasikan tengah bersiap melakukan investasi di Gili Trawangan jika penertiban sukses. Di salah satu titik di pesisir Lombok Utara telah ditempatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pagar beton Willcon. Pagar-pagar beton ini akan digunakan untuk mengelilingi areal milik PT WAH dan PT GTI dengan luas 100 hektar lebih, jika aparat telah berhasil menggusur warga. Pagar beton ini sengaja ditempatkan jauh dari akses menuju Gili Indah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan yang paling mengejutkan, investor yang akan menguasai Gili ini memiliki hubungan bahkan menjadi bagian dari salah satu partai politik besar di NTB.

Soal traumatik masyarakat ini juga diakui Dosen Fakultas Hukum Unram Widodo Dwi Putro yang telah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat Gili. Adanya traumatik ini bisa dideteksi dengan adanya nama-nama warga yang disematkan orang tua mereka untuk mengingat peristiwa penggusuran dekade 1990an, seperti Sensowati, Gusuruddin dan lainnya. Setidaknya sudah ada tiga kali aksi penggusuran warga di Gili Trawangan dan melibatkan aparat kemananan dan pemerintah daerah, dan saat ini diindikaskan akan terjadi penggusuran jilid keempat.
Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi, lanjut Widodo, dikenal memiliki program 3A (Absano,Adono,dan Akino). Dan sering diplesetkan dengan Apeno? Yang dalam keseharian masyarakat sasak adalah tanda tanya apa. ‘’Tapi sekarang apakah Gubernur berani mengatakan dan menambah program menjadi 4A, Apeno dijadikan Angka penggusuran nol,’’ tandasnya.
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB, dan di Gili Trawangan TGB juga menang, begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan, mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini.
Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberika analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi, jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin.
Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya?. ‘’Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah, ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekrang Gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya.
Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. bahkan widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995. ‘’ Tentara dan polisi dalam jumlah besar masuk ke Gili, bahkan ada polisi lalu lintas yang juga ikut menggusur, ceritanya polisi lalu lintas ini tidak sempat berganti baju saat diperintahkan ikut masuk ke Gili. Kebetulan saya di Gili waktu itu, saya lari mendengar gemuruh yang begitu besar dan lari ke tengah pulau. Saya pikir ada tsunami, keesokan harinya, saya melihat tumpukan seng dan kayu dalam jumlah besar di pinggir pantai,’’ tuturnya mengenang.

Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’I melihat bahwa apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat dan pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut, kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di tanjah-anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegas Rifai dalam diskusi #forumwiken yang berlangsung hingga larut malam ini.

Hal senada juga diungkapkan Ridho, Ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi massal dan gratis) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional hadir dengan sokonga World Bank, begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.
Dalam konsep pembangunan apapun, modal memainkan peran vital. Dan yang menjadi persoalan saat pemerintah terlibat dan dikeruhkan oknum. Ketika pemerntah tidak objektif dalam menangani persoalan, maka akan menimbulkan bencana bagi masyarakat. Investor datang ke NTB khususnya ke Lombok bukan karena pemerintah, tapi investor melihat pulau Lombok yag seksi dan alam yang indah. ‘’Persoalan ada, ketika sudah mulai gunakan instrumen institusi. Persoalan datang ketika negara/pemerintah ambil bagian,’’ jelas Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim. (*)

Wednesday, 28 September 2016

SINERGITAS PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DI NTB

SOAL kesatuan data kerap menjadi soal, dan muncul setiap kali ada pembahasan program pemerintah. Namun selama itu pula tidak pernah ada penanganan serius yang dilakukan. Seharusnya pemerintah memiliki sistem informasi terpadu yang dinamis untuk penyusunan perencanaan dan implementasi program. 
Soal data ini pemerintah pada dasarnya sudah memiliki instrumen yang cukup untuk mengurus segala jenis soal mengenai data dan informasi ini. Tetapi tidak kunjung selesai. Begitu juga soal-soal desa ini sudah ada kelembagaan yang jelas di atas pemerintahan yang mengurusnya. 
Berbagai soal ini didiskusikan dalam #forumwiken yang diselenggarakan Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan sejumlah NGO di Lombok Tengah seperti Lesa Demarkasi, Konsorsium LSM Loteng, yang menjalankan program SAPA              (Strategic Alliance for Poverty Allevation).
Ilustrasi pemanfaatan sistem informasi dalam memudahkan berbagai hal.foto by : bimasislam.kemenag.go.id
Kabid Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara yang hadir mewakili Kepala BPMPD NTB, mengakui pentingnya peran sistem informasi desa ntuk perencanaan pembangunan, terutama meningkatkan pelayanan di desa. Hanya saja, belum ada data lengkap yang akurat. Dari sisi regulasi sudah ada Permendagri khusus tentang penyusunan profil desa kelurahan, namun belum optimal. Data yang ada masih sebatas pelayanan penduduk. Padahal, dalam Permendagri juga diatur bagaimana potensi desa juga ada dalam angka. “Biasanya kecamatan menunjuk kalau ada lomba desa. Jadi secara tergesa-gesa data profil itu diisi dan dibuat,” paparnya.
Soal apa upaya BPMPD?. Kata Irman, pihaknya akan bekerjasama dengan Kompak (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan) yang disuport AusAID. Utamanya mengadvokasi pembuatan perencanaan desa berbasis data yang lengkap dan akurat untuk membantu aparatur desa untuk mengelola SID. Kompak bersedia membantu program pemerintah dalam bidang sistem informasi desa,” paparnya.
Kepala BPS NTB Wahyudin juga turut hadir dalam diskusi ini. Dikatakan, BPS melaksanakan pendataan potensi desa, dilaksanakan 3 tahun sekaliterakhir 2015 dan akan dilakukan 2018 nanti. Pendataan ini mirip dengan profil desa. Untuk ketersediaan data ini, Desa sebenarnya memiliki satu arsip kuisioner yang sudah diisi petugas. Sehingga Desa memiliki data lengkap mengenai desa masing-masing. “Banyak visi yang bisa kita dapat dalam potensi desa itu. Mirip dengan profil desa. Itu bisa dipakai oleh teman-teman di desa sebagai data dasar,” paparnya..
Wahyuddin juga memaparkan mengenai bagaimana BPS memproses pendataan kemiskinan. Sejak tahun 2005 BPS melakukan dua model pendataan. Terbaru melakukan pendataan data mikro, dengan adanya profil berdasarkan by name by adresse. Dan setiap tahun diperbaharui. Sejak 2011 pemerintah meminta pendataan 40 persen masyarakat garis ekonomi terbawah. Di NTB, dari dari 1,25 juta rumah tangga, sekitar 802 sudah didata. “Data inilah yang dipakai untuk pembagian raskin dan program perlindungan sosal lainnya,” bebernya.
Dan yang terbaru sudah dilakukan pendataan tahun 2015, dan hasilnya sudah diserahkan ke TNP2K. Berbagai indikator kemiskinan seperti perumahan, mulai dari jenis lantai, atap, sumber air minum, cara memperoleh air minum, penerangan, bahan bakar untuk memasak, sumur, dan sebagainya. Banyak sekali informasi yang bisa dipakai sebagai 
Rujukan. Berapa orang bergerak di sektor peternakan, dan lainnya juga ada,” pungkasnya.
Kabid Sosial Budaya Bappeda Lombok Tengah Lalu Satria Utama juga ikut memberikan pandangannya. Soal data tidak akan ada ujungnyasampai sekarang. Dalam upaya konsolidasi penyusunan SID ini sudah ada upaya kuat di level kabupaten khsususnya di Lombok Tengah, salah satunya dengan suport teman-teman NGO yang tergabung dalam program SAPA sudah menginisasi pendampingan penyusuan SID ini. “Cuma, anaknya punya keinginan, ibunya tidak. Ini masalahnya. Kenapa begitu. Ibaratnya, keinginan baik dari provinsi itu belum ada,” tandasnya.
Pengelolaan data level desa sebenarnya dari awal sudah ada, ada program NGO tetapi keinginan melanjutkan tidak ada. “Soal Kompak belum tau, karena belum masuk, tapi SID ini terasa sekali. Kenapa? Karena kabupaten-kabupaten di luar NTB datang berkunjung. Mereka datang melihat praktik SID. Sudah tiga tahun saya mengusulkan untuk difasilitasi Provinsi terkait SID, tapi tak ada kelanjutan,” jelasnya.
Satria menginginkan adanya satu sistem terkait SID ini, tidak berbeda-beda. Sekarang ada Kompak, ada lagi yang lain, sehingga tidak nyambung. Seharusnya ada roadmap terkait SID ini.
Direktur Lesa Demarkasi Hasan Masat memaparkan, sudah dua tahun Lesa Demarkasi bekerjasama dengan Ford Fondation menjalankan program SID termasuk juga dalam upaya pengentasan kemiskinan. SID ini bukan semata-mata aplikasi. Tapi diharapakan menjadi sistem yang berkembang dari desa,” ungkapnya
Dalam upaya membantu Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TPKD) di Lombok Tengah, ada 70 desa tempat pelaksanaan program.MAsyarakat sangat mengapresiasi program ini, masalah yang dihadapi adalah sarana dan prasarana yang terbatas. Namun dari keterbatasan yang ada muncul inisiatif yang luar biasa. 
desa yang kami bina, sudah muncul inisiatif yang luar biasa. 

Integrasi data dari desa belum punya titik, diharapkan kedepan ada fokus ke masyarakat. Bagaimana sinergitas program. Sebab selama ini data yang ada sering tidak digunakan Bappeda. Mungkin karena kondisi kepentingan politik, bansos, dst. Sehingga SID tidak berintegrasi ke program kebijakan,” bebernya.
Hal lain soal penggunaan anggaran dana desa. Di Lombok Tengah ada 13 kepala desa jadi tersangka kasus korupsiKewenangan BPD yang dipangkas dalam UU Desa juga jadi masalah, sehingga BPD tidak memiliki kewenangan monitoring. Tapi saya senang, masyarakat sudah berinisiatif melaporkan kalau ada masalah,’ ungkapnya

Perbedaan Data Wajar, Sinergitas Diperlukan

Kepala Sub Bidang Pengelolaan Data Bappeda NTB Abel Hatuina memberikan tanggapan atas sejumlah sorotan yang muncul dalam diskusi. Dikatakan, sistem informasi ini pada dasarnya, dasar hukumnya sudah tersirat dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Seluruh perencanaan harus berdasarkan sistem informasi pembangunan daerah. 
“Kalau membahas sistem informasi. Tidak usah bahas perbedaan. Karena memang banyak perbedaan, termasuk soal definisi kemiskinan,” ungkapnya.
Saat pendataan, indikator penting jika ingin membandingkan hal yang satu dengan yang lain. Dalam pendataan, asumsinya dianggap semua sama, padahal kebutuhan berbeda-beda. Hal inilah yang memunculkan ada yang puas dan tidak puas. Jika indikatornya beda, maka data tidak akan bisa dibandingkan.
Yang terjadi selama ini, lanjutnya, setiap lembaga yang membuat sistem informasi, sebab masing-masing ada ego yang kuat. Contohnya di pemerintah pusat. Di level kementerian sudah banyak sistem informasi yang dibuat, masalahnya apakah mau dibuka untuk disharing atau tidak. “Asal mau dibuka sistem dasarnya, kita bisa saling conectHarapannya, Kominfo bisa memfasilitasi ini,” tandasnya.
Abel kemudian memperlihatkan sistem informasi yang sudah dibuat Bappeda NTB, dengan memanfaatkan data dari PPLS. Dilakukan pengolahan lanjutan, sehingga menghasilkan data kemiskinan berbasis spasial. Sehingga per desa bisa dilihat sesuai kategori yang diinginkan, berapa jumlah kepala keluarga erempuan per desa, dan lainnya.
“Kita bermain dengan pengolahan data yang besar. Bagaimana kapasitas penyimpanan kita? Ini baru agregasi, sudah sangat besarYang jadi soal juga bagaimana meng-updatenya data ini,” paparnya.
Sementara itu, peneliti program SAPA Lombok Tengah Tahmayati memeparkan adanya kendala penerapan SID ini di level desa, salah satunya soal belum adanya regulasi yang pasti. Termasuk juga soal sinergitas data dan indikator yang disusun. Dalam penentuan kemiskinan, BPS sudah memiliki indikator, tetapi desa juga ingin adanya indikator lokal juga diakomodir. Sebab, masing-masing desa punya karakteristik kemiskinan yang berbeda. Salah satu indeks yang dibuat SAPA soal kemiskinan juga dikutur dari kurangnya jumlah kali piknik warga. Sehingga indeks kesejahteraan masyarakat masih dianggap kurang. Ada juga versi desa mengusulkan indikator “haji” sebagai salah satu indikator. “Kalau sudah naik haji, ada prestise sosial. Kita mau dorong, beranikah seorang haji mengaku miskin agar dapat raskin,” tandasnya.
Belajar dari pengalaman program, lanjut Rahmayati, dengan SID yang ada, pembuatan surat sangat cepat, tidak sampai lima menit. Dan lebihnya, dia langsung meng-update data kependudukannya. Misalnya urus surat nikah dan pindah, langsung ter-update bahwa dia sudah pindah dari desa itu. Dengan adanya SID ini, maka penurunan kemiskinan juga akan lebih tepat, sebab data yang digunakan lebih akurat.
“Saat ini, provinsi pakai data hasil BPDT, kabupaten dari Dinas Sosial, desa punya data mikronya sendiri, karena mereka punya dana desa untuk dikelola. Bisa tidak data-data ini diintegrasikan?,” ungkapnya.
Peneliti InSkrip NTB Badrun AM juga turut memberikan pandangannya. Dalam melihat data ada dua kaca mata, yakni data sebagai realitas dan data sebagai perspektif. Jenis data pertama ini negara yang melakukan, sebab sensus itu berbiaya mahal dan dilakukan sekali 10 tahun. Adanya SID menawarkan adanya data yang riil time karena terus di-udate. Skema mengintegrasikan SID harus jelas, apakah ditangani Pemda atau pemerintah pusat. “Saya sepakat dengan BPS, kita tak ada masalah dengan data,” bebernya..
Yang sering jadi soal, data sebagai perspektif. Ini tergantung indikator yang dia pakai. Bagi Badrun, kemiskinan bukan semata-mata soal rezim data, tapi soal rezim perencanaan. Desa itu seperti terminal, bak sampah, banyak skema anggaran yang datang ke desa. Ditaruh uang di desa, tapi masyarakat tak pernah berubah. Di mana masalahnya? Menurut saya, ada di system perencanaannya di Bappeda. Tidak pernah sejahtera masyarakat desa,” bebernya.
Penliti Somasi NTB Hendriadi Jamal mengungkapkan, jika merujuk mandate pasal 86 UU Desa sudah jelas. Pemerintah dan Pemda wajib mengengembangkan sistem informasiArtinya, pemerintah harus menyediakan, jadi bukan kewajiban desa, harus digarisbawahi. Kalau menjadi kewajiban, sarana, sumber daya yang ada, harus diperkuat pemerintah kabupaten. 
Kalau tidak, ini akan menimbulkan kemiskinan informasi, yang selanjutnya menimbulkan kemiskinan lainnya,” tegasnyaKita buat sederhana ini persoalan. Kita pakai kearifan lokal. Kita mau pakai berugak, mesjid, kentongan, apa saja, yang penting bisa diakses,” tambahnya.
Direktur Hamzanwadi Institute Dr Salman Faris juga memberikan penegasan. Ada dua prinsip terkait data ini yakni, benar dan nyata. Jika membuka definisi data, akan berbeda. Dan yang jadi masalah di Indonesia ini, datanya benar tapi tak nyata. Ada juga dia nyata tapi tak benar. Ini persoalan kita,” tandasnya.
Ada berbagai soal, ada soal dalam memperoleh data, ada juga soal klasifikasi data. Soal metode bisa tidak diragukan, tetapi seringkali observasi menjadi hal yang terbaikan. Datang langsung ke lokasi. Langsung dapat data. Benar angka kemiskinan kita turun, tapi tak nyata,” bebernya.
Terkait system data, Salman mengapresiasi inisiatif ini. Namun perlu diingat, sistem data ini secara prinsipil adalah digitalisasi dunia. Orang tak perlu lagi keluar rumah, dia sudah punya informasi komprehendif tentang duniaPersoalannya, orang miskin di desa tak tahu soal digitalisasi ini. Sehingga ketika ada program atau proyek korporasi, mereka hanya jadi korban. Oleh karena itu, BPS dan BPMPD tak boleh terpisah dalam membangun paradigm ini. BPS mendigitalisasi dunia, BPMPD bertugas menyiapkan supratstruktur. 
Direktur M16 Bambang Mei Finarwanto mengingatkan, soal data ini dari perspektif intelejen. Dikatakan, dalam setiap hubungan apapun, pasti ada balancetake and giveDalam konteks SID ini, dikhawatirkan semua data tebuka, sehingga betapa mudahnya Indonesia akan dipetakan negara lain. Harus juga dipikirkan data ini bisa dimanfaatkan pihak lain. Sebab, kita tidak bisa mengakses data negara lain. “Dengan keterbukaan ini, saya rasa, perlu dipikirkan savety-nya. Bagaimana nanti kalau terjadi apa-apa? Siapa yang yang melindungi itu,” tambagnya.
Akademisi Unram Lalu Syaifuddin Gayep menegaskan, cara dan mekanisme. Tapi tak memikirkan solal mendasar, keterbukaan informasi ini sebagai ideologisasi. Tidak mengedepankan, bagaimana public supaya mengerti apa pentingnya keterbukaan informasi ini. Ini penting. Jadi tak berhenti pada cara atau alat. 
Aktifis perempuan LARD NTB Mahmudah Kalla menuturkan pengalamannya dalam sensus pertanian. Mungkin ini bisa memberikan factor data-data tersebut. Saya menemukan lagnsung yang diberikan program, kan beda tujuan, ingin mendapatkan data yang akurat. “Tapi teman-teman yang hanya mengejar program uang, dia cepat sekali mendapatkan data. Tidak sama dengan kami,” bebernya.
Kepala BPS NTB Wahyudin menanggapi berbagai paparan yang disampaikan. Disimpulkan, betapa Sistem informasi data itu sangat penting. Bisa untuk eksekusi program. Ini lebih kepada, bagaimana kelanjutan dari pengelolaan sistem ini. Sebab sudah banyak sekali, apakah Sapa, Kompak, membuat hal yang mirip dengan ini. Tapi, begitu Sapa keluar, berhenti program itu. Tidak ada keberlanjutan. 
Tadi disampaikan teman dari Loteng. Data-data yang ada tidak selaras. Kalau kita menganalisis dari data yang ada. Secara NTB, saya belum pernah menemukan data 75% partisipasi Pilkada. Kenapa? Karena yang masuk dalam daftar itu, teman-teman kita di Malaysia masuk di situ. Saya coba kalkulasi, sekitar 20% dari daftar itu ada di luar.
Lalu soal pendataan. Soal pendataan, tidak pernah ada kepala dusun diberikan pencerahan apa yang dimaksud dengan pendataan. Satu kuesioner bisa bermacam-macam interpretasinya. Tapi kita lakukan pelatihan untuk menyamakan persepsi apa yang dimaksud dengan kuesioner itu. Selama lima hari itu. Kita punya system untuk bisa mendapatkan data dengan akurat. 
Lalu soal data dasar. Jadi akan jadi tugas teman-teman ketika membuat SID, di samping data yang nasional, sisanya yang mungkin perlu dicari data basenya. Itu barangkali yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.
Sementara itu, Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara menjekaskan, sebenarnya pemikiran kita sama bagaimana menggali, mendiskusikan SID inibelum ada SID dan kawasan desa yang terintegrasi. Diskusi ini ada titik terang. Kami akan bersinergi dengan Bappeda dan BPS,” pungkasnya. (*)

Tuesday, 27 September 2016

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DI NTB

Aksi perusakan hutan terus menerus saja terjadi. Di Sumatera dan Kalimantan, bahkan menjadi bencana internasional dengan kabut asap yang merugikan banyak negara. Bagaimana regulasi soal perusakan hutan?. Berikut ulasannya.
Akhir pekan lalu, diskusi #forumwiken Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan Samanta NTB, salah satu lembaga swadaya yang concern terhadap isu lingkungan, membedah soal regulasi dan kebijakan kehutanan, secara nasional secara umum, dan NTB secara khusus.
Ilustrasi kerusakan hutan yang kian parah di NTB akibat ilegal loging dan alihfungsi lahan. foyo by www.unikbaca.com
Direktur Samanta Dwi Sudarsono, memeparkan soal regulasi khusus soal perusakan hutan, yakni UU 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Pada dasarnya, negara sudah memandang perusakan hutan sebagai kejahatan luar biasa, UU 18/2013 memberikan ruang yang besar upaya pemberantasan ilegal loging. 
Ada banyak riset yang menyebutkan bahwa, kayu-kayu dari sejumlah negara tetangga justru berasal dari Indonesia. Jumlah ekspor kayu sejumlah negara, justru lebih besar dibandingkan jumlah kemampuan produksi mereka. Sehingga kuat dugaan, kayu-kayu ilegal Indonesia “diputihkan” agar bisa dijual ke pasar Internasional. Hal ini mendasari lahirnya klausul dalam UU 18/2013 ini soal kejahatan lintas negara. 
Hampir seluruh jenis perbuatan perusakan hutan, menyangkut ilegal loging, penggunaan hutan tidak sah seperti perkebunan, hutan tanaman industri, dan lainnya, termasuk perbuatan pidana. Tidak hanya perbuatannya yang dipidana, namun pemanfaatan hasil ilegal hutan seperti kayu, termasuk pertambangan juga bisa dijerat pasal pidana. Aparat negara yang dianggap lalai, membiarkan terjadinya perusakan hutan juga bisa dijerat pidana.
Regulasi ini juga mengatur soal lex spesialis penanganan kejahatan kehutanan. Mulai dari penyelidikan, penindakan, hingga peradilan diatr tersendiri, dan bisa dilakukan Penyidik Negeri Sipil (PPNS).
Tempo peradilan juga diatur, Pengadilan Negeri hanya butuh maksimal 45 hari untuk bersidang, banding di Pengadilan Tinggi hanya 30 hari, dan kasasi di Mahkamah Agung hanya 50 hari kerja.
Tidak hanya itu, keistimewaan dalam regulasi ini, pelapor perusakan hutan tidak bisa didelik pidana. Jika laporannya kelak tidak terbukti di peradilan. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara tegas mengenai peran Pemda. Sehingga pemda masih ambigu menerapkan UU ini.
Meskipun demikian, UU ini juga melahirkan efek buruk bagi penindakan hukum oleh kepolisian. Bahkan dalam kasus tertentu, soal perusakan hutan ini dianggap sengketa perdata oleh Polda NTB.
Hal senada juga diungkapkan Eksekutif Daerah Walhi NTB Murdani, soal penegakan hukum yang masih lembek. Adanya regulasi khusus kehutanan ini, yang secara tidak langsung “mengambil alih” kewenangan polisi mengurus kehutanan, membuat aparat penegak hukum ogah-ogahan. “Jikapun polisi menangkap pelaku ilegal loging, mereka juga mau serahkan ke Dinas Kehutanan,” bebernya. 
Di Dompu, ada oknum kepala desa tertangkap tangan lakukan ilegal loging, malam harinya dilepas oknum polisi. Bahkan, jika melihat data kasus laporan perusakan hutan, Walhi mencatat, dari 192 kasus, hanya sebagian kecil yang bisa diselesaikan, itupun hukumannya rata-rata masih sangat ringan.
Murdani juga mengungkapkan soal laju perusakan hutan yang luar biasa, luasan hutan yang masih tersisi di NTB saat ini hanya sekitar 22 persen, dari 1,7 juta hektar luasna hutan. Ada banyak modus perusakan hutan, seperti di pulau Sumbawa, ada izin penebangan yang dikeluarkan dinas setempat di lokasi tertentu. Namun, yang ditebang justru di tempat yang lain. “Izin penebangannya di Bima, tetapi hutan yang ditebang di Labangka,” terangnya.
Murdani juga menuturkan soal fenomena di hutan lindung Sekaroh Lombok Timur. Sebagian besar kawasan hutan sudah dirambah untuk kawasan pertanian. Dari 2800an hektar kawasan hutan di Sekaroh, hanya di kawasan blok Jipro yang masih berupa hutan.
“Ribuan kepala keluarga sudah mendiami kawasan hutan di Sekaroh. Juga muncul 91 sertifikat hak milik (SHM) yang menguasai 181 hektar,” bebernya. “Kalau sporadik sudah sangat banyak. Ini seolah dibiarkan oleh pemerintah,” tambahnya.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaipuddin Gayep menjelaskan, lahirnya UU 18/2013 ini menunjukkan semangat yang besar pemerintah untuk memberantas kerusakan hutan. Apalagi ada lex spesialis dalam pengaturan pemudanaan maupun hukum acaranya. Bahkan, dimungkinkan adanya hakim ad-hoc untuk kasus perusakan hutan. “Cuma saya tidak tahu, apakah hakim ad-hoc ini ada atau tidak,” bebernya.
Bagi Gayep, roh pengaturan tindak pudana kehutanan ini bagus. Hanya saja, belum ada tindakan yang kongkrit. Dengan lahirnya UU ini, polisi juga akhirnya lemah, karena kewenangannya di ambil alih PPNS. 
Regulasi ini tidak hanya mengatur soal perbuatan perusakan, bahkan orang yang membawa masuk alat-alat yang sekiranya digunakan untuk menebang kayu, ke dalam kawasan hutan juga bisa dipidana. Ada juga aturan minimum khusus untuk sanksi. Orang yang merusak hutan yang berasal dari sekitar kawasan hutan dengan orang yang tempat tinggalnya jauh dari kawasan hutan, sanksinya juga dibedakan. “UU ini sangat represif, ada kelembagaan besar yang dibuat,” tandasnya.
Senada dengan Dwi Sudarsono, Gayep juga menyayangkan tidak adanya ketentuan lebih detail mengenai kewajiban Pemda. Peran pemda hanya disebutkan secara umum saja. 

------------------------------------------------------------
TGH Hasanain Harus “Dikloning, Pencuri Kayu Lebih Aman Daripada Curi Ayam
-----------------------------------------------

DIREKTUR World Wild Fund Nusa Tenggara Ridha Hakim mengungkapkan sejumlah fakta menarik soal hutan di NTB. Luas hutan di NTB yang mencapai 1,71 Juta hektar atau sekitar 70 persen dari total luas daratan. Namun, jika melihat perbandingan jumlah polisi hutan dengan luasan hutan, maka perbandingannya satu polisi hutan menjaga 5.000 - 7000 hektar. Lebih parah lagi soal alokasi anggaran pengamanan hutan, jika melihat alokasi APBD NTB terhadap pengamanan hutan, maka hanya tersedia Rp 200 per hektar lahan. “Bagaimana kita mau bicara pengamanan hutan,” tandasnya.
Soal penegakan hukum kejahatan kehutanan, selama ini nyaris tidak menyentuh pelaku utama, yang ditangkap hanya pesuruh saja. Sebagian besar yang ditangkap terpaksa dilepas, karena pihak Kehutanan tidak memiliki biaya untuk membiayai para pembalak liar. 
Terkait itu, implementasi penegakan hukum melalui UU 18/2013 belum efektif. Perlu ada pemikiran lain bagaimana menjaga hutan tetap lestari. Daerah seharusnya memiliki strategi penangangan ilgal loging yang jadi acuan bersama. Salah satunya bagaimana ada pengakuan warga ikut serta dalam pengawasan hutan. Ada celah warga ikut serta namun melalui proses yang rumit, harus training, dan lainnya. “Di Rinjani ada 90an jalan tikus membawa kayu hasil ilegal loging. Di Tambora lebih dari 100 jalan tikus,” tandasnya.
Pria yang akrab disapa Edo juga menjelaskan hasil riest WWF 2008-2010 yang menemukan adanya kebijakan yang tidak efektif dalam pengelolaan hutan. Misalnya saja, soal kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm), luasan yang terealisasi mencapai 24 ribu hektar. Aktifitas HKm ini nyaris tanpa pendampingan dan dukungan, sehingga turut membuat kondisi hutan kian kritis. Tutupan hutan saat ini hanya sekitar 20 persen saja. 
Dan jika mencoba menghitung kebutuhan anggaran untuk melakukan rehabilitasi hutan, dibutuhkan sekitar Rp 7,48 Triliun atau sekitar tiga kali APBD NTB.
Ketua Pemuda Nahdlatul Wathan NTB (Pancor,Red) Ahmad Sarif Husein berikan usulan menarik, bagaimana memasifkan kampanye penyelematan hutan dan lingkungan kian massive dilakukan. Sebab, selama ini faktanya, aturan sudah lengkap, yang jadi soal implementasi. Perlu dilakukan aksi yang kongkrit secara massive dan terencana. Aksi tanam pohon yang dilakukan TGH HAsanain Juaini tidak bisa sendiri dilakukan. Perlu banyak pihak yang juga lakukan hal yang sama. Bagaimana LSM, aktifis lingkingan yang tambah banyak bisa bagi peran. “Saat ini kondisi parah, kekeringan kian terasa,” bebernya.
Sementara itu, Redaktur Lombok Post Fathul Rakhman yang juga hadir dalam diskusi mengungkapkan, ada pembiaran terhadap warga yang merambah hutan. Salah satunya di Sekaroh Lombok Timur. Padahal, kasus perambahan hutan ini seperti fenomena Pedagang Kaki Lima. Satu jualan, akhirnya ramai-ramai dan dianggap milik sendiri. “Dulu di Sekaroh hanya beberapa rumah, tetapi sekarang sudah ada pemukiman. Karena dibiarkan saja, akhirnya jadi hal biasa,” terangnya.
Dari pantauan yang dilakukan, kata Fathul, sebagian besar perambah hutan, bukanlah warga setempat, tetapi warga pendatang dari berbagai daerah, seperti Lotim dan Loteng
Ada pandangan umum yang keliru pemerintah dan warga. Sebab, selama ini maling kayu lebih enak dibandingkan maling ayam atau maling sendal di Masjid. Maling Ayam atau Sendal pasti babak belur dihajar warga, tetapi kalau maling kayu di hutan, dibiarkan saja.
“Dulu di KLU pernah ada polhut yang tangkap orang yang bawa senso ke kawasan hutan. Malam harinya, pohut tersebut dikepung rumahnya,” terangnya.
Sejumlah fakta, usul saran dalam diskusi ini ditanggapi positif Kepala Bappeda NTB Chairul Mahsul yang turut hadir dalam diskusi ini. Mulai dari usul warga Sembelia agar Dishut menananam pohon yang tidak ekonomi, seperti Pohon Beringin, dan lainnya. Termasuk usul Fathul, bagaimana mendorong kesadaran warga, agar pelaku maling kayu dipandang seperti halnya maling ayam dan sendal.
Upaya yang juga akan dioptimalkan pemerintah adalah bagaimana meningkatkan ekonomi warga sekitar kawasan hutan. Salah satunya dengan mendorong warga ke sektor peternakan dan ekonomi lainnya. Sejumlah pihak ikut terlibat mulai dari Taman Nasional Gunung Rinjani, maupun WWF yang ikut serta mendorong roadmap optimalisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hal ini sbagai upaya mendorong penyelamatan tutupan hutan yang masih ada. 
Kata Chairul, anggaran penurunan kemiskinan yang diprioritaskan dalam Rancangan APBD 2016, salah satunya juga soal intervensi warga miskin di sekitar hutan.
Keberadaan Kesatuan Hutan (KPH) yang kini sudah menjadi SKPD tersendiri, bukan lagi Unit Pelaksana Teknis Dishut, juga hal positif, sehingga KPH fokus mengelola hutan. Dan Dishut fokus dalam hal regulasi, penyusunan roadmap, dan lainnya.
Chairul juga mendukung upaya “mengkloning” TGH Hasanain, sehingga jika kian banyak pihak yang mendakwahkan soal lingkungan, akan berikan dampak yang kian besar. (MN Ikroman/Bersambung)

-------------------------------------------------------
Presiden Jokowi Lupa Bicara Hutan, Fiqih Taharah Wajibkan Perlindungan Hutan.
-------------------------------------------------------

Pentingnya menjaga hutan sebagai sumber air, menjadi penekanan penting Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi. “Jangan sampai orang tidak bisa wudhu”, begitu pesannya kepada jajaran SKPD. Berbagai upayapun dilakukan, meskipun masih banyak hal yang perlu dibenahi.
KEPALA Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Barat Ir Madani Mukarom memberikan pandangan optimistik soal pengelolaan hutan di NTB, khususnya di kawasan Rinjani Barat.
Satu per satu Madani menguliti persoalan kehutanan. Mulai dari soal kehutanan ini diakui bermasalah secara nasional. Seperti pelepasan hutan untuk Transmigrasi. Selama ini pemerintah tidak mau memanfaatkan kawasan hutan yang tidak punya pohon. Yang diinginkan hutan primer. Sebab, dari situ ada permainan, sebab hampir seluruh biaya pembangunan kawasan bisa diambilkan dari hasil kayunya. Sehingga dana proyek bisa dicincai.
Keberpihakan anggaran Kehutanan juga masih rendah. Salah satunya dipicu perhitungan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang kecil. Sebab, sebagian besar PDRB yang disumbangkan Sektor Kehutanan justru dihitung Perdagangan dan Perindustrian seperti industri kertas tidak masuk PDRB Sektor Kehutanan. Kopi, Kakau yang juga hasil hutan tetap dihitung sektor Perkebunan. Seharunya, PDRB Sektor Kehutanan mencapau Rp 2000 Triliun, tetapi yang terhitung hanya Rp 6 T. Sehingga anggaran kecil. “Satu polhut jaga 100 ribu hektar, tetapi hutan dituntut lestari. Polhut harus ilmu seperti Kian Santang dan Brama Kumbara untuk jaga hutan. Sebelum ada diklat Sakti seperti itu, ya tidak bisa,” tandas pria yang juga Ketua Asosiasi KPH Se Indonesia ini.
Murdani juga mengkritik Presiden Jokowi yang tercatat sebagai Rimbawan (sebutan untuk orang kehutanan,Red). Namun justru Jokowi lupa berbicara soal hutan. Seharusnya sebagai Presiden yang notabene Rimbawan harus kelihatan.
“Seluruh Kepala KPH teken surat pernyataan sikap dan kirimkan ke Presiden Jokowi waktu pertemuan nasional,” tandasnya.
Mengenai tutupan hutan primer di Rinjani Barat. Disebutkan, 23 ribu hektar hutan kritis. Berbeda dengan data BPDAS yang menyebutkan hanya 5.743, sebab studi yang dipakai adalah citra landsat, sehingga pisang, dan lainnya dihitung hijau sebagai tutupan hutan.
Padahal, posisi hutan Rinjani Barat sangat vital, sebab sebagai sumber air 4 kabupaten/kota. Sumber irigasi Sodet, Dam Batujai, Pengga, termasuk untuk keperluan PDAM Giri Menang dan Lombok Utara. Termasuk suplai air bersih di desa-desa.
Saat ini, KPH Rinjani Barat menjadi KPH Model dengan status KPH terbaik di Indonesia. Pola kemitraan dengan masyarakat dan seluruh stakholder hal yang saat ini sedang digiatkan. Salah satunya menanam Kayu Kalindra untuk bahan bakar omprongan tembakau, sebagai pengganti sawit. Dengan teknologi sederhana pembuatan briket kayu.
Sementara, di Rempe bersama aktifis lingkungan, dirancang HPH Rakyat, bagaimana pengelolaan kehutanan mengedepankan masyarakat. Bahkan, jikapun ada investor harus libatkan masyarakat sekitar hutan. Kedepan akan ada kredit pengelolaan hutan dari BLUD Kehutanan. Sehingga ada roadmap, bagaimana secara bertahap seluruh perumahan di kawasan hutan bisa keluar secara mandiri oleh masyarakat.
“Legalitas kemitraan masyarakat kita dorong. Karena izinnya gak perlu ke Menteri lagi,” tandasnya.
Di KLU juga demikian, ada lahan tidur termasuk kawasan jambu mete yang kondisinya hidup segan mati tak mau, akan dirubah dengan tanaman kayu putih dan karet. KPH mendorong hutan menjadi sumber energi terbarukan, dan ini sekalgus menjawab problem kemiskinan di sekitar kawasan hutan.
Ada juga warga setempat menuntut agar ada tanaman karet di kawasan hutan, sebab mereka di Malaysia umumnya bekerja di Perkebunan Karet. Hanya saja, karena kawasan hutan tidak boleh monokultur makan dibuat pola yang sesuai. “Saya malah diajari petani untuk karet ini,” tuturnya.
Selain itu, program REDD+ juga terus didorong, salah satu syarat dari program ini adalah perubahan mental masyarakat. Agar kedepan ada kompensasi emisi karbon. Jika di Rinjani Barat ada 40 ribu hektar hutan primer. Maka jika dibayar rp 1Juta, maka akan ada sumber dana Rp 40 Miliar per tahun.
Salah satu kawasan hutan yang rumit di Sesaot. Salah satunya adanya praktek hanti rugi kawasan hutan. Saat ini hanya 40 persen orang sesaot yang masih mengelola hutan, sebagian besar lahan sudah diganti rugi ke orang lain, dari Mataram. Bahkan, ganti rugi pengelolaan lahan hutan bisa seharga Rp 100 Juta per hektar. 
“Hal penting yang perlu dilakukan. Bagaimana mengembalikan kawasan hutan ke masyarakat miskin di kawasan Sesaot,” bebernya. 
Potensi di kawasan hutan akan dimanfaatkan untuk kepentingan eknomi, termasuk untuk pariwisata. Sebab, kedepan KHP dituntut untuk mandiri tanpa ada biaya dari pemerintah. Bagaimana merancang jenis tanaman juga harus bisa dimanfaatkan secara ekonomi, sehingga tidak hanya sekedar tanam saja.
“KPH harus mampu mengelola hutan secara ekologis, ekonomi dan sosial. Jadi tidak lagi yang penting hijau,” bebernya.
Sementara itu, Aktifis WWF NTB Arya menuturkan, pertumbuhan penduduk dengan tingkat kebutuhan lahan yang tinggi membuat mastarakat memburu lahan hutan. Diperlukan intervensi yang kuat dari pemerintah untuk menjaga hutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, ratusan ribu jiwa warga yang hidup di sekitar kawasan hutan termasuk warga miskin, sehingga mendorong warga merambah hutan.
“Perlu perubahan mindset, dorong skema pemberdayaan masyarakat. Mitigasi perlu segera dipikurkan bgmn solusinya,” tandasnya.
Pentingnya bagaimana menjaga hutan ini juga disampaikan Direktur Nusra Institute Lalu Pahrurrozi. Khususnya soal fungsi hutan sebagai penyedia air bersih. Peneliti Bale ITE Bappeda NTB ini mengambil standing soal pentingnya air dalam kaca mata fiqih Islam, yakni Fiqih Taharah (bersuci,Red). Sejak awal, fiqih Taharah berbicara tentang air, yakni air suci yang mensucikan. Sehingga dalam posisi ini air wajib dilindungi. “Kita kan gak bisa wudhu dengan air kelapa,” tandasnya.
Namun selama ini, kata Ojhie, peran kaum agamawan kurang diperkuat dalam hal perlindungan lingkungan ini. Boleh saja, TGH Hasanain Juani kuat dalam praktek perlindungan lingkungan, namun perlu terus diperkuat basis palsafahnya. Dalam artian, bagaimana Taharah menjadi ilmu lingkungan, maupun dalam praktek pelestarian lingkungan.
Selain itu, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Unram ini juga mengungkapkan soal biaya operasional Kehutanan yang sudah dicabut dari APBD, dan diserahkan ke APBD. Namun, nomenklatur pendapatan sektor kehutanan ada dalam postur APBN, seperti PBB Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan masih domain pusat. Di NTB, nilai dari PBB ini mencapai Rp 28-29 Triliun per tahun. "Jika provinsi diberikan kewenangan sampai operasional. Sudah selaaknya kita tuntut PBB kehutanan jadi pendapatan provinsi,” tandasnya.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Lalu Syaipuddin Gayep mengusulkan, perlu upaya mengintervensi kelembagaan integrasi warga dengan hutan, salah satunya dengan memanfaatkan celah dalam UU 23/2014 tentang Pemda yang mendorong lembaga adat. Daripada lembaga adat desa hanya mengurus Sapu’ (ikat kepala,Red) saja, lebih baik difokuskan untuk menjaga hutan juga. “Lembaga adat ini bisa lapor PPNS, sebagai mitra lembaga kehutanan pemerintah,” tandas Gayep yang juga peneliti Bale ITE Bappeda NTB ini. (*)