Friday, 7 October 2016

MEMBAHAS KESIAPAN PEMILUKADA NTB (2013)

Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur akan digelar 13 Mei 2013 mendatang, bersamaan dengan Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Lombok Timur dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Bima. Bagaimana kesiapan semua pihak penyelenggaraan Pemilukada?
SALAH satu diskusi yang berkembang di kalangan politisi sejak lama adalah soal mekanisme pemilihan kepala daerah dalam hal ini Gubernur yang akan digelar, yakni apakah akan tetap dipilih secara langsung atau dipilih oleh anggota DPRD NTB.


Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi NTB Lalu Aksar Anshori menegaskan bahwa, pemilihan Gubernur akan tetap dilakukan secara langsung seperti halnya Pemilukada 2008 lalu. Dan sudah tidak ada kemungkinan lagi, mekanisme pemilihan akan berubah ditengah jalan, sebab tahapan Pemilukada sudah dimulai sejak pekan lalu. Tahapan Pemilukada akan diteruskan hingga terpilih kepala daerah baru, meskipun sudah lahir Undang-Undang baru. ‘’Tidak ada kemungkinan lagi mundur. Ini sudah diatur dalam aturan peralihan yang ditetapkan,’’ jelas Aksar saat diskusi #forumwiken dengan tema “Kesiapan Pemilukada di NTB”, di kantor P2HPSD Universitas Mataran akhir pekan lalu.
Dalam peraturan KPU dijelaskan, masa tahapan Pemilukada 180 hari, yang terbagi dalam berbagai tahapan. Dimulai dari pembentukan Panitia Pemilu Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Proses pencalonan akan dimulai sejak 4 Desember dengan penyerahan dukungan dari calon perseorangan. Kemudian akan diverifikasi factual mengenai dukungan berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diserahkan pasangan calon. Jumlah dukungan yang harus dikumpulkan pasangan calon perorangan 271 ribu lebih atau lima persen dari total jumlah penduduk. ‘’Kami siap menunggu pasangan perorangan seperti Ranggalawe yang sudah deklarasi, kami siap verifikasi,’’ jelasnya.
Sedangkan, pendaftaran pasangan dari parpol, gabungan parpol maupun perseorangan akan dilakukan 5-11 Februari. Dan tahapan selanjutnya yang akan dilakukan adalah tahapan pemutakhiran data pemilih yang sudah diproses sejak penerimaan daftar penduduk potensial pemilih (DP4) yang diterima dari Pemprov NTB, Oktober lalu.
Dari sisi kesiapan anggaran, KPU memperkirakan, jumlah anggaran yang akan digunakan menggelar pesta demokrasi ini untuk dua kali putaran, sekitar 160 Miliar. Namun, setelah dilakukan berbagai rasionalisasi, serta sharing anggaran dengan Kota Bima dan Lombok Timur yang juga akan menggelar pemilihan kepala daerah, maka Pemprov diasumsikan harus menyiapkan Rp 130 Miliar.
Aksor mengakui, biaya pemilukada kali ini cukup besar, hampir dua kali lipat dari Pilgub sebelumnya yang hanya Rp 68 Miliar untuk dua putaran. Dan dalam prakteknya, anggaran yang tidak terpakai Rp 16 Miliar karena digelar satu kali putaran dan berbagai upaya penghematan lainnya.
Sebagian besar biaya Pemilukada ini digunakan untuk keperluan badan penyelenggara dan kebutuhan logistik. Jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang akan didirikan 9427 ini dengan jumlah pemilih rata-rata 500 orang. Setiap TPS ada sembilan petugas yang terdiri dari KPPS dan Linmas. Honor Ketua KPPS 300 ribu, sedangkan anggota KPPS dan Linmas Rp 250 ribu. Termasuk juga biaya untuk pemutakhiran data pemilih pada 9427 TPS yang dengan biaya Rp 200 ribu per selama dua bulan. Demikian juga honor untuk 116 PPK sebesar Rp 1 juta per bulan untuk ketua, demikian juga untuk anggota dan sekretaris yang selisihnya hanya ratusan ribu.
Jumlah PPS juga membengkak hingga 1.135 unit seiring dengan pemekaran desa yang dilakukan Pemda Kabupaten/Kota, seperti Lombok Timur yang jumlah desa dua kali lipat dari Pilgub sebelumnya, sehingga total desa saat ini 254 desa. ‘’Logistik dan biaya penyelenggaraan ini paling besar, hampir 80 persen dari biaya yang ada,’’ jelasnya.
Untuk biaya logistik, beberapa komponen yang menghabiskan dana besar diantaranya kertas suara, formulir perhitungan suara, serta daftar pemilih tetap yang harus disebar ke seluruh TPS, termasuk biaya distribusi.
Sedangkan untuk kotak suara dan bilik coblos tidak diadakan, tetapi menggunakan loistik yang sudah ada, tetapi beberapa keperluan seperti gembok, segel, mur, dan tinta harus diadakan. Termasuk biaya-biaya bimbingan teknis kepada seluruh petugas penyelenggara. ‘’Kalau ditanya kesiapan KPU, kami sangat siap,’’ tegas mantan Ketua GP Ansor NTB ini.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2013 sedang dibahas di gedung DPRD NTB. Tahap yang sedang dilakukan adalah pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) tahun anggaran 2013 antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB. Rencananya, penetapan APBD 2013 akan dilakukan pertengan Desember.


Banyak Fenomena Aneh, Antisipasi Penundaan PemilukadaPerang baliho pasangan calon, maupun perang dukungan di media massa masih belum mewarnai Pemilukada NTB yang tahapannya sudah dilaunching KPU NTB. Kondisi ini menjadi salah satu fenomena tersendiri jelang pesta demokrasi lima tahunan di NTB.
TERHITUNG 180 hari tahapan Pemilukada Gubernur NTB, hiruk pikuk politik belum menunjukkan tanda-tanda yang signifikan. Belum ada satupun paket pasangan calon yang sudah mendeklarasikan diri dari unsur partai politik, hanya pasangan Lalu Ranggalawe-HA Muchlis yang akan maju melalui jalur perseorangan yang sudah mengumumkan diri ke publik.
Kondisi ini berbeda dibandingkan Pemilukada sebelumnya, jauh hari sebelum tahapan Pemilukada di-launching, paket pasangan calon sudah deklarasi, bahkan sudah mulai melakukan safara politik dengan pasangan masing-masing.

Pengamat politik IAIN Mataram Dr Kadri menyebut ada berbagai fenomena aneh yang terjadi jelang Pemilukada NTB, termasuk soal belum adanya paket pasangan calon dari parpol yang sudah mendeklarasikan diri serta parpol yang berkoalisi. Parpol baru sebatas mendeklarasikan calon Gubernur maupun Wakil Gubernur.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang biasanya menjadi salah satu parpol kerap melakukan maneuver cerdas juga terlihat gamang. Ketua DPW PKS NTB Suryadi Jaya Purnama yang dideklarasikan sebagai Calon Gubernur, tetapi masih membuka opsi untuk menjadi kandidat Calon Wakil Gubernur, sehingga melakukan deklarasi Cagub dengan catatan. ‘’Kalau ada yang lamar menjadi Wagub, PKS akan usung Cawagub, bukan Cagub. Ini aneh juga,’’ tandasnya.
Partai Golkar yang tercatat sebagai satu-satunya parpol memenuhi syarat untuk mengusung calon tanpa perlu berkoalisi, yakni dengan 10 kursi di legislative juga menunjukkan sikap-sikap yang dianggap aneh oleh Kadri. Partai berlambang pohon beringin ini dianggap masih belum jelas arah dukungan, apakah akan mengusung Cagub, Cawagub atau mengusung paket Cagub/Cawagub tanpa berkoalisi. ‘’Kondisi ini tidak bisa tidak, publik akan menarik garis linear. Ada pesan mengenai kegalauan pimpinan Golkar di NTB. Kader Golkar juga terlihat tidak percaya diri dengan sikap pemimpin mereka yang belum jelas,’’ terangnya. ‘’Ormas Yatofa yang bukan parpol justru lebih dahulu deklarasi dibandingkan Golkar,‘’ tambahnya.
Ada juga figur yang hanya ingin menjadi orang kedua, lanjut Kadri, seperti Ali Achmad, dan secara jelas dikampanyekan melalui media massa maupun baliho-baliho yang dipasang di banyak titik. Dikatakan, ada dua kemungkinan, yakni sudah mengukur diri, sehingga belum siap menjadi Gubernur. Kedua, ada “orang kuat” yang dilirik banyak orang dan berharap untuk dilamar.
Bagi Kadri, berbagai fenomena politik aneh ini, justru mengaburkan peta rivalitas antar figur maupun parpol. Idealnya, untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat, parpol seharusnya sejak awal harus memberikan pilihan kepada public dengan memperkenalkan kandidat pasangan calon. Sehingga, ada ruang yang lebih luas dan waktu panjang untuk melakukan koreksi maupun pertimbangan, sebelum memberikan pilihan.
Minimnya rivalitas ini kemudian bermuara pada adanya fakta, adanya asumsi publik mengenai keberadaan figur yang memiliki elektabilitas tinggi, yakni figur petahan, Tuan Guru Bajang Dr TGH M Zainul Majdi. Salah satu pertimbangannya, pada Pilgub 2008, disaat TGB menantang HL Serinata yang notabene merupakan petahana, justru mampu dikalahkan dalam satu putaran. Apalagi saat ini, TGB berstatus sebagai petahana, sehingga diasumsikan akan menang besar. ‘’Ini yang buat kegairahan politik minim. Apalagi kandidat yang ditawarkan juga tidak memiliki daya tarik lebih dibandingkan figur petahana,’’ bebernya.
Menurut Kadri, berbagai keanehan politik ini, disertai dengan gairah politik yang rendah, membuat kesiapan KPU NTB menjadi tidak bermakna. Khususnya jika diukur dari tingkat partisipasi parpol maupun masyarakat yang belum menunjukkan hal ideal. Kondisi ini menimbulkan pesimisme, Pemilukada Gubernur NTB 2013 akan menampilkan kontestasi tertinggi di level provinsi yang ideal. ‘’Sampai hari ini belum ada yang jelas. Ketidakjelasan kandiat ini akan pengaruhi partisipasi masyarakat dalam Pemilukada,’’ ungkapnya.
Disisi lain, kata Kadri, akan ada peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menggagalkan dengan menunda Pemilukada. Di beberapa daerah pernah terjadi kasus serupa, ketika hanya ada satu kandidat yang muncul. Kejadian ini bisa saja terjadi, dengan harapan, akan ada paket UU Politik yang baru. Kondisi ini, tentu akan menciderai hak politik rakyat untuk menentukan pemimpin. Serta hanya akan menghamburkan anggaran daerah tanpa hasil. ‘’Semua pihak harus memiliki siasat, jangan sampai permainan kotor untuk mengagalkan Pemilukada ini sukses dilakukan pihak-pihak tertentu,’’ pungkasnya.

Disisi lain, kondisi politik yang masih adem ayem ini, berdampak pada bisnis percetakan dan advertising. Biasanya, setiap jelang momentum politik akan menjadi momentum yang sangat menguntungkan bagi perusahaan percetakan dan advertising. Namun hingga saat ini, pesanan bahan publikasi para calon masih dalam tahap wajar, belum ada peningkatan signifikan, bahkan tidak sedikit perusahaan yang sepi order.
‘’Ada teman saya, sudah siap-siap dengan membeli mesin besar. Tapi sekarang bertanya sendiri, kok belum ada yang mencetak bahan publikasi,’’ tutur Shafwan, penggiat sosial asal Kota Mataram yang ikut dalam diskusi #forumwiken ini.







Zaini Arony Dianggap Layak Tantang TGBSuasana politik yang beda dibandingkan Pemilukada Gubernur 2008 dengan Pemilukada Gubernur 2013 juga terkait dengan tokoh-tokoh yang bertarung. Hampir semua tokoh pada Pilgub 2008 memiliki “nilai jual” yang cukup dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbeda dengan Pemilukada saat ini yang relative lebih miskin kandidat yang muncul.
SEKRETARIS P2PHSD Universitas Mataram Lalu Saipuddien mengakui, kandidat petahana masih memiliki kualitas yang lebih dibandingkan kandidat lainnya. Sehingga kandidat lain berfikir ulang untuk maju sebagai penantang. Namun, sebagai politisi dengan mesin politik yang ada, tokoh-tokoh politik di NTB seharusnya lebih berani tampil. Seperti Partai Golkar yang merupakan satu-satunya partai yang layak mengusung calon tanpa berkoalisi. ‘’Saya rasa, Bapak Doktor Zaini Arony layak untuk menjadi penatang TGB. Kesmepatan ini tidak boleh disia-siakan untuk segera mendeklarasikan diri sebagai kandidat calon gubernur,’’ jelas pengamat kebijakan publik ini.
Rentang waktu jelang pencoblosan sudah tidak jauh lagi, namun belum ada calon yang secara jantan dan berani muncul sebagai kandidat paket pemimpin. Sehingga, apa yang menjadi sikap Lalu Ranggalawe dengan HA Muchlis yang telah mendeklarasikan diri sebagai kandidat Cagub/Cawagub harus diapresiasi, setidaknya dari keberanian mencalonkan diri. ‘’Seharusnya parpol lebih berani lagi, ini silent semua. Jangan sampai berhitung dengan jari dengan pilihan, maju atau tidak maju. Nanti ujung-ujungnya tidak maju,’’ terangnya.
Lain lagi dengan pandangan Akademisi Unram Dr Lalu Wira Pria Suhartana terkait antusiasme dalam Pemilukada kali ini yang dianggap kurang agresif. Diindikasikan, kurangnya sambutan yang antusasi dari public ini juga terkait dengan comparative advantage dari kandidat penantang petahana yang muncul dianggap tidak begitu menonjol. Seperti KH Zulkifli Muhadli yang juga Bupati Sumbawa Barat, Ketua DPW PKS NTB Suryadi Jaya Purnama, maupun Lalu Ranggalawe. Ketika dibandingkan dengan petahana, dari sisi personal maupun prestasi, tidak ada yang dianggap menonjol. Secara leadership, kompetensi, akseptabilitas, dan kapabilitas dari kandidat penantang belum dilihat, visi misi dari penantang juga belum ada yang menunjukkan ke publi, sehingga masyarakat sanksi untuk memilih kandidat penantang petahana. ‘’Kiyai Zul misalnya, kalau dari track recordnya sebagai Bupati Sumbawa Barat, hasilnya datar-datar saja. Begitu juga dengan Zaini Arony. Apalagi suryadi yang belum dilihat prestasinya,’’ tegas Wira.
Tokoh muda Lombok Utara Dedy Mujaddid berharap, pemilihan Gubernur NTB merupakan hal penting secara nasional, seperti halnya pemilihan Gubernur Bank Indonesia, Gubernur Lemhanas, Gubernur PTIK maupun Gubernur Jakarta yang selalu menyedot perhatian publik.
Bagi Dedy, Pilgub DKI Jakarta yang baru saja berakhir telah menghasilkan Syndrome Jokowi Efek yang menjadi stimulant bagi daerah lain yang menggelar Pemilukada. Apa yang disaksikan di DKI dinilai sebagai best practice yang bisa ditiru di banyak daerah. ‘’Pilkada Gubernur NTB mesti ada peningkatan fase, bukan level pewacanaan saja. Bagaimana masyarakat merasa bagian dari pesta demokrasi yang ada, sehingga memberikan sisi edukatif yang positif,’’ jelas mantan aktifis mahasiswa ini.
Dedy juga memberikan pandangan mengenai kemunculan kandidat calon perseorangan, khususnya Lalu Ranggalawe. Yakni sosok Ranggalwe yang memperjuangkan jalur perseorangan 2008 lalu, tetapi belum sempat memetik hasilnya. Sehingga melalui momentum kali ini, diharapkan bisa menikmati apa yang diperjuangkan, setidaknya tercatat sebagai calon perseorangan. ‘’Selama ini kita tidak pernah berikan apresiasi, apa yang dilakukan menuntut jalur independen ini berhasil tercatat dalam lembaran Negara. Dan pasangan SMS di Lobar tercatat sebagai pasangan calon pertama yang maju dari jalur perseorangan,’’ pungkasnya.

Dorong Partisipasi Pemilih, KPU Tantang PTTingkat partisipasi pemilih menjadi salah satu tantangan bagi KPU NTB dalam pelaksanaan Pemilukada 2013. Pada Pemilukada 2008, tingkat partisipasi pemilih cukup tinggi, yakni diatas 80 persen di semua kabupaten/kota kecuali Kota Mataram.
PERSOALAN partisipasi pemilih yang minim ini juga menjadi salah satu kritik dalam pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta belum lama ini. Sehingga harus mendapatlan perhatian serius dari KPU NTB. ‘’Ini bentuk kegagalan negara mendorong publik untuk menggunakan hak pilihnya. Ini harus jadi catatan pemda dan penyelenggara,’’ jelas Kepala Perwakilan Ombudsmen Adhar Hakim saat mengikuti diskusi #forumwiken akhir pekan lalu.
Peran Negara melalui KPU dalam melakukan sosialisasi mendorong masyatakat menggunakan hak pilih harus dioptimalkan. Belajar dari Pemilukada DKI Jakarta, lanjut Adhar, sosialisasi Pemilukada lebih massive dilakukan kandidat yang bertarung, meskipun sosialisasi dilakukan sebagai upaya dan strategi politik. Sehingga apa yang terjadi di Jakarta tentu tidak boleh terulang di NTB. Pihak KPU harus membuat trobosan dalam menggenjot partisipasi pemilih, seperti dengan trobosan sosialisasi dan dengan bahan-bahan publikasi yang lebih dekat dengan masyarakat bawah, maupun dengan mengarahkap pada pemilih pemula.
DKI Jakarta yang merupakan barometer nasional, terbilang sukses menggelar Pemilukada damai, namun hal fundamental lain, sepert I tingkat partisipasi ini terlupakan. Bagaimana kebesaran hati para kandidat yang kalah dan menang patut dicontoh di NTB. ‘’Partisipasi pemilih diatas 80, tradisi itu harus mampu pertahankan. Mudahan bisa meningkat jadi 90 persen,’’ terangnya.

Atas kritik terhadap KPU NTB ini, Anggota KPU NTB Lalu Aksar Anshari menegaskan bahwa, KPU sudah memiliki sejumlah program yang sudah berjalan sejak lama, salah satunya untuk mendorong partisipasi pemilih pemula. KPU bermintra dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga NTB serta dengan Bupati/Wali Kota seluruh NTB.
‘’Update pemilih berbasis pemilih pemula ini juga dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga data yang dihasilkan KPU juga tidak hanya untuk KPU sendiri, tetapi juga membantu data kependudukan,’’ bebernya.
Kata Aksar, KPU juga akan menyerahkan data penduduk yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan. Ini diperoleh dari pembaruan data yang dilakukan KPU.
Mengenai sosiaslisasi, proses mendorong partisipasi pemilih tidak hanya dilakukan melalui media massa, tetapi juga dilakukan penyelenggara hingga tingkat PPKPPS. Dan Pemda biasanya memiliki desk Pemilu untuk membantu KPY dan ada juga program yang dilakukan instansi terkait. ‘’Kami sebagai penyelenggara, sering diundang sebagai pemateri, makanya kami tahu adanya program yang dilakukan Pemda,’’ terang mantan Ketua GP Ansor NTB ini.
Aksar mengajak semua pihak untuk ikut serta mensukseskan Pemilukada 2013 ini. Banyak hal yang bisa diperankan, seperti adanya debat kandidat yang digelar di Kampus Universitas Indonesia saat Pemilukada DKI Jakarta. Ada juga yang digelr NGO. ‘’Kampus bisa gelar dan tidak alergi dengan diadakannya debat. Ini ajakan, sebab tidak semua bisa digarap KPU,’’ paparnya.

Sementara itu, pengamat politik IAIN MAtaram Dr Kadri menerangkan bahwa, peraturangan yang ada di NTB belum menunjukkan pada sisi-sisi yang bersifat subtantif. Seharusnya, apa yang dipertunjukkan dalam peratarungan antara Obama-Romney saat pemilihan Presiden Amerika Serikat bisa ditiru. Pertarungan yang digencarkan adalah adu program. ‘’Tetapi, kandidat yang sudah muncul, baru sebatas memunculkan diri, belum memberikan penjelasan mengenai program yang akan dilakukan,’’ tandasnya.(*)



Friday, 30 September 2016

POTRET BURAM PELAYANAN KESEHATAN (2012)

Suhaimi SH
KELUHAN mengenai buruknya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diwajibkan kepada pemerintah. Menjadi salah satu persoalan publik yang nyaris tidak ada akhirnya.
Salah satu tugas negara adalah memenuhi hak-hak dasar warga negara. Hal ini sudah jelas diatur dalam konstitusi, maupun peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Implementasi dari peran negara kepada warga negara ini, salah satunya dalam bentuk penyediaan pelayanan publik. Soal ketersediaan, keterjangkauan, kebersesuaian, dan keberterimaan atas pelayanan yang diberikan negara/pemerintah, menjadi pokok-pokok yang harus dipenuhi. Sehingga, pelayanan yang diberikan sesuai standar minimal yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu bentuk pelayanan publik yang kerap menjadi sorotan adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Cerita mengenai warga miskin yang tidak mendapatkan pelayanan yang optimal, maupun warga miskin yang tidak memperoleh jaminan kesehatan dari negara, menjadi ironi yang kerap terjadi.


Sekjen Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Lombok Barat Suhaimi yang konsen mengawal optimalisasi pelayanan publik berpandangan bahwa, rezim pelayanan kesehatan yang dijalankan di Indonesia, pemberian layanan dibedakan dari kontribusi yang diberikan.
Seharusnya, kata Suhaimi, pelayanan kesehatan ini seperti manajeman Masjid, yakni kontribusi dibedakan, tetapi layanan untuk semua. Sehingga, tidak ada lagi pasien yang justru mendapatkan penyakit lain, ketika dirawat diruang kelas III. Pemerintah selalu saja memberikan pelayanan yang cenderung diskriminatif, jika untuk warga miskin, maka kelas pelayanan adalah ruang perawatan berbasis massa alias ruang kelas III. ‘’Kalau dengan sistem pelayanan kesehatan hari ini. Pesannya, orang miskin tidak pantas diperlakukan baik. Saya harus bilang, negara dengan sengaja mendesainnya,’’ terangnya. ‘’Kalau ada orang miskin ke rumah sakit, kalau ruangan kelas III sudah habis, ya dirawat di teras. Jika melihat potret ruang perawatan kelas III, agak susah pasien akan sehat,’’ tambahnya.
Suhaimi juga kemudian menuturkan mengenai rilis dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI, pernah merilis jumlah orang kaya, yang tidak dibebankan membayar pajak. Sebab, dalam sistem di Indonesia, wajib pajak adalah perusahaan, atau pajak bagi profesi tertentu. ‘’Aburizal Bakrie sebagai pemilik perusahaan Bakrie Grup tidak dipajakin, perusahaannya yang bayar pajak. Bakrie juga tidak menerima gaji yang akan dipotong pajaknya oleh pemerintah,’’ tuturnya. ‘’Ini memang ada desain yang seperti itu,’’ tambahnya.
Kat Suhaimi, sifat dasar dari otak pemberi layanan publik, adalah otak feodal, sehingga kita akan selalu menemukan layanan yang tidak optimal.

Soal layanan yang tidak optimal dari tenaga kesehatan ini juga dibenarkan Direktur Samanta Dwi Sudarsono. Sehingga, diusulkan agar pembentukan watak pemberi layanan kesehatan dibentuk sejak bangku sekolah. Agar watak pemberi layanan ini tidak lagi feodal. ‘’Ini dari aspek pendidikan untuk tenaga pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya. ‘’Tapi bisa juga, ada yang pengembangan watak di sekolahnya bagus. Tetapi justru rusak ketika ada di lingkungan sarana kesehatan,’’ tandasnya.
Selain itu, tidak dibangun sistem komplain dalam pelayanan kesehatan. Sehingga, selama ini banyak pasien atau keluarga pasien yang tidak tahu harus komplain kemana mengenai buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan. Sehingga diperlukan regulasi khusus untuk mengatur standar pelayanan tersebut.
Dwi juga menyinggung soal komitmen pemerintah dalam memberikan sokongan dana, kepada lembaga pelayanan kesehatan di daerah. Selama ini, kerap kita menemukan fakta, adanya komplain dari RSUD yang klaimnya tidak dibayar pemerintah.

Tidak Miliki SPM, Kejar Setoran PADTerbitnya Undang-Undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik, seharusnya menjadi momentum perbaikan berbagai jenis pelayanan publik yang wajib diberikan negara kepada warga negara. namun, potretnya, hingga saat ini, sektor pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan masih saja tetap buram.
LEMBAGA pelayanan kesehatan, merupakan lembaga publik masuk dalam kategori tempat vital, yang wajib dilindungi negara. Bahkan, jelas disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, bahwa tidak diperkanankan untuk berunjukrasa di depan depan lembaga kesehatan, seperti Puskesmas dan RSUD. Sehingga, memprotes kebijakan atapun buruknya pelayanan kesehatan, tidak bisa dilakukan dengan cara berunjuk rasa.

Hal ini diungkapkan Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif Husain mengenai posisi lembaga kesehatan sebagai sarana vital yang dilindungi negara. Penyampaian aspirasi secara terbuka, juga tidak diperkenankan. Sehingga, diperlukan cara dan metode khusus dalam penyampaian komplain terhadap pelayanan lembaga kesehatan.
Keberadaan kotak saran, lanjutnya, tidak efektif, sebab tidak semua orang bisa menyampaikan pendapat melalui tulisan. Dan tidak ada kepastian, apakah komplain yang disampaikan dibaca pihak pengelola, sehingga kotak saran, seringkali hanya sekedar sarana pelengkap agar bisa disebutkan di pelaporan.
Terkait itu, diperlukan upaya dan komitmen yang tinggi dari pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan seperti RSU dan Puskesmas/Poskesdes/Polindes, maupun lembaga pelayanan kesehatan lainnya untuk melakukan upaya-upaya pembenahan. ‘’Jika polri saja, telah memiliki quick wins sebagai SOP layanan, kenapa lembaga kesehatan tidak memiliki itu,’’ tandasnya.
Tidak hanya itu, ironisnya, pelayanan buruk yang diberikan lembaga pelayanan kesehatan pemerintah, justru juga dijadikan sebagai lembaga pengeruk duit dengan alasan pendapatan asli daerah (PAD). Bahkan, di sejumlah kabupaten/kota, target PAD di lembaga kesehatan, dipampang jelas di jendela/loket pelayanan.

Selama ini, kata Sekjen JMS Lobar Suhaimi, belum ada satupun lembaga kesehatan milik pemerintah yang telah memiliki standar pelayanan minimal (SPM). Padahal, dalam Undang-Undang 25/2009 tentang pelayanan publik, jelas diatur mengenai kewajiban lemabaga publik memiliki SPM.
Namun, selam aini, hal yang menjadi alasan, sehingga SPM ini tidak pernah dibuat, terkait dengan dua peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut UU pelayanan publik ini, yang masih tersandera di pusat. ‘’Pemda ramai-ramai beralasan, tidak berani menyusun SPM, sebelum ada PP. jawabannya, selalu menunggu PP,’’ tandas pria yang juga Direktur Lembaga Studi Bantuan Hukum (LSBH) NTB ini.

Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengembangan Sumberdaya (P2PHSD) Universitas Mataram Lalu Saipuddien menegaskan, Pemda tidak seharusnya menunggu terbitnya PP, baru membuat SPM. Sebab, klausul soal SPM ini, sudah tertuang di dalam UU Pelayanan Publik. Kedepan, jika PP tersebut sudah, terbit, bisa disesuaikan. ‘’Pemda maupun pengelola lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Tidak boleh berasalan tunggu PP. ini menyangkut nyawa orang banyak,’’ tandasnya.
Terkait itu, lanjut pria yang akrab disapa Gayep ini, harus ada gerakan publik, untuk mendorong penetapan SPM di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Sejak diundangkan UU Pelayanan Publik, sudah berlaku kewajiban adanya SPM. ‘’Warga juga bisa mendorong agar penyelenggara pelayanan kesehatan membuat maklumat pelayanan publik. Yakni janji penyelenggara untuk menerapkan SPM dalam pelayanan kesehatan,’’ tandasnya.

Ombudsman Diminta Pro Aktif, Usulkan Insentif SenyumDiperlukan komitmen, keberanian dan keberpihakan yang kuat terhadap masyarakat, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan di NTB. Jika tidak, maka pelayanan yang baik hanya akan menjadi utopia semata.

PENELITI Hukum dan Kebijakan Publik Pusat Penelitian Hukum dan Pengmbangan Sumber Daya (P2HPSD) Universitas Mataram Lalu Saepuddin menegaskan, semua pihak harus bisa berperan aktif dalam mendorong upaya perbaikan pelayanan publik, khususnya sektor kesehatan yang kerap dikeluhkan masyarakat.
Salah satu lembaga yang juga diminta ikut berperan aktif dalam mendorong pembenahan pelayanan publik, khususnya dibidang kesehatan ini adalah Ombudsman perwakilan NTB. Sebab, Ombudsman tidak hanya bertugas melakukan pengawasan, tetapi harus ikut serta mendorong penylenggaraan pelayanan publik dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan. ‘’Ombudsman tidak hanya menerima koplain soal maladministrasi. Tetapi bisa ikut dalam proses pembentukan SPM, sampai pembentukan posko pengaduan,’’ tandasnya.
Salah satu langkah yang harus dilakukan Pemda untuk membenahi pelayanan publik, adalah dengan membentuk posko pengaduan, yang disertai dengan sistem informasi yang jelas. Posko ini merupakan unit khusus yang melayani soal pengaduan, termasuk mengenai informasi pelayanan, harga obat-obatan dan lainnya. Dan ketika ada persoalan, posko inilah sebagai tempat masyarakat mengadu. ‘’Saat ini, dalam prakteknya, ruang pengaduan publik nyaris tidak ada, tidak ada kanal yang disiapkan khusus penyelenggaran pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya.
Upaya kongkrit perbaikan pelayanan publik dibidang kesehatan ini juga sudah dilakukan, JSM Lobar. Salah satunya dengam membentuk posko-posko pengaduan di level warga. Termasuk membuat maklumat pelayanan publik antara penyelenggara dengan penerima pelayanan.
Dalam SPM ini, harus diatur secara detail mengenai pelayanan yang harus diselenggarakan. Termasuk soal senyum bagi petugas kesehatan, baik tenaga medis maupun paramedis. Dan di level internal lembaga pelayanan publik, juga bisa dibuat sejenis award khusus, bagi karyawan teladan, misalnya karyawan paling ramah, paling rajin, responsif dan lainnya. Hal ini bisa dievaluasi per bulan. ‘’Bila perlu, ada insentif khusus bagi petugas kesehatan yang selalu melayani dengan senyum. Dan sebaliknya, ada punishment bagi yang tidak tersenyum,’’ tegasnya.
Pihak Kepolisian, khususnya Polda NTB, sudah membuat tagline pelayanan, yakni awali dengan senyum. Seharusnya, hal ini juga bisa dipraktekkan di lembaga pelayanan kesehatan milik pemerintah. Fenomena hari ini, banyak perawat yang justru mengganti infus, sembari menelpon.
Hal-hal detail, seperti adanya larangan rapat disaat jam pelayanan juga harus diberlakukan, termasuk juga larangan menghadiri kegiatan seremonial, seperti perayaan perkawainan dan lainnya. Sebab, hal ini bisa mengganggu pelayanan publik. ‘’Pemda harus berani membuat maklumat pelayanan publik, menyusun SPM dalam upaya peningkatan kualitas layanan,’’ terangnya.
Selama ini, lanjut Suhaimi, kelompok-kelompok terorganisir, abai dalam persoalan ini. Padahal, buruknya pelayanan kesehatan, di banyak lembaga penyelenggara pelayanan kesehatan, sangat nyata dirasakan masyarakat.
Buruknya pelayanan publik bidang kesehatan ini, merupakan wujud nyata dari impreliasme dan feodalisme, sehingga harus dilenyapkan. ‘’Kontrol kualitas pelayanan, bisa dilakukan semua orang, kelompok terganisir bisa melakukan presure,’’ tegasnya. ‘’Hal ini bisa dilakukan tidak dengan LSM dengan mengajukan proposal, tetapi bisa dilakukan semua pihak, termasuk ormas-ormas besar yang ada di tengah masyarakat,’’ jelasnya.
Upaya peningkatan pelayanan publik ini, sudah dimulai Pemprov NTB. Salah satunya dengan adanya komitmen pembentukan posko pengaduan pelayanan publik, bersamaan dengan launching Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi, saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi NTB yang ke 54 lalu, oleh Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi. Sehingga, masyarakat NTB yang tidak merasa tidak mendapatkan pelayanan publik yang baik, bisa mengadu ke desk dan posko tersebut.(*)

Thursday, 29 September 2016

PENERTIBAN TRAWANGAN DIBONCENGI KEPENTINGAN MODAL (2011)

ILUSTRASI wisatawan yang sedang berlibur di Gili Trawangan. kawasan ini kian ramai dan menjadi rebutan para investor.
Keputusan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) NTB membentuk tim penertiban Gili Indah yang diberi label Tertib Gili Gatarin 2011 mengejutkan banyak pihak, apalagi setelah aparat masuk ke Gili lengkap dengan peralatan dan senjata seperti perlengkapan perang. Kalangan gerakan civil society di NTB tidak tinggal diam, langkah pemerintah daerah dan aparatus kemanan negara dianggap telah diboncengi kepentingan modal.
Adanya kepentingan modal yang memboncengi penertiba Gili ini bukan hal yang mengada-ada, tapi didasari indikasi dan fakta yang ada di lapangan.  Sikap ngotot TNI/Polri yang tetap ingin berada di Gili Trawangan dengan jumlah besar dan peralatan lengkap menjadi kecurigaan yang mendasar.
Jika hanya ingin memerangi narkotika, miras dan preman, tentu saja aparat kemanan tidak memerlukan pasukan bersenjata lengkap dengan tameng seperti layaknya pasukan huru-hara.
Sebelum operasi dimulai, Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wacyunadi menegakaskan, tim penertiban akan mengedepankan pendekatan premtif dan prefentif. Untuk memudahkan evaluasi, 90 hari tenggat waktu yang diberikan dilakukan secara bertahap per 10 hari.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram, Lalu Saepuddien menegaskan, logika penanganan prefentif yang dilakukan kepolisian rancu, jika aparat justru datang dengan membawa senjata seperti hendak perang. Seharusnya, aparat sadar dan mengetahui kondisi masyarakat yang traumatik terhadap aparat keamanan, yakni dengan aksi penggusuran yang sudah dilakukan tiga kali sejak masyarakat mendiami Gili Trawangan.
‘’Tahun 1993 tentara lengkap dengan senjata bentrok dengan warga, jelas trauma masyarakat masih ada dan harus dipahami. Kita setuju usaha pro yustisia tapi tentu harus dilakukan dengan bijak. Jika aparat masuk dengan membabi buta, kita tentu bertanya, ada apa dibalik itu?,’’ papar mantan aktifis FKMM ini saat diskusi #forumwiken di Lombok Timur Center, awal Agustus 2011.
Selain itu, ada juga fakta yang mengejutkan yang dibeberkan peserta diskusi, gabungan pengusaha diindikasikan tengah bersiap melakukan investasi di Gili Trawangan jika penertiban sukses. Di salah satu titik di pesisir Lombok Utara telah ditempatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pagar beton Willcon. Pagar-pagar beton ini akan digunakan untuk mengelilingi areal milik PT WAH dan PT GTI dengan luas 100 hektar lebih, jika aparat telah berhasil menggusur warga. Pagar beton ini sengaja ditempatkan jauh dari akses menuju Gili Indah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan yang paling mengejutkan, investor yang akan menguasai Gili ini memiliki hubungan bahkan menjadi bagian dari salah satu partai politik besar di NTB.

Soal traumatik masyarakat ini juga diakui Dosen Fakultas Hukum Unram Widodo Dwi Putro yang telah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat Gili. Adanya traumatik ini bisa dideteksi dengan adanya nama-nama warga yang disematkan orang tua mereka untuk mengingat peristiwa penggusuran dekade 1990an, seperti Sensowati, Gusuruddin dan lainnya. Setidaknya sudah ada tiga kali aksi penggusuran warga di Gili Trawangan dan melibatkan aparat kemananan dan pemerintah daerah, dan saat ini diindikaskan akan terjadi penggusuran jilid keempat.
Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi, lanjut Widodo, dikenal memiliki program 3A (Absano,Adono,dan Akino). Dan sering diplesetkan dengan Apeno? Yang dalam keseharian masyarakat sasak adalah tanda tanya apa. ‘’Tapi sekarang apakah Gubernur berani mengatakan dan menambah program menjadi 4A, Apeno dijadikan Angka penggusuran nol,’’ tandasnya.
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB, dan di Gili Trawangan TGB juga menang, begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan perubahan, mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini.
Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberika analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi, jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin.
Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya?. ‘’Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah, ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekrang Gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya.
Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. bahkan widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995. ‘’ Tentara dan polisi dalam jumlah besar masuk ke Gili, bahkan ada polisi lalu lintas yang juga ikut menggusur, ceritanya polisi lalu lintas ini tidak sempat berganti baju saat diperintahkan ikut masuk ke Gili. Kebetulan saya di Gili waktu itu, saya lari mendengar gemuruh yang begitu besar dan lari ke tengah pulau. Saya pikir ada tsunami, keesokan harinya, saya melihat tumpukan seng dan kayu dalam jumlah besar di pinggir pantai,’’ tuturnya mengenang.

Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’I melihat bahwa apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat dan pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut, kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di tanjah-anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegas Rifai dalam diskusi #forumwiken yang berlangsung hingga larut malam ini.

Hal senada juga diungkapkan Ridho, Ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi massal dan gratis) yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional hadir dengan sokonga World Bank, begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.
Dalam konsep pembangunan apapun, modal memainkan peran vital. Dan yang menjadi persoalan saat pemerintah terlibat dan dikeruhkan oknum. Ketika pemerntah tidak objektif dalam menangani persoalan, maka akan menimbulkan bencana bagi masyarakat. Investor datang ke NTB khususnya ke Lombok bukan karena pemerintah, tapi investor melihat pulau Lombok yag seksi dan alam yang indah. ‘’Persoalan ada, ketika sudah mulai gunakan instrumen institusi. Persoalan datang ketika negara/pemerintah ambil bagian,’’ jelas Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim. (*)

Wednesday, 28 September 2016

SINERGITAS PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DI NTB

SOAL kesatuan data kerap menjadi soal, dan muncul setiap kali ada pembahasan program pemerintah. Namun selama itu pula tidak pernah ada penanganan serius yang dilakukan. Seharusnya pemerintah memiliki sistem informasi terpadu yang dinamis untuk penyusunan perencanaan dan implementasi program. 
Soal data ini pemerintah pada dasarnya sudah memiliki instrumen yang cukup untuk mengurus segala jenis soal mengenai data dan informasi ini. Tetapi tidak kunjung selesai. Begitu juga soal-soal desa ini sudah ada kelembagaan yang jelas di atas pemerintahan yang mengurusnya. 
Berbagai soal ini didiskusikan dalam #forumwiken yang diselenggarakan Bale ITE Bappeda NTB bekerjasama dengan sejumlah NGO di Lombok Tengah seperti Lesa Demarkasi, Konsorsium LSM Loteng, yang menjalankan program SAPA              (Strategic Alliance for Poverty Allevation).
Ilustrasi pemanfaatan sistem informasi dalam memudahkan berbagai hal.foto by : bimasislam.kemenag.go.id
Kabid Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara yang hadir mewakili Kepala BPMPD NTB, mengakui pentingnya peran sistem informasi desa ntuk perencanaan pembangunan, terutama meningkatkan pelayanan di desa. Hanya saja, belum ada data lengkap yang akurat. Dari sisi regulasi sudah ada Permendagri khusus tentang penyusunan profil desa kelurahan, namun belum optimal. Data yang ada masih sebatas pelayanan penduduk. Padahal, dalam Permendagri juga diatur bagaimana potensi desa juga ada dalam angka. “Biasanya kecamatan menunjuk kalau ada lomba desa. Jadi secara tergesa-gesa data profil itu diisi dan dibuat,” paparnya.
Soal apa upaya BPMPD?. Kata Irman, pihaknya akan bekerjasama dengan Kompak (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan) yang disuport AusAID. Utamanya mengadvokasi pembuatan perencanaan desa berbasis data yang lengkap dan akurat untuk membantu aparatur desa untuk mengelola SID. Kompak bersedia membantu program pemerintah dalam bidang sistem informasi desa,” paparnya.
Kepala BPS NTB Wahyudin juga turut hadir dalam diskusi ini. Dikatakan, BPS melaksanakan pendataan potensi desa, dilaksanakan 3 tahun sekaliterakhir 2015 dan akan dilakukan 2018 nanti. Pendataan ini mirip dengan profil desa. Untuk ketersediaan data ini, Desa sebenarnya memiliki satu arsip kuisioner yang sudah diisi petugas. Sehingga Desa memiliki data lengkap mengenai desa masing-masing. “Banyak visi yang bisa kita dapat dalam potensi desa itu. Mirip dengan profil desa. Itu bisa dipakai oleh teman-teman di desa sebagai data dasar,” paparnya..
Wahyuddin juga memaparkan mengenai bagaimana BPS memproses pendataan kemiskinan. Sejak tahun 2005 BPS melakukan dua model pendataan. Terbaru melakukan pendataan data mikro, dengan adanya profil berdasarkan by name by adresse. Dan setiap tahun diperbaharui. Sejak 2011 pemerintah meminta pendataan 40 persen masyarakat garis ekonomi terbawah. Di NTB, dari dari 1,25 juta rumah tangga, sekitar 802 sudah didata. “Data inilah yang dipakai untuk pembagian raskin dan program perlindungan sosal lainnya,” bebernya.
Dan yang terbaru sudah dilakukan pendataan tahun 2015, dan hasilnya sudah diserahkan ke TNP2K. Berbagai indikator kemiskinan seperti perumahan, mulai dari jenis lantai, atap, sumber air minum, cara memperoleh air minum, penerangan, bahan bakar untuk memasak, sumur, dan sebagainya. Banyak sekali informasi yang bisa dipakai sebagai 
Rujukan. Berapa orang bergerak di sektor peternakan, dan lainnya juga ada,” pungkasnya.
Kabid Sosial Budaya Bappeda Lombok Tengah Lalu Satria Utama juga ikut memberikan pandangannya. Soal data tidak akan ada ujungnyasampai sekarang. Dalam upaya konsolidasi penyusunan SID ini sudah ada upaya kuat di level kabupaten khsususnya di Lombok Tengah, salah satunya dengan suport teman-teman NGO yang tergabung dalam program SAPA sudah menginisasi pendampingan penyusuan SID ini. “Cuma, anaknya punya keinginan, ibunya tidak. Ini masalahnya. Kenapa begitu. Ibaratnya, keinginan baik dari provinsi itu belum ada,” tandasnya.
Pengelolaan data level desa sebenarnya dari awal sudah ada, ada program NGO tetapi keinginan melanjutkan tidak ada. “Soal Kompak belum tau, karena belum masuk, tapi SID ini terasa sekali. Kenapa? Karena kabupaten-kabupaten di luar NTB datang berkunjung. Mereka datang melihat praktik SID. Sudah tiga tahun saya mengusulkan untuk difasilitasi Provinsi terkait SID, tapi tak ada kelanjutan,” jelasnya.
Satria menginginkan adanya satu sistem terkait SID ini, tidak berbeda-beda. Sekarang ada Kompak, ada lagi yang lain, sehingga tidak nyambung. Seharusnya ada roadmap terkait SID ini.
Direktur Lesa Demarkasi Hasan Masat memaparkan, sudah dua tahun Lesa Demarkasi bekerjasama dengan Ford Fondation menjalankan program SID termasuk juga dalam upaya pengentasan kemiskinan. SID ini bukan semata-mata aplikasi. Tapi diharapakan menjadi sistem yang berkembang dari desa,” ungkapnya
Dalam upaya membantu Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TPKD) di Lombok Tengah, ada 70 desa tempat pelaksanaan program.MAsyarakat sangat mengapresiasi program ini, masalah yang dihadapi adalah sarana dan prasarana yang terbatas. Namun dari keterbatasan yang ada muncul inisiatif yang luar biasa. 
desa yang kami bina, sudah muncul inisiatif yang luar biasa. 

Integrasi data dari desa belum punya titik, diharapkan kedepan ada fokus ke masyarakat. Bagaimana sinergitas program. Sebab selama ini data yang ada sering tidak digunakan Bappeda. Mungkin karena kondisi kepentingan politik, bansos, dst. Sehingga SID tidak berintegrasi ke program kebijakan,” bebernya.
Hal lain soal penggunaan anggaran dana desa. Di Lombok Tengah ada 13 kepala desa jadi tersangka kasus korupsiKewenangan BPD yang dipangkas dalam UU Desa juga jadi masalah, sehingga BPD tidak memiliki kewenangan monitoring. Tapi saya senang, masyarakat sudah berinisiatif melaporkan kalau ada masalah,’ ungkapnya

Perbedaan Data Wajar, Sinergitas Diperlukan

Kepala Sub Bidang Pengelolaan Data Bappeda NTB Abel Hatuina memberikan tanggapan atas sejumlah sorotan yang muncul dalam diskusi. Dikatakan, sistem informasi ini pada dasarnya, dasar hukumnya sudah tersirat dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Seluruh perencanaan harus berdasarkan sistem informasi pembangunan daerah. 
“Kalau membahas sistem informasi. Tidak usah bahas perbedaan. Karena memang banyak perbedaan, termasuk soal definisi kemiskinan,” ungkapnya.
Saat pendataan, indikator penting jika ingin membandingkan hal yang satu dengan yang lain. Dalam pendataan, asumsinya dianggap semua sama, padahal kebutuhan berbeda-beda. Hal inilah yang memunculkan ada yang puas dan tidak puas. Jika indikatornya beda, maka data tidak akan bisa dibandingkan.
Yang terjadi selama ini, lanjutnya, setiap lembaga yang membuat sistem informasi, sebab masing-masing ada ego yang kuat. Contohnya di pemerintah pusat. Di level kementerian sudah banyak sistem informasi yang dibuat, masalahnya apakah mau dibuka untuk disharing atau tidak. “Asal mau dibuka sistem dasarnya, kita bisa saling conectHarapannya, Kominfo bisa memfasilitasi ini,” tandasnya.
Abel kemudian memperlihatkan sistem informasi yang sudah dibuat Bappeda NTB, dengan memanfaatkan data dari PPLS. Dilakukan pengolahan lanjutan, sehingga menghasilkan data kemiskinan berbasis spasial. Sehingga per desa bisa dilihat sesuai kategori yang diinginkan, berapa jumlah kepala keluarga erempuan per desa, dan lainnya.
“Kita bermain dengan pengolahan data yang besar. Bagaimana kapasitas penyimpanan kita? Ini baru agregasi, sudah sangat besarYang jadi soal juga bagaimana meng-updatenya data ini,” paparnya.
Sementara itu, peneliti program SAPA Lombok Tengah Tahmayati memeparkan adanya kendala penerapan SID ini di level desa, salah satunya soal belum adanya regulasi yang pasti. Termasuk juga soal sinergitas data dan indikator yang disusun. Dalam penentuan kemiskinan, BPS sudah memiliki indikator, tetapi desa juga ingin adanya indikator lokal juga diakomodir. Sebab, masing-masing desa punya karakteristik kemiskinan yang berbeda. Salah satu indeks yang dibuat SAPA soal kemiskinan juga dikutur dari kurangnya jumlah kali piknik warga. Sehingga indeks kesejahteraan masyarakat masih dianggap kurang. Ada juga versi desa mengusulkan indikator “haji” sebagai salah satu indikator. “Kalau sudah naik haji, ada prestise sosial. Kita mau dorong, beranikah seorang haji mengaku miskin agar dapat raskin,” tandasnya.
Belajar dari pengalaman program, lanjut Rahmayati, dengan SID yang ada, pembuatan surat sangat cepat, tidak sampai lima menit. Dan lebihnya, dia langsung meng-update data kependudukannya. Misalnya urus surat nikah dan pindah, langsung ter-update bahwa dia sudah pindah dari desa itu. Dengan adanya SID ini, maka penurunan kemiskinan juga akan lebih tepat, sebab data yang digunakan lebih akurat.
“Saat ini, provinsi pakai data hasil BPDT, kabupaten dari Dinas Sosial, desa punya data mikronya sendiri, karena mereka punya dana desa untuk dikelola. Bisa tidak data-data ini diintegrasikan?,” ungkapnya.
Peneliti InSkrip NTB Badrun AM juga turut memberikan pandangannya. Dalam melihat data ada dua kaca mata, yakni data sebagai realitas dan data sebagai perspektif. Jenis data pertama ini negara yang melakukan, sebab sensus itu berbiaya mahal dan dilakukan sekali 10 tahun. Adanya SID menawarkan adanya data yang riil time karena terus di-udate. Skema mengintegrasikan SID harus jelas, apakah ditangani Pemda atau pemerintah pusat. “Saya sepakat dengan BPS, kita tak ada masalah dengan data,” bebernya..
Yang sering jadi soal, data sebagai perspektif. Ini tergantung indikator yang dia pakai. Bagi Badrun, kemiskinan bukan semata-mata soal rezim data, tapi soal rezim perencanaan. Desa itu seperti terminal, bak sampah, banyak skema anggaran yang datang ke desa. Ditaruh uang di desa, tapi masyarakat tak pernah berubah. Di mana masalahnya? Menurut saya, ada di system perencanaannya di Bappeda. Tidak pernah sejahtera masyarakat desa,” bebernya.
Penliti Somasi NTB Hendriadi Jamal mengungkapkan, jika merujuk mandate pasal 86 UU Desa sudah jelas. Pemerintah dan Pemda wajib mengengembangkan sistem informasiArtinya, pemerintah harus menyediakan, jadi bukan kewajiban desa, harus digarisbawahi. Kalau menjadi kewajiban, sarana, sumber daya yang ada, harus diperkuat pemerintah kabupaten. 
Kalau tidak, ini akan menimbulkan kemiskinan informasi, yang selanjutnya menimbulkan kemiskinan lainnya,” tegasnyaKita buat sederhana ini persoalan. Kita pakai kearifan lokal. Kita mau pakai berugak, mesjid, kentongan, apa saja, yang penting bisa diakses,” tambahnya.
Direktur Hamzanwadi Institute Dr Salman Faris juga memberikan penegasan. Ada dua prinsip terkait data ini yakni, benar dan nyata. Jika membuka definisi data, akan berbeda. Dan yang jadi masalah di Indonesia ini, datanya benar tapi tak nyata. Ada juga dia nyata tapi tak benar. Ini persoalan kita,” tandasnya.
Ada berbagai soal, ada soal dalam memperoleh data, ada juga soal klasifikasi data. Soal metode bisa tidak diragukan, tetapi seringkali observasi menjadi hal yang terbaikan. Datang langsung ke lokasi. Langsung dapat data. Benar angka kemiskinan kita turun, tapi tak nyata,” bebernya.
Terkait system data, Salman mengapresiasi inisiatif ini. Namun perlu diingat, sistem data ini secara prinsipil adalah digitalisasi dunia. Orang tak perlu lagi keluar rumah, dia sudah punya informasi komprehendif tentang duniaPersoalannya, orang miskin di desa tak tahu soal digitalisasi ini. Sehingga ketika ada program atau proyek korporasi, mereka hanya jadi korban. Oleh karena itu, BPS dan BPMPD tak boleh terpisah dalam membangun paradigm ini. BPS mendigitalisasi dunia, BPMPD bertugas menyiapkan supratstruktur. 
Direktur M16 Bambang Mei Finarwanto mengingatkan, soal data ini dari perspektif intelejen. Dikatakan, dalam setiap hubungan apapun, pasti ada balancetake and giveDalam konteks SID ini, dikhawatirkan semua data tebuka, sehingga betapa mudahnya Indonesia akan dipetakan negara lain. Harus juga dipikirkan data ini bisa dimanfaatkan pihak lain. Sebab, kita tidak bisa mengakses data negara lain. “Dengan keterbukaan ini, saya rasa, perlu dipikirkan savety-nya. Bagaimana nanti kalau terjadi apa-apa? Siapa yang yang melindungi itu,” tambagnya.
Akademisi Unram Lalu Syaifuddin Gayep menegaskan, cara dan mekanisme. Tapi tak memikirkan solal mendasar, keterbukaan informasi ini sebagai ideologisasi. Tidak mengedepankan, bagaimana public supaya mengerti apa pentingnya keterbukaan informasi ini. Ini penting. Jadi tak berhenti pada cara atau alat. 
Aktifis perempuan LARD NTB Mahmudah Kalla menuturkan pengalamannya dalam sensus pertanian. Mungkin ini bisa memberikan factor data-data tersebut. Saya menemukan lagnsung yang diberikan program, kan beda tujuan, ingin mendapatkan data yang akurat. “Tapi teman-teman yang hanya mengejar program uang, dia cepat sekali mendapatkan data. Tidak sama dengan kami,” bebernya.
Kepala BPS NTB Wahyudin menanggapi berbagai paparan yang disampaikan. Disimpulkan, betapa Sistem informasi data itu sangat penting. Bisa untuk eksekusi program. Ini lebih kepada, bagaimana kelanjutan dari pengelolaan sistem ini. Sebab sudah banyak sekali, apakah Sapa, Kompak, membuat hal yang mirip dengan ini. Tapi, begitu Sapa keluar, berhenti program itu. Tidak ada keberlanjutan. 
Tadi disampaikan teman dari Loteng. Data-data yang ada tidak selaras. Kalau kita menganalisis dari data yang ada. Secara NTB, saya belum pernah menemukan data 75% partisipasi Pilkada. Kenapa? Karena yang masuk dalam daftar itu, teman-teman kita di Malaysia masuk di situ. Saya coba kalkulasi, sekitar 20% dari daftar itu ada di luar.
Lalu soal pendataan. Soal pendataan, tidak pernah ada kepala dusun diberikan pencerahan apa yang dimaksud dengan pendataan. Satu kuesioner bisa bermacam-macam interpretasinya. Tapi kita lakukan pelatihan untuk menyamakan persepsi apa yang dimaksud dengan kuesioner itu. Selama lima hari itu. Kita punya system untuk bisa mendapatkan data dengan akurat. 
Lalu soal data dasar. Jadi akan jadi tugas teman-teman ketika membuat SID, di samping data yang nasional, sisanya yang mungkin perlu dicari data basenya. Itu barangkali yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.
Sementara itu, Kelembagaan dan Sosbud BPMPD NTB Irman Sukmantara menjekaskan, sebenarnya pemikiran kita sama bagaimana menggali, mendiskusikan SID inibelum ada SID dan kawasan desa yang terintegrasi. Diskusi ini ada titik terang. Kami akan bersinergi dengan Bappeda dan BPS,” pungkasnya. (*)