Thursday, 22 December 2011

WAKIL RAKYAT NTB DI SENAYAN






Komitmen Dipertanyakan, Fungsi Pengawasan Nol
Sorotan terhadap anggota DPR/DPD RI dari daerah pemilihan (Dapil) NTB menjadi persoalan klasik yang tidak pernah lepas dari pro dan kontra. Khususnya terkait perannya dalam ikut serta membangun daerah. Persoalan ini menjadi salah satu tema dalam diskusi #forumwiken 11 Nopember 2011.
Provinsi NTB memiliki 10 wakil rakyat di DPR RI. Ada juga empat kursi untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jumlah ini cukup besar dibandingkan dua provinsi tetangga, yakni Bali dengan sembilan kursi dan NTT yang hanya memiliki enam kursi. Namun, di pentas nasional, jumlah yang lebih banyak ini tidak menunjukkan hal lebih dibandingkan legislator dari provinsi tetangga.

Nama-nama anggota DPR RI Dapil NTB :
Nanang Samodra KA (Demokrat)
I Wayan Gunastra (Demokrat)
Abdurrahman Abdullah (Demokrat)
Adi Putra Tahir (Golkar)
M Luthfi (Golkar)
Fahri Hamzah (PKS)
Rachmat Hidayat (PDIP)
Sunardi Ayub (Hanura)
Syafruddin (PAN)
Tommy Adrian Firman pengganti Izzul Islam (PPP)

Nama-nama anggota DPD RI Dapol NTB :
Farouk Muhammad
HL Muhyi Abidin
Bq Diyah Ratu Ganefi
H Supardan

Meskipun jumlah wakil rakyat dari NTB cukup banyak, namun dari sisi anggaran, NTB merupakan salah satu provinsi di urutan bontot yang memiliki kemampuan finansial dan mendapat jatah APBN yang paling sedikit. Padahal, kondisi provinsi ini masih jauh tertinggal dibandingkan provinsi tetangga jika dilihat dari angka-angka statistik. Sehingga tugas budgeting para wakil rakyat yang berasal dari representasi partai politik ini patut dipertanyakan. Tentu tidak fair mengukur kinerja dewan hanya dari keberhasilan menarik anggaran ke daerah. Adanya praktik mafia anggaran serta persoalan pola kerja dewan menjadi alasan yang selalu dikemukakan. Apalagi tidak satupun wakil rakyat dapil NTB duduk di Badan Anggaran DPR RI. Tidak hanya dalam fungsi budgenting, para wakil rakyat tidak menunjukkan hasilnya, tapi juga dari sisi pengawasan anggaran juga tidak dilakukan para wakil rakyat meskipun jelas diamanatkan UU. Sejumlah proyek yang dialokasikan dari APBN di NTB mangkrak. Proyek-proyek baru juga terbilang seret.
Minimnya pengawasan anggaran yang diperankan anggota DPR RI dapil NTB yang dieksekusi di NTB ini diungkapkan peneliti Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) NTB Ahyar Supriadi. Indikator yang disampaikan pria yang akrab disapa Yadi ini terbilang sederhana. Sejumlah kasus korupsi dari dana APBN seperti kasus DAK Pendidikan Kota Bima senilai Rp 10 miliar, DAK Kota Mataram Rp 8 miliar lebih, DAK Lombok Barat dan Lombok Tengah serta dana BOS yang juga sedang dibidik aparat hukum dan sejumlah kasus lainnya.
Diperkirakan, total anggaran yang berbau pelanggaran hukum dari APBN/APBD mencapai Rp 300 miliar. Jumlah ini tentu sangat besar untuk ukuran NTB. Namun, persoalan korupsi ini tidak pernah disentuh untuk dikomunikasikan dan menjadi perhatian DPR RI dapil NTB melalui fungsi pengawasan pelaksanaan anggaran.
          Sebagai anggota DPR RI dapil NTB, lanjutnya, semestinya paham dengan alokasi, alur serta anggaran yang dieksekusi di NTB. Dan semestinya dijalankan fungsi pengawasan. ‘’Jangankan pengawasan, statemen di media saja tidak. Dari seluruh berita media yang dikliping Somasi tidak ada satupun anggota dewan yang ngomong soal korupsi,’’ tandasnya. ‘’Statemen di media ini merupakan bentuk uji komitmen dengan kasta paling rendah,’’ tambahnya.
Bagi Yadi, adanya wakil rakyat Senayan dapil NTB yang menginginkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dipertanyakan. Patut diduga, adanya langkah untuk mendorong pembubaran KPK ini merupakan reaksi dan upaya menyelematkan diri karena tengah jadi bidikan lembaga penegak hukum ini. ‘’Bagaimana sinergi eksekutif dan DPR RI selama ini? Tidak ada. Apa sebenarnya yang kita bisa harapkan dari DPR/DPD,’’ pungkasnya.
          Hal senada diungkapkan peneliti P2HSD Unram Lalu Syepuddien terkait peran DPR/DPD RI dapil NTB dari sisi hukum, khususnya terkait adanya wacana pembubaran KPK ini. Usulan pembubaran KPK ini tidak mewakili rakyat NTB, bahkan justru membuat malu warga NTB. Tindak pidana korupsi, lanjutnya, merupakan extra-ordinary crime dan dilatarbelakangi ketidakmampuan Kejaksaan/Polri dalam melakukan tindakan yang diharapkan masyarakat. ‘’KPK masih dbutuhkan, percepatan pemberantasan korupsi. Wakil rakyat diharapkan jangan buat sikap yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat,’’ tegasnya.
Sementara itu, Syamsul Hadi, salah seorang peserta diskusi dari unsur pemuda mengatakan, tanpa duduk menjadi anggota Banggar, anggota DPR RI seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan NTB. Setiap anggota dewan duduk di komisi-komisi dewan. Namun, adanya praktik mafia anggaran menjadi salah satu soal yang menjadi kendala anggaran mengalir ke NTB. ‘’Biasanya ada transaksi, sehingga kalau tidak ada transaksi tidak ada dana mengalir,’’ bebernya.

Kualitas Personal Dipertanyakan, Minim Bersuara
Provinsi tetangga, Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat jatah Rp 1 triliun dari APBN 2011 untuk perbaikan rumah kumuh. Sedangkan NTB hanya mendapat jatah sekadar saja dari APBN. Ini akan menjadi bahan evaluasi terus menerus dari publik.
Lowongnya wakil rakyat Dapil NTB yang duduk dalam Badan Anggaran (Banggar) ditengarai menjadi salah satu persoalan yang menjadi sebab utama minimnya anggaran pusat ke daerah. Persoalan anggaran ini tersentralisasi pada figur tertentu yang mendapat dukungan dari partai.
Persoalan kualitas personal para wakil rakyat dapil NTB di Senayan juga dianggap menjadi soal, sehingga belum bisa memainkan peran dalam hal anggaran ini.
Para wakil rakyat NTB ini juga jarang menduduki jabatan-jabatan strategis. Hanya H Sunardi Ayub yang menjadi ketua Fraksi Hanura dan wakil ketua Badan Legislasi. Persoalan posisi dan kualitas personal ini dianggap sebagai pemicu yang cukup signifikan ketika berbicara peran dewan dalam memberikan kontribusi anggaran bagi daerah. Seperti diungkapkan Ketua GP Anshor NTB Syueb Qury. ‘’Sebagian anggota DPR yang mewakili NTB di Senayan juga tidak pernah tahu soal NTB,’’ terangnya.
          Lain lagi dengan pendapat Direktur Semaide Communication Adhar Hakim. Bagi Adhar, minimnya anggota DPR RI dapil NTB yang menduduki posisi strategis termasuk di Banggar, tidak serta merta menihilkan peluang untuk memperjuangkan daerah. Sebab masih ada ruang melakukan lobi di tingkat kementerian dan jalur-jalur lainnya. Dewan seharusnya memiliki peran besar bagi daerah. Apalagi sudah ada perbaikan regulasi dari sebelumnya yang memberikan ruang lebih besar agar wakil rakyat  bisa membawa aspirasi daerah. Sebagai wakil rakyat dari dapil tentu tolok ukur yang paling sederhana adalah apakah memiliki peran dan kontribusi terhadap daerah atau tidak. Wakil rakyat semestinya tidak hanya menyuarakan sikap parpol, serta apa yang tengah hot di tingkat nasional, tapi juga menyuarakan apa yang terjadi di dera. Anggota dewan dapil NTB, tentu harus tetap menyuarakan soal pendidikan dan tenaga kerja yang banyak menjadi masalah.
Selain itu, isu-isu strategis daerah yang menjadi isu nasional juga semestinya mendapat respons kuat dari para wakil rakyat NTB. Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah soal divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Suara-suara wakil rakyat dapil NTB nyaris tenggelam. Berbeda dengan para wakil rakyat asal Papua yang tetap garang memperjuangkan daerah ketika ada kisruh Freeport dan lainnya. Wakil rakyat asal NTB justru tidak menunjukkan sikap jelas. Bahkan para wakil rakyat menunjukkan sikap sesuai kondisi. Jika daerah sedang dalam kondisi tersudut, ramai-ramai ikut mencerca daerah, tapi jika daerah dalam kondisi kuat, politisi Senayan ikut menikmati. ‘’Sikap-sikap ini terlihat ketika divestasi saham. Ini kan tidak fair. Wakil rakyat dapil NTB tidak menunjukkan fight untuk daerah. Politisi NTB nyaris tidak terdengar,’’ tandasnya.
          Bagi jurnalis senior ini, banyak cara bisa dilakukan untuk memperkuat daya tawar memperjuangkan daerah, seperti dengan membentuk sejenis kaukus wakil rakyat NTB di pusat. Sebab tidak bisa kita benarkan jika wakil rakyat hanya duduk manis tanpa suara. Memperkuat barisan bersama Pemprov NTB berjuang untuk daerah tentu juga bisa dilakukan. Sehingga posisi tawar NTB bisa meningkat dan tidak dipandang sebelah mata.

Peran Parpol Dipertanyakan, Hanya Ada Sanksi Moral
Partai politik (Parpol) dituding menjadi salah satu institusi yang paling bertanggung jawab terhadap rendahnya komitmen, peran dan tugas wakil rakyat di Senayan bagi daerah, khususnya wakil rakyat dari Dapil NTB. Siapa yang akan menjadi wakil rakyat di Senayan sangat bergantung dari parpol. Siapa yang ditunjuk sepenuhnya menjadi wewenang partai. Rakyat hanya diberikan pilihan yang sudah ada. Pemilu tidak ubahnya seperti berbelanja di supermarket. Pada dasarnya pemilih/pembeli tidak pernah bebas untuk memilih/berbelanja. Sebab apa yang bisa dibeli hanya apa yang tersedia di supermarket. Tidak ada pilihan lain.
Sementara komitmen parpol untuk mendorong figur-figur yang bisa menjadi corong rakyat di pusat tentu patut diragukan. Parpol tidak mengevalusi kader dari uji komitmen terhadap konstituen/publik, tapi loyalitas, jasa, dan pengabdian pada partai. Soal asal daerah kader juga jadi soal. Tidak semua parpol memberikan dukungan terhadap kader-kader dari daerah, semua diputuskan pemegang saham parpol yang duduk di pusat. Sehingga perbaikan pola rekrutmen dan kaderisasi parpol dengan memberikan porsi sepenuhnya pada kader lokal masih dipertanyakan.
Ada hal yang luput dalam regulasi di negeri ini. Tidak ada jalur dan peluang hukum bagi konstituen untuk melakukan keberatan terhadap wakil rakyat yang dipilih jika bekerja tidak sesuai yang dijanjikan dan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Tertutupnya ruang dan peluang ini dianggap sengaja didesain demikian oleh para politisi. ‘’Sanksi yang bisa diberikan konstituen hanya sanksi moral saja,’’ jelas Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim.
          Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali ‘’balas dendam’’ pada pemilu berikutnya. ‘’Semua sepakat, DPR tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsi secara optimal. Problem pokok ada di parpol yang mengusung figur buruk,’’ tandas Ketua FSNTBI NTB Ahmad Syarif Husein. Banyak tugas yang seharusnya bisa diperankan politisi asal NTB. Salah satunya soal konflik agraria yang muncul di semua kabupaten/kota di NTB, khususnya di kawasan pertanian dan pariwisata. Peran parpol juga dipertanyakan Husein. Selama ini, parpol tidak memberikan pendidikan politik yang layak kepada masyarakat. ‘’Harusnya rakyat bisa menuntut pada parpol mengenai kinerja dewan,’’ ungkapnya.
Husein justru menolak adanya penekanan pada isu putra daerah atau bukan. Sebab hal ini tidak bisa dijadikan ukuran soal kontribusi. Berkaca dari kondisi dewan hari ini, banyak dewan yang putra daerah justru tidak menunjukkan apapun. ‘’Yang penting kontribusinya apa? Saya rasa konyol kalau debat soal putra daerah dan non-putra daerah,’’ beber Husein yang juga pengurus DPD Partai Demokrat NTB ini.
Bahkan, peneliti Somasi NTB Ahyar Supriadi menegaskan apatismenya terhadap komitmen parpol. Sebab, parpol tidak memiliki sejarah yang bisa membuktikan bisa berpihak pada hal-hal yang prorakyat. ‘’Kalau saya tidak percaya pada parpol, memang sudah tidak bisa diharapkan,’’ jelasnya.
Sedangkan Ketua Serikat Tani Nasional (STN) beranggapan, parlemen memang tidak bisa diharapkan untuk menyuarakan apa yang menjadi kehendak masyarakat. Seperti merebut anggaran untuk diturunkan ke daerah. Sejarah sudah membuktikan, anggota parlemen sejatinya hanyalah wakil dari rakyat, bukanlah rakyat sebenarnya. Harapan akan ada jika dibentuk dewan rakyat yang memang bekerja dari dan untuk rakyat. Sehingga parlemen hari ini bukanlah perwujudan konstituen, tapi merupakan perwujudan dari kelompok yang tidak segaris dengan perjuangan rakyat. ‘’Sejarah telah mencatat bahwa parlemen selalu memecundangi rakyat,’’ bebernya.
          Apa yang terjadi hari ini, lanjutnya, merupakan bentuk blunder dari parpol yang tidak lahir dari rahim rakyat, tapi justru dilahirkan dari rahim borjuasi. Hampir semua parpol tidak memiliki ideologi yang jelas yang kemudian memengaruhi sepak terjang di dunia politik.(*)

Friday, 28 October 2011

NTB PASKA 83 TAHUN SUMPAH PEMUDA


KAUM muda mampu menunjukkan kepeloporan sejarah. Proklamasi kemerdekaan RI juga tidak lepas dari peran kaum muda, yakni adanya peristiwa Rengas Dengklok yang dipimpin Sukarni dan kawan-kawan berhasil memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejumlah fase lompatan sejarah Indonesia, kaum muda juga memiliki peran besar. Seperti penggulingan Soekarno pada era Orde Lama pada dekade 1960, protes Orde Baru yang melahirkan peristiwa Malari pada era 1970-an. Yang teranyar adalah Gerakan Reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru.
          Di NTB juga memiliki sejarah yang kurang lebih sama dengan fase-fase pergerakan nasional. Seperti pada masa reformasi dengan munculnya Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) sebagai organisasi tingkat lokal. Dan terpilihnya Tuan Guru Bajang (TGB) TGH M Zainul Majdi sebagai Gubernur dan tercatat sebagai gubernur termuda di Indonesia yakni dalam usia 36 tahun, 3 bulan, dan 17 hari dipandang sebagai bukti keberhasilan dan kemampuan kaum muda NTB yang bisa mengambil alih panggung kepemimpinan. Terpilihnya figur muda ini juga menjadi harapan kebangkitan kaum muda di NTB untuk berperan lebih besar dalam mengangkat pembangunan daerah sehingga NTB bisa sejajar dengan daerah lain.
          Namun, tidak semua memiliki pandangan sama tentang posisi TGB sebagai gubernur merupakan keberhasilan kaum muda di NTB. Akademisi IAIN Mataram Dr Kadri justru menilai sebaliknya. Alasannya, terpilihnya TGB sebagai gubernur bukanlah sebuah representasi kaum muda. TGB terpilih justru lebih dipengaruhi faktor trah dan posisinya selaku tuan guru dan pemimpin NW. Belum ada hal signifikan yang juga bisa menunjukkan gubernur memiliki visi dan keberpihakan pada kaum muda NTB. Meskipun layak diapresiasi saat memberikan kesempatan pada sejumlah kader muda yang masuk dalam barisan DPD Partai Demokrat NTB. ‘’Tapi gubernur kita muda, ini riil,’’ beber Kadri saat diskusi #forumwiken di Sekretariat NC, Jalan Pariwisata 11 Mataram, Jumat 28 Desember 2011.
Mengenai kondisi pemuda NTB kekinian, Kadri mengakui kalangan muda memiliki beragam persoalan serius yang mesti dibenahi, seperti kondisi organisasi kepemudaan yang tidak solid baik secara internal maupun eksternal. Bahkan, kalangan pemuda cenderung berpikir pragmatis dan hedonistis. Kalangam mahasiswa lebih memikirkan soal pulsa dari pada pemikiran.
Di arena politik juga demikian. Kalangan muda yang masuk dunia politik tidak bisa diharapkan membawa perubahan. Mereka cenderung diperalat kekuatan besar untuk mengamankan kepentingan tertentu. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum DPP Partai Demokrat semestinya bisa menjadi pintu masuk yang baik untuk men-take over generasi berikutnya. Meskipun akhirnya tersandung sejumlah persoalan.
Pada tingkatan lokal, pola gerakan pemuda di NTB juga masih sangat reaktif. Isu-isu nasional masih seringkali ditanggapi dengan reaktif mengikuti mainstream tingkat nasional. Sementara, isu-isu lokal justru minim perhatian. Padahal, rendahnya posisi IPM, soal pendidikan, kesehatan dan persoalan sosial lainnya sebenarnya lebih menjual untuk diangkat dalam menggerakkan kekuatan civil society.
Institusi politik pada dasarnya juga tidak memberikan ruang yang cukup kepada kaum muda. Meskipun disisi lain, sejumlah kader parpol yang kini duduk di parlemen yang dianggap mewakili kaum muda tidak menunjukkan kontribusi optimal bagi daerah. ‘’Ada Fahri Hamzah dan M Luthfi wakil rakyat NTB di pusat. Apa kontribusinya? Anggota DPRD NTB dari kalangan muda juga tidak memberikan kontribusi yang jelas,’’ papar akademisi IAIN Mataram ini.
          Saat ini, pragmatisme generasi pemuda sudah sedemikian parah. Kadri membeberkan, fenomena yang dialami saat melakukan program pemberdayaan ekonomi berbasis madrasah dan masjid di salah satu kabupaten di NTB. Pemuda-pemuda yang direkrut justru menanyakan berapa uang yang akan diperoleh dari pelatihan yang digelar Nusatenggara Centre (NC). Padahal, adanya program ini menjadi momentum yang baik untuk bisa belajar dan menjadi seorang enterpreneur. ‘’Ini juga soal mindset, sehingga perlu ada perubahan mindset yang harus dilakukan sejak usia dini. Generasi muda susah untuk diharapkan bisa melanjutkan perjuangan bangsa dengan kenyataan seperti ini. Makanya, istilah potong generasi bisa diterapkan dengan menerapkan pendidikan karakter pada jenjang pendidikan,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim menilai, sejak Orde Baru terjadi proses pembusukan di kalangan kaum muda, melalui penjinakan pemikiran dan lainnya. Salah satunya dilakukan dengan menempatkan kaum muda pada kelembagaan yang memperkuat kekuasaan. Kondisi ini terus berlanjut tanpa disadari. Pembusukan gerakan dan peran kaum muda terjadi di dunia kampus. Kanal politik praktis bagi kaum muda dibuka. Sehingga kaum muda tidak mampu lagi menunjukkan indentitas dan ikut tergerus dalam pusaran arus yang ada. ‘’Selama ini, pemuda cenderung memiliki cara pandang untuk menemukan jalan tol dalam berpolitik dan sektor lainnya,’’ bebernya.
          Tidak ada larangan dan bukan hal yang keliru pemuda masuk barisan parpol. Namun, pemuda tentu harus lebih selektif dan kritis masuk dalam barisan parpol. Jika kaum muda hanya terpaku pada politik kekuasaan, maka tidak akan menyelesaikan persoalan kepemudaan. Organisasi-organisai kepemudaan yang ada juga gagal mengambil peran dan menjadi payung pemuda dalam melakukan gerakan. Termasuk juga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Organisasi pemuda ini hampir hanya menjadi sekadar batu loncatan politik yang dimainkan siapa yang menjadi pemilik kuasa di KNPI. Padahal, KNPI merupakan satu-satunya organisasi yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah, bahkan selalu diberikan anggaran resmi dalam APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota. ‘’Ini kan tidak adil, kenapa hanya KNPI? Saya minta sejak lama, anggaran KNPI di APBD dihapus saja,’’ tandas pengusaha muda Agus Firadz Wirawan.
Dalam diskusi-diskusi kepemudaan, seringkali kalangan muda lupa membahas bagaimana mendorong hal konkret yang harus dilakukan. Rekomendasi yang dihasilkan selalu terkait sosio-politik semata. Sedangkan hal yang bersifat mikro, taktis dan faktual jarang dibahas. Hal-hal filosofis mendapatkan porsi terlalu besar. ‘’Pembahasannya selalu berbau langitan, tapi kita lupa kalau kaki kita korengan,’’ cetusnya.
Disisi lain, Agus juga menyorot program 100 ribu wirausahawan yang dikeluarkan Pemprov NTB. Program ini dianggap program mimpi disiang bolong, sebab tidak akan mampu direalisasi. Sebab ada beberapa hal yang tidak mendapat perhatian pemerintah saat menyusun program ini. Yakni adanya usaha semacam kartel yang menguasai sebagian besar sektor bisnis di NTB. Dengan pertambahan wirausahawan, maka bisnis kartel yang sudah lama ada akan terganggu. ‘’Jangankan 100 ribu, 10 saja mereka akan terganggu,’’ ungkapnya.
Ada beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian politisi dan pemegang kebijakan. Khususnya terkait hal yang lebih teknis, misalnya cukai yang tinggi terhadap pengiriman ayam ke pulau Bali. Padahal, tingginya cukai membuat ayam NTB tidak mampu bersaing dengan ayam di Bali, meskipun pasar ayam di Bali sangat potensial. ‘’Hal-hal seperti ini kan perlu intervensi politik. Tapi tidak pernah dilakukan,’’ tandasnya.
Begitu juga di sektor perberasan. Pemprov NTB dianggap terlalu membebek dengan keinginan pemerintah pusat, salah satunya terkait dengan posisi NTB yang ditempatkan sebagai lumbung pangan nasional. Pemerintah ‘’memaksa‘’ petani menanam padi. Padahal, kesejahteraan petani tidak pernah bisa meningkat dengan menanam padi. Sebab, sektor ini telah dikuasai kartel beras, sehingga komoditi ini hanya menguntungkan para pengusaha besar yang ada dalam lingkaran kartel perberasan. ‘’Jika pemuda dianggap menguasai 30 persen segmen politik, kenapa kebijakan seperti ini tidak bisa dilawan. Pemerintah masih tetap saja memberi proteksi terhadap pengusaha tertentu, ini kan ironis,’’ ungkapnya.
Pemerintah harus memberikan jaminan terhadap sektor usaha kemudian bisa membentuk ideologi ekonomi pemuda dengan gerakan riil. Perjuangan pemuda tidak lepas dari perjuangan ekonomi. Pemerintah perlu menerapkan aturan main dengan menerapkan sanksi tegas terhadap semua pihak termasuk di internal pemerintah. ‘’Jika ada kartel bisnis yang menguasai, kenapa tidak kita membikin kartel bisnis yang dijalankan pemuda, ini lebih baik,’’ tegasnya.

Membenahi Pendidikan Generasi
PERAN negara adalah menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan. Kerap kaum muda justru menjadi kalangan yang melancarkan protes terhadap kebijakan pemerintah. Persoalan kepemudaan ini seringkali tidak dilihat sebagai persoalan serius oleh penyelenggara negara. Seringkali pemuda hanya dilihat sebagai potensi politik semata yang bisa dimanfaatkan.
          Direktur Semmaidea Communication Adhar Hakim menilai, dengan karakter khas yang dimiliki NTB, ada peluang untuk melahirkan dan menjawab akar persoalan ke-NTB-an. Ponpes bisa dijadikan salah satu kekuatan membangun pemuda, di Pulau Jawa, banyak kader Ponpes yang mampu melahirkan pemikiran radikal. Selama ini, pemerintah daerah seringkali membuat janji dan rencana di atas meja tanpa analisis yang komprehensif. Sehingga tatkala diimplementasikan tidak pernah menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Pemuda tidak bisa berharap akan ada perubahan. ‘’Coba lihat, siapa yang ragukan Gus Dur, dididik di lingkungan Ponpes tapi dibesarkan dengan kegelisahan sosial politik menempatkan diri sebagai posisi berlawanan dengan Orde Baru,’’ bebernya.
Bagi Adhar, berharap ada perubahan dengan kondisi seperti saat ini bukan hal yang patut dilakukan. Tapi bagaimana mendorong perubahan atau merebut aset dan peluang dengan berbagai metodologi agar kaum muda bisa ditempatkan pada posisi yang seharusnya. Perjuangan terhadap keberpihakan anggaran terkait kepemudaan juga patut dilakukan. Selama ini, keberpihakan politik anggaran pemerintah terhadap pemuda patut dipertanyakan. Dalam penyusunan anggaran, para politisi biasanya membahas anggaran kepemudaan pada prioritas kesekian. Perlu membangun ruang apresiasi bagi pemuda agar bisa menyalurkan aspirasi dan keinginan mesti disediakan. Selama ini selalu saja pemerintah membicarakan hal-hal jangka pendek tanpa pernah mau menempatkan pondasi untuk NTB kedepan. ‘’Selama ini pemuda hanya dilihat sebagai beban, bukan resource. Pemda mesti memiliki konsep politik untuk bisa membela kepemudaan,’’ tegasnya.
Perbaikan sektor pendidikan juga harus dilakukan, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan semangat interpreneurship dengan membuat kurikulum pendidikan juga mengajarkan kewirausahawanan. Pondok pesantren bisa menjadi salah satu basis untuk mulai mendidik generasi enterpreneur ini. ‘’Adanya karakter Islami santri ponpes tidak masalah. Ini bisa lebih baik. Jika ini bisa dilakukan, maka akan bisa meminimalisasi kondisi, dan orientasi ke ranah politik pemuda bisa diminimalisasi,’’ jelas Akademisi IAIN Dr Kadri.
Lain lagi dengan pandangan Akademisi IAIN Mataram Riduan Mas’ud soal pemuda. Menurutnya, saat era Nurkholis Majid, gerakan yang berkembang adalah gerakan pemikiran yang mampu menghasilkan dinamika keilmuan yang luar biasa. Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, seperti IAIN Jogjakarta maupun IAIN Jakarta memiliki sejumlah pendobrak pemikiran yang ketokohannya diakui seperti Syafi’i Ma’arif dan lainnya. Namun, kondisional yang dihadapi Nurkholis Majid dan Syafi’i Ma’arif tentu berbeda dengan kondisi yang dihadapi pemuda era masa kini.
          Persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan yang harus mendapat perhatian semua pihak, khususnya kaum muda. Sebab tantangan persoalan ekonomi menjadi salah satu kondisi yang harus siap dihadapi. Jika pemuda sepakat, musuh utama adalah persoalan ekonomi, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah bagaimana melahirkan gagasan yang siap diimplementasikan.
Moratorium pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditetapkan pemerintah akan berdampak pada jumlah pengangguran pada usia produktif. Hal ini merupakan ancaman nasional yang juga dihadapi NTB. Salah satu hasil survei menunjukkan, jumlah pengangguran di Indonesia berkorelasi terbalik dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka jumlah pengangguran dari kelompok yang tamat pendidikan SD/SMP ini justru lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelompok pemuda usia produktif yang memiliki pendidikan SMA dan perguruan tinggi.
          Generasi muda saat ini tidak memiliki minat dan kemampuan yang cukup untuk menjadi enterpreneur alias menciptakan lapangan kerja sendiri. Sebagian besar kelompok pemuda dengan pendidikan SMA ke atas cenderung memilih menunggu melamar pekerjaan di sebuah instansi atau perusahaan. Padahal, pemerintah sudah mulai mengampanyekan gerakan enterpreneurship, begitu juga dengan Pemprov NTB dengan program 100 ribu wirausahawan baru.
Akademisi IAIN Mataram Riduan Mas’ud menegaskan, pembenahan pendidikan, khususnya bagaimana menumbuhkan semangat enterpreneur di lingkungan pendidikan perlu segera dilakukan. Jika tidak memulai dari pendidikan, apa yang hendak dicapai tidak akan mampu terjawab seperti apa yang diharapkan. Ini juga bisa dimulai dengan membuka jurusan-jurusan baru yang lebih mengarah pada pembentukan skill pemuda. ‘’Harus ada transformasi,’’ ujar Riduan yang juga ketua Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) NTB ini.

Krisis Peran Organisasi Pemuda
Ketua GP Ansor Syaeb Qury menyorot keberadaan KNPI, khususnya KNPI NTB yang tidak memiliki visi dan semangat membangun kepemudaan. Justru KNPI menjadi kekuatan politik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ‘’Ini kan ironis. Jangan biarkan KNPI ini jadi bagian dari alat untuk melanggengkan kepentingan,’’ tandasnya.
Mengenai peran GP Ansor sebagai salah satu elemen organisasi pemuda di NTB maupun lebih luas di Indonesia, jika dilihat secara histrois, Ansor memiliki sejarah dan tradisi melawan kekuasaan. Meski  demikian, Syueb tidak membantah jika kader Ansor tetap diperkenankan masuk dalam ranah politik praktis asalkan tetap menjaga prinsip-prinsip menjadi pedoman, seperti prinsip membangun ukhuwah wathiniyah dan ukhuwah batiniyah.
          Ketua Serikat Tani Nasional (STN) NTB Ahmad Rifai menilai, pemuda cenderung gamang dan kehilangan arah, miskin filsafat dan tidak memiliki ideologi yang menjadi pegangan. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ini terkait dengan pendidikan yang mahal dan tidak berkualitas. Dan ini merupakan dampak dari imperialisme modal yang mencengkeram Indonesia. ‘’Sekarang, hasil lukisan budaya penjajah yang menjadi fenomena pemuda saat ini tidak mampu kita bendung,’’ bebernya.
          Hal senada juga diungkapkan Koordinator P2PHSD Unram Dr Wira Pria Suhartana terkait posisi dan peran kaum muda NTB saat ini. Dikatakan, kaum muda hampir tidak memiliki kuasa rencana dan kehilangan arah dalam melakukan gerakan kepemudaan karena tidak memiliki support system yang kuat agar pemuda bisa berdaya. Karakter miskin masih ada pada diri pemuda. Kompetisi semakin ketat, apalagi perjanjian perdagangan bebas buru-buru diteken pemerintah.
          Sementara itu, peneliti P2PHSD Universitas Mataram Lalu Syaepuddien memandang, negara memiliki peran yang semestinya tidak dilupakan ketika bicara pemuda dan ekonomi. Jika saat ini pemuda tidak memiliki kemampuan atau dalam kondisi yang tidak menggembirakan, maka perlu dipertanyakan peran negara dalam menjamin hak-hak konstitusional warga negara. Saat ini, persentase pemuda yang nganggur mencapai 602 persen. Indonesia memiliki SDM yang kaya raya, tapi justru tidak bisa dinikmati untuk kesejahteraan. Namun, adanya kebijakan ekonomi politik yang diterapkan pemerintah justru tidak berpihak pada pemuda dan masyarakat banyak. ‘’Politik ekonomi inilah yang memiskinkan pemuda,’’ kata pria yang akrab disapa Gayep ini.
          Pemerintah selalu heroik meneriakkan pemberdayaan dan peranan pemuda. Namun, tidak pernah melakukan hal yang heroik dalam mengupayakan lapangan kerja bagi pemuda. Rendahnya tingkat ekonomi kaum muda ini memunculkan persoalan baru. Apalagi barang-barang terbaru memenuhi kebutuhan hidup era masa kini banyak berjejer di etalase pertokoan, namun tidak mampu diakses. Sehingga persoalan ini mendorong tingkat kriminalitas. ‘’Ini yang dinamakan push pull theory dalam kriminologi, yakni adanya tekanan dari luar sehingga orang melakukan tindak kejahatan,’’ jelas dosen kriminologi Fakultas Hukum Unram ini.
Program pemerintah tidak amburadul, seperti adanya subsidi Rp 15 juta bagi PNS yang akan membeli rumah dari Kementerian Perumahan Rakyat. Kalangan PNS yang notabene merupakan kalangan mampu seharusnya tidak diberikan kemudahan seperti ini, dana ini seharusnya bisa diberikan kepada pemuda yang ingin mengembangkan diri. ‘’DPRD juga seharusnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membantu pemuda. Selama ini, Pemprov tidak pernah membangun semangat ekonomi pemuda. Seharusnya hal ini bisa menjadi ikon kebangkitan pemuda NTB,’’  jelasnya. ‘’Negara akan kuat jika pemudanya juga kuat,’’ tambah Koordinator P2HSD Dr Wira Pria Suhartana.
          Kordinator LARD NTB Mahmudah juga mengungkapkan adanya sejumlah fenomena yang memprihatinkan terkait sektor ekonomi produktif, khususnya terkait enterpreneur. Sejumlah mesin pengolahan yang diberikan pemerintah seperti mesin pengolah kayu, mesin rumput laut, mesin jambu mete di sejumlah kabupaten tidak dikelola dan difungsikan. Padahal, jika dikelola dengan baik akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi. ‘’Ini kan jadi soal. Apakah SDM kita yang tidak mampu atau program ini tidak dikawal pemerintah. Jika mesin-mesin ini mampu dimanfaatkan, maka bisa merektrut pengangguran-pengangguran,’’ kata perempuan yang akrab disapa Mbak Uda ini.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim juga menilai ada beberapa langkah yang sudah dilakukan dengan tepat oleh pemerintah, meskipun masih dalam proses trial error. Yakni mengubah konsep pendidikan dengan memperbanyak sekolah kejuruan. Hal ini untuk menangkap adanya peluang-peluang ekonomi yang ada. ‘’Makanya secepatnya, pemerintah melakukan maping terkait persoalan pemuda ini. Jangan hanya kapling pemuda dari sisi politik,’’ tandasnya.(*)

Friday, 14 October 2011

MENGGUGAT KENAIKAN TARIF PDAM MENANG MATARAM



DALAM diskusi #forumwiken yang digelar Jumat malam, 14 Oktober 2011. Peserta menyepakati menggugat PDAM Menang Mataram yang memberlakukan kenaikan tarif penjualan air bersih. Rencana gugatan class action yang akan diajukan para pelanggan PDAM, akademisi, pengacara, tokoh LSM, tokoh pemuda dan berbagai unsur gabungan merupakan puncak kekecewaan terhadap pengelolaan PDAM beserta dua pemerintah daerah sebagai pemilik, yakni Lombok Barat dan Kota Mataram. Jika saja kedua pemda tidak memberikan restu terhadap kenaikan tarif ini, kebijakan ini tidak bisa dieksekusi PDAM.
Kebijakan PDAM Menang Mataram yag diamini Pemda Lombok Barat dan Pemkot Mataram selaku pemilik tidak bisa menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan semangat pasal ini. Sejumlah kebijakan pemda serta PDAM dianggap bertentangan dengan semangat Pasal 33 ini. Termasuk kebijakan kenaikan tarif. Diketahui, PDAM memiliki keuntungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan tarif sebelum dinaikkan. Jumlahnya mencapai Rp 15 miliar lebih. Namun, deviden PDAM ini justru tidak dialokasikan lagi dalam bentuk penyertaan modal kepada PDAM untuk perluasan dan perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan tarif jasa air bersih yang ada, PDAM sudah memperoleh keuntungan yang cukup besar. Rendahnya biaya produksi menjadi faktor pendukung, sebab air baku yang digunakan merupakan air pegunungan yang bersumber dari Taman Nasional Gunung Rinjani. Keuntungan ini bisa digunakan untuk memperluas jaringan, sehingga semakin banyak pelanggan yang bisa menikmati pelayanan PDAM. Selama ini, PDAM hanya melakukan pengembangan jaringan dari bantuan pemerintah pusat. ‘’Pengelolaan air ini mesti dikembalikan ke Pasal 33 UUD 1945 ini,’’ ungkap Ketua LSBH NTB Suhaimi.
          Ada semangat yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan air, khususnya kebijakan kenaikan tarif yang ditetapkan PDAM Menang Mataram dengan persetujuan Pemda Lobar dan Pemkot Mataram selaku pemilik saham. Padahal, tingkat ketergantungan masyarakat Kota Mataram dan sebagian Lombok Barat terhadap PDAM ini sangat tinggi. Pelayanan PDAM ini menjadi satu-satunya akses pelayanan air bersih. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menfasilitasi warga memperoleh akses air bersih.  ‘’Air tidak boleh dijadikan ajang mencari uang bagi pemda,’’ tegas peneliti P2PHSD Unram Lalu Syaepuddin alias Gayep.
Pemda Lombok Barat sepatutnya tidak mengklaim air yang berasal dari TNGR yang berada di wilayah administratif Lombok Barat ini sebagai hak milik. Dalam Pasal 33 UUD 1945 jelas tertuang penegasan mengenai posisi air yang dikuasai negara. Kepemilikan bersama menjadi semangat yang harus dijaga.  Air sebagai barang publik harus dikeloa dengan bijak dengan memperhatikan seluruh aspek yang ada.
Soal kepemilikan saham juga disorot, dalam regulasi tentang perusahaan daerah, tidak dikenal istilah ‘’kepemilikan saham‘’ dalam PDAM. Istilah ini hanya digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap posisi dua pemda pemegang kendali perusahaan. Kepemilikan saham ini juga sempat disoal karena dirasa tidak proporsional. Pemda Lobar memiliki kuasa 65 persen, sedangkan Kota Mataram hanya 35 persen. Sehingga dari sisi kebijakan, Lobar lebih dominan. Sehingga apa yang menjadi dasar Pemda Lobar menjadi pemegang saham dominan dipertanyakan. Sebab, jika mengklaim sebagai pemilik air, jelas keliru. Sebab dalam konstitusi UUD 1945, tegas disebutkan, air dikuasai negara. Sehingga pemda ataupun warga Lobar tidak bisa mengklaim air yang bersumber di Lobar merupakan hak milik.
Di sisi lain, hampir 80 persen pelanggan PDAM ada di Kota Mataram. Sehingga pendapatan terbesar perusahaan diperoleh dari masyarakat Kota Mataram. Tingkat ketergantungan warga kota terhadap PDAM ini sangat tinggi. Kebutuhan air bersih warga sebagian besar dipenuhi dari pipa-pipa PDAM. Namun, pemkot dianggap tidak memiliki cukup kewenangan dalam memberikan proteksi terhadap warganya sendiri. Hanya saja, persoalan proporsi kepemilikan saham ini dipandang tidak subtansial. Sebab, kepemilikan dominan pemkot terhadap PDAM bukan merupakan jaminan pemkot bisa menelurkan kebijakan yang promasyarakat.
Berkaca dari kebijakan kenaikan tarif, Pemkot Mataram jelas mendukung kebijakan kenaikan tarif ini ini, meskipun di tingkat DPRD Kota Mataram sejumlah wakil rakyat bersuara lantang menentang kebijakan ini. Sehingga, soal kepemilikan saham ini menjadi urusan yang tidak prioritas dalam hal pelayanan terhadap masyarakat. ‘’Siapapun pemiliknya dan siapapun mayoritas, bagi publik adalah pelayanan. Ini yang jadi soal,’’ ungkap pengamat kebijakan publik Dr Kadri saat diskusi #forumwiken yang berlangsung hingga larut malam ini.
Hampir seluruh peserta diskusi yang terdiri dari akademisi, pengacara, tokoh LSM, tokoh pemuda, kalangan jurnalis serta tokoh masyarakat lainnya ini merupakan pelanggan PDAM Menang Mataram. Mereka merasakan dampak langsung dari kebijakan yang dianggap tidak populis ini. Persoalan kenaikan tarif ini menjadi isu publik utama di Lombok Barat dan Kota Mataram. Beragam sikap dan rasionalisasi diungkapkan masing-masing pihak. Sehingga, #forumwiken yang selalu mengangkat tema-tema terkait publik menyepakati persoalan air ini menjadi fokus diskusi akhir pekan.

Jasa Lingkungan Bukan untuk PAD
Penetapan jasa lingkungan yang notabene merupakan retribusi yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Lombok Barat juga menjadi masalah lain dalam pengelolaan air di Lombok Barat dan Kota Mataram. Adanya retribusi jasa lingkungan yang ditetapkan melalui perda ini juga menjadi salah satu komponen yang akan digugat.
Pelestarian lingkungan tidak bisa dipisahkan dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar mata air. Desakan secara ekonomi membuat masyarakat sekitar mata air atau di sekitar hutan tidak mampu memelihara lingkungan. Bahkan masyarakat setempat bisa menjadi aktor perusak lingkungan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kesadaran partisipatif dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan menjadi hal wajib dalam pengelolaan air dan lingkungan. Dengan ekonomi yang lebih baik, kesadaran atas kelestarian lingkungan yang memadai, maka masyarakat akan proaktif dan menjadi bagian dari sistem pelestarian lingkungan.
Konsep jasa lingkungan ini menjadi hal wajib yang dijalankan dan dibebankan kepada seluruh pelanggan PDAM. Hanya saja, konsep jasa lingkungan ini semestinya tidak ditetapkan melalui perda. Sebab ketika besaran jasa lingkungan ini ditetapkan melalui perda, maka Pemda Lobar berada pada posisi ‘’pemilik hak’’ atas air. Adanya tarif jasa lingkungan ini akan terhitung sebagai pendapatan asli daerah (PAD) yang harus disetorkan ke kas daerah dengan klasifikasi sejenis retribusi. Penganggaran jasa lingkungan ini juga harus mengikuti sistem dan pola penganggaran seperti umumnya PAD. Jika keberpihakan politik anggaran Lobar terhadap lingkungan memadai, maka anggaran ini bisa teralokasi dengan baik dalam belanja. Jika tidak, jasa lingkungan ini justru akan menjadi lumbung PAD untuk melaksanakan kebijakan politik pemerintah daerah semata.
Direktur LSBH NTB Suhaimi menegaskan, pihaknya terlibat aktif bersama Walhi NTB saat penyusunan Perda Jasa Lingkungan ini. Namun, pola yang ditawarkan saat itu tidak seperti apa yang berlaku saat ini. ‘’Semangat jasa lingkungan ini tidak untuk PAD, tapi untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,’’ beber mantan salah satu unsur pimpinan Front Mahasiswa Nasional ini.
Jasa lingkungan yang pada dasarnya adalah retribusi yang ditetapkan Pemda Lobar juga dibebankan pada masyarakat Kota Mataram. Padahal, secara hukum, perda merupakan produk hukum yang bersifat teritorial. Perda Provinsi NTB tidak bisa diberlakukan di teritorial Provinsi NTT atau Provinsi Bali. Begitu juga dengan Perda Lombok Barat, tidak bisa diberlakukan kepada masyarakat yang ada di teritorial Kota Mataram.
‘’Perda itu teritorial, jasa lingkungan ini pungli,’’ tegas Koordinator P2PHSD Unram Dr Wira Pria Suhartana. Dan, PDAM semestinya bisa menolak menjadi juru pungut terhadap jasa lingkungan ini. Namun, retribusi ini justru dibayarkan dengan kwitansi yang sama saat pembayaran tagihan air PDAM.
Ada beberapa opsi yang muncul terkait pola jasa lingkungan ini. Kebijakan atas jasa lingkungan ini bisa ditetapkan PDAM, kemudian PDAM menyalurkan kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang disepakati. Sehingga, dana yang bersumber dari jasa lingkungan yang dibayarkan pelanggan PDAM ini bisa sepenuhnya dialokasikan untuk pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jumlah dan penggunaannya dilaporkan secara berkala kepada publik sebagai upaya transparansi dan akutabilitas.
Selama ini, konsumen selalu menjadi subordinat atas produsen yang memiliki kuasa atas produk. Sehingga seringkali produsen bersikap semena-mena terhadap konsumen dengan berdiri pada rasionalisasi dan perspektif produsen. Padahal, konsumen juga memiliki hak terhadap barang/jasa yang telah dibeli dan bagaimana konsumen tidak dirugikan atas jual-beli yang telah dilakukan. Konsepsi dasar atas perlunya perlindungan konsumen inilah yang kemudian menelurkan adanya kebijakan pemerintah sebagai regulator menerbitkan undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen. Di Indonesia, adanya perlindungan konsumen ini baru diatur negara dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen.
          Dalam UU ini, perlindungan konsumen dimaksudkan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Dengan bahasa lain, perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Contohnya, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen. Hak konsumen di antaranya hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya.
           Dalam diskusi #forumwiken ini, pakar perlindungan konsumen Universitas Mataram (Unram) Kurniawan menjelaskan, PDAM sebagai pelaku usaha (perusahaan, Red) juga memiliki kewajiban untuk patuh terhadap UU Perlindungan Konsumen. Sehingga menyoal kenaikan tarif ini pada dasarnya tidak terkait dengan komposisi kepemilikan saham Pemda Lombok Barat dan Pemkot Mataram.
Terlepas dari persoalan validitas data hasil uji yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Mataram, persoalan keamanan dan kualitas produk ini juga menjadi hal yang harus mendapat perhatian PDAM sebagai pelaku usaha. Jika produk PDAM ini cacat secara kualitas seperti adanya kandungan bakteri E-Coli dalam air yang dijual, PDAM wajib bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang tertuang dalam pasal 19 UU 8/1999 ini.
          Dalam UU ini juga diatur bahwa konsumen tidak bisa patuh terhadap peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli. Sehingga penetapan tarif tanpa melalui prosedur dan persetujuan yang jelas dari pelanggan juga merupakan indikasi bentuk pelanggaran UU Perlindungan Konsumen.
          Sementara itu, mengenai adanya sengketa konsumen dan produsen ini, ada tiga cara yang diperbolehkan dalam UU. Yakni bisa menyelesaikan sengketa melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Jalur non-pengadilan yang disediakan pemerintah yakni adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Atau melalui jalur pengadilan umum dengan melayangkan gugatan. Gugatan melalui peradilan umum ini bisa dilakukan dengan gugatan class action yang dilakukan kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. ‘’Ini bisa dilakukan pelanggan PDAM terkait kualitas produk PDAM dan adanya kenaikan tarif ini,’’ beber Kurniawan.
          Ada juga sejumlah wacana untuk perombakan porsi kepemilikan saham. Pembagian proporsi saham bagi Pemda KLU, serta adanya wacana provinsi masuk sebagai pemilik saham untuk menjadi penengah. Apalagi PDAM ini sudah lintas wilayah, sehingga masuknya provinsi sebagai penyeimbang dianggap rasional. Ada juga wacana sebagian porsi saham PDAM ini dimiliki publik. Sehingga dalam pengelolaan barang publik ini tidak ada pemda yang memegang kekuasan mayoritas, tapi dikontrol penuh publik.
          Terlepas dari itu, bagi Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim, kisruh pengelolaan air dalam PDAM ini merupakan salah satu kisruh yang dikhawatirkan sejak otonomi ini diberlakukan. Kerap muncul fenomena perebutan aset dua wilayah yang bertetangga. Kisruh ini wajar terjadi mengingat saat pembagian kepemilikan saham PDAM ini antara Lobar dan Mataram, belum ada mindset otonomi dalam pemerintah. Terlepas dari itu, lanjutnya, bagaimana pengelolaan air antarwilayah ini sebaiknya dua pemda ini belajar ke daerah lain. Banyak daerah yang memiliki persoalan sama, tapi bisa lebih proaktif menyusun konsep pengelolaan dan menuntaskan persoalan yang ada. ‘’Dua pemda ini harus duduk bersama menyelesaikan persoalan pengelolaan air ini. Jika tidak dilakukan, maka persoalan ini akan terus terjadi,’’ beber mantan jurnalis ini.(*)

Friday, 7 October 2011

PUTRI MANDALIKA DAN MIMPI INVESTASI WISATA LOMBOK


KAWASAN Mandalika Resort di pantai selatan Lombok Tengah (Loteng) memiliki sejarah panjang yang berliku. Kini, kawasan seluas 1.250 hektare lebih ini kembali menjadi pembicaraan paska rencana PT Bali Development Corporation (BTDC) mengembangkan kawasan ini. Pengembangan kawasan Mandalika Resort oleh PT Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) dimulai sekitar 1976. Pola pengembangan kawasan ini menjadi tren. Kawasan yang sama juga dikembangkan di NTB, khususnya Pulau Lombok seperti kawasan Sire dan kawasan Selong Belanak dan lainnya. PT LTDC merupakan konsorsium swasta yang dikomandani PT Rajawali Wirabakti yang kini bernama PT Rajawali Corp. Dalam konsorsium ini, Pemprov NTB memiliki saham sekitar 35 persen (mirip golden share). Penyertaan modal yang pernah tercatat dalam APBD NTB sekitar Rp 15 miliar.
Di belakang hari, masuk PT Tridan dengan kepemilikan saham 20 persen. masuknya PT Tridan ini ditengarai tanpa sepengetahuan pemda. Namun, para investor hanya menjadi broker. Membeli tanah pada masyarakat dengan harga murah, lalu menjual dengan harga 10 kali lipat. Mirip-mirip dengan kawasan Sire maupun Trawangan. Modusnya hampir sama.
            Paska krisis moneter, PT LTDC bangkrut. Hutang maha besar pada bank tidak mampu dibayar akibat melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah. Sehingga aset PT LTDC diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang kemudian berubah menjadi PT Pengelola Aset (PPA). Demikian sejarah singkat kawasan LTDC yang dituturkan Direktur Samanta Dwi Suharsono dalam diskusi #forumwiken.
Pengembangan kawasan Nusa Dua oleh PT BTDC mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Status BTDC selaku BUMN mendapatkan pinjaman lunak dari Bank Dunia. Kinerja BTDC sejak didirikan juga tidak menggembirakan. Sejak dibentuk 1973, kawasan Nusa Dua baru mulai dikembangkan setelah 10 tahun kemudian melalui undangan khusus pemerintah. Investor pertama yang masuk ke kawasan ini di antaranya Aerowisata (BUMN), Putri Bali (Lokal), dan Club-Med (undangan khusus). Jika saja krisis moneter tidak melanda, maka kawasan eks LTDC ini sudah mengalahkan Nusa Dua. Sejak dimulai 1989, LTDC yang merupakan konsorsium murni swasta berhasil menggaet investor tujuh tahun setelah proyek dimulai. Accord Group tercatat sebagai investor pertama yang mendirikan Hotel Novotel. Sejumlah investor dari grup raksasa juga sudah siap melakukan investasi seperti Sheraton, Hilton, Banyan Tree, Oberoi, Aston, Marriott, Best Western, dan Sofitel.
            Sejak 2008, pemerintah pusat telah menyerahkan kawasan Mandalika Resort kepada PT BTDC melalui penyertaan modal negara seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 50/2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali. Lahan eks LTDC yang juga merupakan aset eks BPPN dialihkan menjadi tambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC. Nilai penambahan penyertaan modal negara ini akan ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan menggunakan nilai pasar yang wajar. Penyerahan kawasan dalam bentuk penyertaan modal ini diberikan setelah Pemprov NTB menyerahkan hak pengelolaan lahan (HPL) yang pernah dipegang dengan harapan PT Emaar berinvestasi.
PP ini kemudian diubah menjadi PP 33/2009. Dalam sejumlah pasal PP ini mengatur secara jelas mengenai pengalihan penyertaan modal negara berasal dari pengalihan seluruh saham milik negara pada PT LTDC yang merupakan aset eks BPPN kepada PT BTDC. Nilai saham berdasarkan nilai pasar yang wajar adalah Rp 557,660 miliar lebih. Nilai penambahan penyertaan modal negara pada PT BTDC (Persero) ditetapkan sebesar nilai buku sebelum dilakukan penilaian untuk nilai pasar yang wajar, yakni Rp 260 miliar. Selisih nilai pasar yang wajar dan nilai buku yakni sebesar Rp 297,66 miliar dihibahkan pemerintah Indonesia kepada PT BTDC sebagai insentif bagi pengembangan di kawasan Mandalika Resort. Insentif ini digunakan sesuai dengan tujuan hibah, yakni hanya bagi pengembangan kawasan Lombok Tengah oleh PT BTDC.
DPRD NTB pernah membentuk Pansus LTDC ini kemudian berhasil mengambil alih hak pengelolaan lahan (HPL) kawasan ini. HPL ini kemudian diserahkan ke pemerintah pusat saat PT Emaar berkomitmen berinvestasi di kawasan ini dengan total investasi hingga triliunan rupiah. Penyerahan HPL kepada pemerintah pusat ini merupakan syarat yang diajukan Emaar. Sehingga pemerintah pusat kemudian menunjuk BUMN PT BTDC sebagai pemenang HPL dan memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang disertai dengan penerbitan Perturan Pemerintah (PP) mengenai penyertaan modal dan penetapan PT BTDC sebagai pengelola kawasan. Krisis keuangan global yang juga berdampak pada sektor finansial Dubai memaksa Emaar melakukan restrukturisasi investasi termasuk di kawasan Mandalika Resort. Nasi sudah menjadi bubur. HPL yang sudah diserahkan ke PT BTDC harus dibayar mahal, sebab PT Emaar juga batal berinvestasi.
Sejak Presiden SBY melaunching Master Plan Perluasan dan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI), angin segar berhembus. Pemerintah memberikan lampu hijau untuk menetapkan kawasan Mandalika Resort ini sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK). Presiden SBY juga sudah memberikan komitmennya untuk membantu pengembangan kawasan ini. Bahkan, presiden akan melakukan grounbreaking untuk menandai pembangunan proyek Mandalika Resort ini. Meskipun kalangan dewan menuding groundbreaking ini hanya akal-akalan PT BTDC. Sebab groundbreaking ini hanya mendompleng proyek perluasan kawasan yang dilakukan Hotel Novotel Lombok.
Sementara itu, kalangan DPRD NTB membuat keputusan berbeda dengan apa yang dilakukan eksekutif. Para politisi Udayana mendesak Pemprov NTB untuk mengambil alih HPL dari PT BTDC. Ada beragam alasan yang disampaikan dewan terkait opsi ini. Penyerahan HPL kepada BTDC ini penyerahan bersyarat, yakni syarat PT Emaar berinvestasi. Sehingga ketika PT Emaar batal berinvestasi, maka HPL juga harus dikembalikan PT BTDC. Bahkan, keputusan politik dewan ini sudah ditetapkan melalui sidang paripurna dewan belum lama ini. Untuk mengawal keputusan ini, dewan sudah membentuk panitia khusus (Pansus) Mandalika Resort yang ditetapkan dalam sidang paripurna dewan, Jumat malam 7 Oktober 2011. Pansus ini dipimpin Politisi Golkar H Misbach Mulyadi, Wakil Ketua H Husni Jibril dari Fraksi PDI Perjuangan, dan Sekretaris Johan Rosihan dari PKS.

Muncul Lima Opsi Pengembangan Mandalika Resort
PT Emaar hengkang dan PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC) berencana menggandeng investor lain dengan membentuk konsorsium baru. Tidak ada hiruk pikuk publik merespons persoalan ini. Namun, sejumlah pemerhati pariwisata NTB dan politisi Udayana (DPRD NTB) mulai menyuarakan desakan agar Pemprov NTB mengambil alih Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari tangan BTDC. Pemprov NTB pun belum melontarkan opsi apapun, tapi ikut larut dalam pusaran arus rencana BTDC. Pemprov NTB mulai membuat opsi setelah DPRD NTB menetapkan keputusan politik melalui sidang paripurna DPRD NTB meminta pemprov mengambil alih HPL kawasan Mandalika Resort dari BTDC atau dikenal sebagai opsi pertama. Opsi yang ditawarkan pemprov atau dikenal sebagai opsi kedua ini, kali pertama dilontarkan Kepala Badan Penanaman Modal (BPM) NTB Dr Lalu Bayu Windya dalam rapat dengan DPRD NTB di gedung dewan setempat. Usulan Bayu ini baru sebatas pendapat pribadi.
Opsi yang diungkapkan adalah membentuk Joint Venture Company (JV-Co) dengan PT BTDC. Yakni PT BTDC membentuk anak perusahaan yang akan bergandengan dengan Pemprov NTB melalui perusda baru atau menunjuk salah satu BUMD yang ada. Kemudian membentuk perusahaan baru yang terdiri dari BTDC dan Pemprov NTB yang diwakili perusda. Opsi kedua ini kemudian dikenal sebagai opsi eksekutif. Sebab opsi ini dilontarkan langsung Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi kepada publik.
Peneliti Pusat Penelitian Hukum dan Sumberdaya (P2HSD) Universitas Mataram Lalu Syaipuddien menegaskan, opsi yang disampaikan pemprov dengan membentuk JV-Co ini merupakan opsi yang visible. Sebab, penguasaan BTDC atas Mandalika Resort ini ditetapkan melalui peraturan pemerintah (PP), yakni PP 50/2008 yang kemudian diubah menjadi PP 33/2009 tentang Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pengembangan Pariwisata Bali alias BTDC. Posisi Pemprov NTB lemah, sebab secara hukum PT BTDC yang memiliki wewenang terhadap kawasan ini. ‘’Jika ingin mengambil alih, maka PP harus diubah dulu. Sementara, pemerintah pusat masih ingin tetap BTDC menjadi kuasa pengelola kawasan Mandalika Resort ini. Jika penolakan BTDC ini hanya karena sentimen adanya nama ‘Bali’, maka alasan penolakan ini terlalu prematur,’’ tandasnya.
Di sisi lain, opsi JV-Co ini diragukan peneliti P2HSD Unram Dr Wira Pria Suhartana. Sebab, jika menginginkan pembentukan JV-Co, pemprov juga harus memiliki modal dalam JV-Co yang terbentuk. ‘’Jika ingin ada komposisi saham, tentu harus ada modal yang harus diberikan pemprov,’’ ujarnya.
            Selain dua opsi resmi ini, ada juga tiga opsi lain yang masih belum ditetapkan menjadi keputusan institusi tertentu. Seperti opsi ketiga yang dilontarkan Ketua Komisi III DPRD NTB H Misbach Mulyadi. Dikatakan, jika pengelolaan kawasan Mandalika Resort ini tetap dengan pola JV-Co, maka Misbach menawarkan mitra BUMN lain, bukan BTDC. Mitra yang dianggap paling tepat untuk mengembangkan kawasan ini adalah bermitra dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) (Persero) dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan. Ada juga opsi keempat yang bisa dilakukan asalkan ada keberpihakan pemerintah pusat. Yakni, mendirikan BUMN baru bidang parwisata di NTB seperti halnya PT BTDC. BUMN baru ini bisa diberi nama Lombok-Sumbawa Tourism Development Corporation (LSTDC) atau nama lain. Pada esensinya, BUMN ini fokus untuk mengembangkan pariwisata di NTB, seperti halnya PT BTDC yang mengelola kawasan Nusa Dua Bali. Opsi ini dimunculkan birokrat senior Chairul Mahsul yang kini menjabat Inspektur Provinsi NTB.
Opsi kelima yang muncul masih berpola sama dengan JV-Co. Gandengan juga tidak berubah, tetap berkolaborasi dengan PT BTDC selaku pemilik HPL dan HGU kawasan. Namun, dibuat skema tertentu seperti halnya skema kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Dalam rentang tahun tertentu, saham JV-Co tetap dipegang PT BTDC, tapi kemudian secara bertahap diberikan kepada Pemprov NTB melalui mekanisme hibah yang ditetapkan dalam sebuah PP, seperti halnya pemerintah pusat terhadap PT BTDC. ‘’Opsi seperti ini ini bisa diajukan,’’ tandas Kepala BPM Dr Lalu Bayu Windya mengenai opsi kelima ini.
Akademisi IAIN Mataram Dr Kadri memandang, BTDC selaku BUMN membawa kepentingan negara, bukan kepentingan kelompok tertentu. Yang perlu didorong adalah bagaimana Pemprov NTB mampu ’’menggunakan‘’ power Presiden SBY untuk mendesak BTDC mempercepat realisasi investasi di kawasan Mandalika Resort. Sehingga momentum ini harus bisa dimanfaatkan Pemprov NTB.
            Masih dalam #forumwiken, Ketua FSNTBI NTB Syarif Husein menegaskan, opsi yang harus dipilih Pemprov NTB harus mendapat manfaat bagi masyarakat. Opsi-opsi yang muncul ini merupakan opsi yang harus dipilah pemprov, mana yang terbaik. Berkaca dari kasus Bandara Internasional Lombok (BIL), yang awalnya diharapkan akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerja. Namun, pada kenyataannya berbeda ketika BIL benar-benar beroperasi. ‘’Jangan sampai hal seperti itu terjadi di kawasan Mandalika Resort ini,’’ tandasnya.

Pansus Dewan Pasang Jurus Hadang Groundbreaking
Tensi politik di DPRD NTB semakin meninggi terkait rencana groundbreaking Mandalika Resort yang akan dilakukan PT Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Pansus yang dibentuk DPRD NTB tetap bertekad untuk mempercepat proses pengembangan kawasan ini tanpa melibatkan PT BTDC. Bahkan groundbreaking kawasan yang akan dilakukan presiden diupayakan agar dibatalkan. Jikapun groundbreaking tetap dilakukan, maka bukan groundbreaking Mandalika Resort yang dilakukan, tapi hanya groundbreaking Novotel. Sebab BTDC hanya diaggap memanfaatkan groundbreaking oleh Presiden SBY ini sebagai stempel untuk menguasai penuh kawasan ini tanpa bisa lagi diganggu gugat.
Pansus ini berupaya akan bertemu langsung dengan Presiden SBY saat berkunjung ke Lombok 19-21 Oktober mendatang untuk membicarakan persoalan pengembangan kawasan ini. Perlu ada sikap tegas dari presiden mengenai opsi apa yang akan dijalankan, sehingga paling bermanfaat bagi masyarakat NTB dan kepentingan nasional.
Adanya kesan Bali menjual Lombok ini juga sempat diangkat Presiden SBY saat rakor kabinet terbatas dengan Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi di istana negara Jakarta belum lama ini. Diharapkan, persoalan ini bisa diselesaikan tanpa mengganggu proses pengembangan kawasan ini.
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum, kawasan Mandalika Resort dengan keindahan alam yang dimiliki, bukanlah surga bagi investasi. Sebab, ada beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian semua pihak, mulai dari pemda, aparat keamanan, penggiat pariwisata, hingga masyarakat. Kendala-kendala terkait pengembangan kawasan Mandalika Resort ini, seperti frekwensi konflik horizontal antarmasyarakat setempat dan kecenderungan tindak anarkis dalam berpendapat merupakan hal tabu bagi kehadiran investor dan kemajuan sektor pariwisata. Ditambah lagi adanya keterbatasan prasarana dan sarana, khususnya sarana akomodasi pariwisata di wilayah Loteng yang hanya terdiri dari 108 kamar hotel berbintang. Selebihnya kelas losmen dari total 400 kamar.
Dari skala makro, kawasan Mandalika Resort ini menjadi salah satu tujuan investasi yang mengangkat NTB masuk dalam deretan tujuh daerah yang termasuk regional champion dari sisi investasi bersama Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan sejumlah provinsi lainnya. Apalagi dengan keberadaan Bandara Internasional Lombok (BIL) yang sudah mulai beroperasi. BIL dan Mandalika Resort ini merupakan paket kawasan yang saling mendukung sehingga jika kendala-kendala yang disebutkan di atas ditiadakan, maka kawasan ini 100 persen menjadi surga investasi. Terlebih lagi dengan status kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang memberikan beragam kemudahan dan insentif.
Tentu saja, opsi-opsi terkait pengembangan kawasan Mandalika Resort ini masih bisa bermunculan. Masyarakat berharap, Pemprov NTB memilih dan memilah opsi yang akan dipilih merupakan opsi yang terbaik dengan manfaat yang paling besar terhadap masyarakat NTB. Pengembangan kawasan Mandalika Resort akan kehilangan makna jika tidak memberikan mafaat besar bagi masyarakat NTB, khususnya Lombok Tengah yang selama ini tertinggal. ‘’Jika kawasan ini hanya dikembangkan tapi dikelola orang lain dan kita jadi penonton, lebih baik tanah itu dibagikan ke masyarakat,’’ kata Wakil Ketua DPRD NTB HL Moh Syamsir dalam sebuah rapat di gedung dewan.(*)

Friday, 23 September 2011

BIL DAN MIMPI KESEJAHTERAAN DI NTB

SETELAH sekian kali ditunda, Bandara Internasional Lombok (BIL) akhirnya akan benar-benar beroperasi per 1 Oktober mendatang. Ekspektasi masyarakat dan pemerintah terhadap kehadiran bandara ini sangat besar. Bahkan BIL seolah-olah menjadi jalan keluar bagi seluruh keterpurukan daerah ini. Rencana kedatangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan bandara ini nampaknya menjadi ‘’dewa penolong‘’ sehingga target operasional ini benar-benar tercapai. Jika Presiden SBY tidak dijadwalkan datang, banyak pihak yang pesimis BIL bisa beroperasi, apalagi jika melihat langsung progres penuntasan proyek yang lamban. Terminal BIL yang ditargetkan tuntas akhir Juli belum tuntas hingga pertengahan September. Keyakinan kita juga akan buyar jika menyaksikan tumpukan tanah liat, akses masuk, serta keberadaan kerbau gembalaan warga yang masih riang bermain lumpur di sekitar area BIL.
Terlepas dari itu, keyakinan operasional BIL ini terus dipupuk dan direproduksi, sehingga keyakinan ini sudah menjadi keyakinan umum warga NTB. Apalagi bagi masyarakat yang belum pernah menyaksikan langsung proyek bernilai hampir Rp 1 triliun ini. Selain keyakinan operasional, reproduksi ekspektasi juga sangat massive. Dalam bayangan publik, BIL beroperasi, maka efek yang dihasilkan akan luar biasa dan langsung terasa. Lapangan kerja tidak akan lagi sulit. Bisnis pun akan lancar. Bahkan BIL juga berpengaruh terhadap aspek religiusitas masyarakat, khususnya terkait dengan ibadah haji.
Ekspektasi warga ini juga bisa dilihat dari ramainya warga yang berkunjung ke proyek ini, haya sekadar untuk bisa menyaksikan megaproyek yang diimpikan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini. Ekspektasi masyarakat ini tentu bukan hal yang negatif. Ekspektasi ini tentu modal sosial yang besar bagi pemerintah, sehingga ekspektasi ini tidak hanya ada dalam pikiran, tapi hadir seperti hujan yang membasahi bumi. Perwujudan ekspektasi tentu tidak datang seperti hujan. Manusia tinggal menunggu proses alam. Tapi harus ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi.
            Begitulah pengantar diskusi #forumwiken di Lombok Timur Center, Jumat malam 23 September 2011 dengan tema ‘’BIL dan Mimpi Kesejahteraan di NTB‘’.

Soal gangguan keamanan dan ketertiban (Kamtibmas) serta konflik horizontal yang masih marak menjadi warning bagi pemerintah daerah dan pihak terkait. Masyarakat yang terbiasa konflik, maka secara tidak langsung tidak akan berat melakukan kejahatan. Apalagi, setiap hari berasosiasi dengan konflik, sehingga fakta ini harus menjadi soal yang harus diperhatikan. ‘’Pembangunan jalan, tapi persoalan ini juga harus direspons. Pariwisata belum maju, BIL belum beroperasi, tingkat kriminalitas masih tinggi. Persoalan ekonomi menjadi salah satu persoalan,’’ kata peneliti P2HSD Universitas Mataram Lalu Syaepuddien alias Gayep.
Memberikan suntikan ekonomi kepada masyarakat merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan. Berkaca dari konflik Petemon-Karang Genteng di Kota Mataram, konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun, kini mulai hilang. Penyebabnya sederhana, ekonomi masyarakat membaik. Sebab, masyarakat akan disibukkan sibuk dengan aktivitas ekonomi tanpa sempat lagi memikirkan konflik.
Di sisi lain, optimisme adanya percepatan pembangunan terkait operasional BIL ini seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB Lalu Gita Aryadi. ‘’Tugas Disbudpar ke depan, mempercepat mimpi-mimpi menjadi kenyataan. BIL itu gula, sekarang sudah mulai para travel agent maupun investor bergentayangan ke BIL,’’ kata Gita yang berkesempatan hadir dalam diskusi #forumwiken akhir pekan lalu ini.
Operasional BIL ini berdampak besar pada sektor pariwisata. Gita kemudian menyebutkan, 14 November mendatang ada penerbangan pesawat carter dari Rusia membawa puluhan tamu. Jika BIL benar-benar beroperasi, maka pesawat carter Rusia ini akan terbang dua kali per bulan ke NTB. Dan maskapi penerbangan Air Asia akan beroperasi mulai 17 Desember bertepatan dengan HUT NTB. ‘’Air Asia sudah teken kontrak dengan Gubernur NTB,’’ beber mantan juru bicara Pemprov NTB ini.
Adanya hal positif terkait kehadiran BIL ini juga diungkapkan ketua FSNTBI NTB Syarif Husein. ‘’BIL ini bagian dari infrastruktur, pasti ada dampaknya. Selama ini transportasi di NTB high cost, dengan kehadiran BIL akan mendukung arus keluar masuk barang,’’ tandasnya.

Tengok Sejarah, Siapkan SDM
Sejak 1995 hingga 2003, sengketa lahan BIL menjadi sengketa agraria paling besar dan terdahsyat di NTB, bahkan di Indonesia. Aspek ini mesti menjadi perhatian pemerintah dalam pengembangan kawasan dan pemberdayaan masyarakat. Sengketa warga terkait pembangunan BIL ini lahir dari pembayaran lahan yang bermasalah. Hal ini juga terjadi pada sektor pariwisata, di mana banyak lahan yang bermasalah. Harga lahan yang seharusnya dibeli sesuai NJOP justru dibayar jauh dari harga NJOP. Bahkan tidak sedikit warga pemilik lahan hanya dibayar dengan beras. Paska reformasi bergulir 1998, pemilik lahan kembali masuk ke lahan tersebut seiring dengan tertundanya pembangunan proyek ini. Ada SK khusus untuk pejabat tertentu sebagai tim pembayar. ‘’Adanya aspek keadilan bagi masyarakat yang pernah terjadi pada masyarakat di lingkar bandara ini mau tidak mau akan menjadi persoalan ke depan,’’ ungkap peneliti P2HSD Unram Lalu Syaepuddin yang juga sempat mengadvokasi warga Tanak Awu saat masih berstatus mahasiswa Unram.
Harus disadari, lanjutnya, masyarakat sekitar tidak bisa seluruhnya bekerja di BIL. Sehingga bagaimana menyiapkan keterampilan masyarakat untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja terampil dari daerah lain. Seharusnya, sejak awal sudah ada desain sektor apa saja yang akan disiapkan, mulai dari sektor jasa, kerajinan, pertanian dan lainnya. Keberadaan BIL ini mesti bisa mendongkrak aktivitas masyarakat. ‘’Memperhatikan pengalaman sejarah ini penting bagi kita ke depannya. Bisa menyiapkan lembaga kursus, keterampilan, pertanian. Hasil-hasil pertanian diproteksi agar bisa dipakai untuk sektor pariwisata,’’ ungkapnya.
Persoalan aspek kesejarahan ini juga menjadi sorotan Direktur Semmaidea Communication Adhar Hakim. Dia menganalisa keberadaan BIL ini tidak hanya cukup dengan asumsi semata, serta memandang BIL konteksnya sebagai infrastruktur transprortasi semata. Keberadaan BIL ini harus dilihat secara kritis, bagaimana masyarakat lokal tergusur serta korban warga yang bermula dari megaproyek ini. ‘’Kita memang tidak bisa berbicara mundur lagi. Tapi apakah fair cara kita mendorong bandara ini. Bagi saya, cara meletakkkan BIL ini dulu tidak fair dan harus kita kritisi,’’ ungkapnya.
Saat ini BIL sudah hadir dan harus dijawab pemerintah. Sektor apa yang akan didukung dengan keberadaan BIL. Apakah infrastruktur transportasi ini akan mampu mendorong sektor pariwisata maupun ekonomi masyarakat secara luas. ‘’Kita akan berhadapan dengan logika ekonomi mikro dan makro. Apa potensi yang disiapkan ke depannya. Persoalan embarkasi haji juga masih menjadi PR. Lombok sebagai lumbung TKI juga perlu dipikirkan ke depannnya,’’ pungkasnya.
            Sementara itu, Ketua Walhi NTB Ali Alkhairi melihat pembangunan BIL ini dalam dua aspek. Pertama, lahirnya konflik berkepanjangan di masyarakat. Sengketa lahan warga Tanak Awu pernah menjadi perhatian nasional dan diindikasikan banyak terjadi pelanggaran HAM. Kedua, dari sisi ekspektasi masyarakat, keberadaan BIL ini membawa dampak psikologis yang tinggi bagi perekonomian masyarakat. Contoh kecilnya saja, harga sewa rumah di Kota Praya dan sekitarnya meningkat tajam. Meskipun di sisi lain, kehadiran BIL ini menciptakan kondisi yang justru memarjinalkan masyarakat sekitar. Kesiapan SDM masyarakat setempat tidak dipersiapkan sejak awal menyambut operasional BIL ini. Padahal, masyarakat berlomba-lomba bekerja atau paling tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan BIL. ‘’Kehadiran BIL ini juga justru menimbulkan dampak negatif di bagian utara Lombok Tengah. Eksploitasi air dilakukan secara berlebihan, tambang golongan C dan lainnya. Hampir setiap infrastruktur yang dibangun selalu dengan alasan BIL,’’ beber mantan aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) ini.
Khairi mengaku belum melihat adanya model penanggulangan persoalan yang ada di kawasan bandara ataupun di kawasan Loteng pada umumnya. Khususnya terkait penyiapan daya saing masyarakat. ‘’Belum ada perda atau perbup untuk mengatur kawasan ini. Masyarakat lokal bisa termarjinalkan,’’ ungkapnya.


Kemajuan Bisa Tertinggal di Landasan
Jika meminjam istilah WW Rostow yang menyebut era tinggal landas (take off) dengan keberadaan BIL ini, maka aspek kesiapan SDM, sinkronisasi program SKPD, serta persoalan-persoalan strategis lain diharapkan mendapat porsi yang cukup dari Pemprov NTB. Jika tidak, maka NTB justru akan tertinggal di landasan. Tesis yang dibangun Pemprov NTB, kehadiran BIL ini sebagai era tinggal landas yang ditandai dengan investasi besar dan peran pemerintah tidak lagi dominan sebagai pemantik ekonomi. Era inilah tahapan ketiga dalam teori pembangunan sebelum memasuki tahap keempat, yakni gerakan menuju kedewasaan dan tahap kelima, konsumsi tingkat tinggi. Tesis ini juga semakin massive mereproduksi ekspektasi masyarakat yang sejak awal sangat tinggi. Era take off ini digambarkan seperti halnya pesawat terbang yang akan tinggal landas, selanjutnya terbang dan melesat hingga mencapai tujuan.
Era tinggal landas seperti yang sedang dijargonkan pemprov ini juga pernah dipopulerkan pemerintahan Orde Baru dengan mazhab developmentalisme yang dianut. Bahkan teori dan tahapan pembangunan ini sangat akrab di telinga generasi sebelum reformasi, sebab teori ini masuk menjadi bahan kurikulum pendidikan sekolah dasar. Sehingga reproduksi ekspektasi yang sudah mencapai doktrinasi meresap dalam setiap generasi yang menyentuh pendidikan formal. Namun, jargon developmentalisme ini tiba-tiba menguap dan runtuh begitu saja ketika orde baru tumbang oleh gerakan reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi berkepanjangan. Sebagian ekonom, akademisi dan aktivis gerakan kemudian melahirkan tesis, bahwa teori developmentalisme ala Rostow ini sebagai salah satu tanda keruntuhan teori developmentalisme yang diusung ekonom W.W.Rostow. Tesis ini tentu tidak mengada-ada jika menyaksikan kondisi Indonesia yang dibangun atas dasar teori ini. Indonesia yang sudah diklaim masuk era tinggal landas menuju negara maju, justru tertinggal di landasan. Sementara, negara-negara lain melesat maju menjadi raksasa ekonomi baru, seperti China, India dan Korea. Pemerataan pembangunan juga tidak kita saksikan, bahkan jarak masyarakat kaya dan yang miskin sangat jomplang. Dan struktur jumlah kelas ekonomi masyarakat semasa Orde Baru seperti halnya bentuk piramida.
            Pengamat politik NTB Dr Kadri berpandangan, Pemprov NTB maupun Pemda Lombok Tengah harus belajar banyak dari keberadaan Bandara Selaparang di Kota Mataram.  Khususnya jika melihat dari kondisi masyarakat di lingkaran bandara. Bagaimana masyarakat Kebon Talo yang terpinggirkan, bahkan aliran listrik saja belum genap dua tahun dinikmati. Lalu-lalang pesawat terbang dengan aktivitas ekonomi yang tinggi justru menjadi tontonan masyarakat lingkar bandara ini. Kehadiran BIL ini akan memengaruhi masyarakat setempat. Bisa jadi warga di sekitar kawasan BIL menjadi masyarakat yang berbeda dari saat ini, dengan corak budaya yang lebih individualis.
Kadri memberikan solusi jangka panjang yang mesti segera dilakukan Pemprov NTB, yakni penyiapan dan pembenahan sektor pendidikan. Sinkronisasi antar-SKPD untuk menyiapkan keterampilan dan kemampuan SDM masyarakat terkait kehadiran BIL ini juga mesti mendapat prioritas yang cukup. Anggaran keaksaraan fungsional (KF) ataupun dana keaksaraan usaha mandiri (KUM) yang dimiliki Pemprov NTB harus diprioritaskan kepada masyarakat di lingkaran bandara. Dana CSR dari PT AP I juga perlu ditahih untuk memberdayakan masyarakat setempat. Dan selajutnya, perlu dilakukan pemetaan untuk mengidentifikasi persolaan serta kebutuhan riil masyarakat di lingkar bandara. Kemudian dicarikan solusi yang tepat.
Sedangkan Ketua Walhi NTB Ali Alkhairi memandang belum ada political will yang jelas dari pemerintah untuk memproteksi masyarakat lokal. Belum ada kebijakan yang menyentuh langsung masyarakat untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul saat ini seperti kasus pencurian, perampokan, dan kekerasan.
            Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB Lalu Gita Aryadi menjelaskan, Pemprov NTB telah menetapkan enam desa di sekitar kawasan BIL sebagai desa cepat tumbuh. Ada juga puluhan generasi muda yang ada di enam desa ini akan memperoleh diklat dari Kemenbudpar sebagai persiapan ke depannya. Operasional BIL bukan berarti tujuan tercapai dan berhenti begitu saja, tapi pekerjaan dan tugas selanjutnya masih menanti seperti mencari investor untuk mempercepat pengembangan Kawasan Mandalika Resort. ‘’Saat ini gema BIL ini sudah bergaung. Berbagai even sudah disiapkan,’’ ungkapnya.
            Keberadaan BIL beserta adanya rencana pengembangan pariwisata ini sejalan dengan penetapan NTB sebagai salah satu provinsi yang masuk koridor V Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Mengenai kesiapan SDM, Gita meminta semua pihak agar tidak pesimis, sebab semua langkah belum sempurna. Kesiapan SDM di wilayah perkotaan saja belum 100 persen, apalagi di desa-desa. Dari hasil survei Bank Indonesia dan Universitas Mataram, aspek keamanan dan infrastruktur yang menjadi persoalan paling besar. ‘’Hospitality kita belum sempurna. Tapi potensi mengalahkan kekurangan kita,’’ bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Inspektur Provinsi NTB Chairul Mahsul yag juga hadir dalam diskusi #forumwiken ini. ‘’Ekspektasi yang besar ini perlu kita sambut dengan menyiapkan masyarakat,’’ tandasnya.
Optimisme ini juga diungkapkan dr Kurnia Akmal, sektor pariwisata kita tidak akan maju, dan adanya lompatan besar ini tidak akan terwujud jika tidak ada BIL. Dengan keberadaan BIL ini, banyak hal yang bisa dilakukan. ‘’Sekarang bagaimana mewujudkan hal-hal menuju mimpi ini,’’ tandas dokter yang bertugas di RSUD dr Soedjono Selong ini.

Langkah Pemerintah Jelang Operasinal BIL
Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi memimpin langsung rapat koordinasi final check operasional Bandara Internasional Lombok (BIL) beberapa hari menjelang operasional BIL. Seluruh pihak terkait dikonfirmasi mengenai kesiapan BIL yang akan dimulai 1 Oktober. Beroperasinya BIL ini tidak hanya menandai NTB memiliki bandara baru dengan kapasitas lebih besar. Identitas di dunia penerbangan juga akan berubah. Tiga kode huruf penanda untuk pintu masuk NTB khususnya Pulau Lombok melalui Bandara Selaparang yang awalnya berkode AMI, akan berubah seiring dengan operasional BIL. Tiga kode identitas penerbangan yang diusulkan adalah LOP. Pada dasarnya, tiga kode ini tidak memiliki kaitan apapun dengan nama lokasi. Tiga kode ini hanya kode pengenal didasarkan kesepakatan yang ditetapkan. Awalnya, kode yang diinginkan tetap seperti singkatan BIL. Namun, kode BIL ini sudah digunakan di salah satu bandara di dunia, sehingga tidak bisa digunakan. Begitu juga dengan sejumlah kode yang diidentifikasi sesuai dengan nama lokasi badara, seperti LBK dan lainnya juga sudah digunakan bandara lain. Sejumlah bandara di Indonesia, bahkan di dunia, memiliki kode yang identik dengan lokasi bandara tersebut, seperti Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng memiliki kode CKG. Begitu juga dengan Bandara Juanda di Surabaya memiliki kode SUB, dan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar memiliki kode UPG sesuai nama terdahulunya Ujung Pandang.
Tiga kode identitas ini juga sempat menjadi salah satu topik hangat dalam rakor yang digelar gubernur. Komandan Lanud Rembiga Letkol (Pnb) Antariksa Anondo berpandangan, kode penerbangan ini hanyalah signal terhadap pesawat dari bandara, serta kode lokasi saja. Jadi kode LOP ini tidak memiliki kaitan dengan nama lokasi. Sejumlah fasilitas vital lainnya juga dipertanyakan gubernur dalam rakor yang dihadiri seluruh pihak terkait operasional BIL ini. Fasilitas penerangan jalan juga sempat menjadi sorotan. Kapan fasilitas ini mulai dipasang dan kapan seluruh penerangan ini akan terpasang juga dipertanyakan. Bahkan, gubernur sempat menyela penjelasan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) NTB Ridwan Syah saat memberikan penjelasan terkait penerangan jalan ini. Gubernur langsung meminta Ridwan agar memberikan kepastian waktu saja, tanpa embel-embel lain.
Dikatakan Ridwan, panjang total bypass menuju BIL dari Patung Sapi (Gerung) sekitar 21 kilometer dan membutuhkan sekitar 400 titik lampu penerang. PT PLN (Persero) bersedia memasang fasilitas penerang jalan di bypass ini sepanjang 14 kilometer yang bersumber dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. ‘’Pemasangan penerang jalan dengan sumber energi solar cell ini akan dimulai PLN per 3 Oktober,’’ ungkapnya.
Sedangkan dana APBD NTB akan menutupi sekitar 5 kilometer lebih bypass yang belum memiliki peneragan jalan. Jika APBD segera disahkan, maka diperkirakan pemasangan lampu jalan ini akan tuntas akhir Oktober mendatang. Tidak hanya itu, Dishubkominfo juga menargetkan akan segera memasang marka, rambu serta papan penanda arah sementara di sejumlah titik untuk menjaga keamanan berkendara bagi pengguna jalan. ‘’Sekitar 1,5 kilometer akan bisa dipasang sebelum BIL beroperasi,’’ ungkap Ridwan.
Selain itu, pihak Pertamina khususnya kepala DPPO Pertamina Selaparang yang akan berubah nama menjadi DPPO BIL juga menjelaskan kesiapannya memberikan pelayanan pasokan bahan bakar. Meskipun fasilitas DPPO Pertamina belum dituntaskan di BIL, namun dengan fasilitas mobil tangki yang ada, pihak DPPO Pertamina optimistis akan mampu melayani kebutuhan bahan bakar pesawat yang beroperasi. Apalagi jumlah jadwal penerbangan tidak berubah, seperti kebutuhan di Bandara Selaparang, yakni 30-40 kiloliter per hari.
            Kelancaran akses menuju Bandara Internasional (BIL) dari Kota Mataram dan kabupaten lain menjadi salah satu hal yang memerlukan perhatian banyak pihak, khususnya pemerintah daerah dan aparat keamanan. Jalur bypass menuju BIL sepanjang 21 kilometer dari Tugu Patung Sapi Lombok Barat menjadi salah satu fasilitas vital yang tidak kalah penting terkait operasional BIL. Tanpa jalur bypass ini, akses menuju BIL akan terkendala. Volume kendaraan yang tidak sebanding dengan lebar jalan, serta aktivitas perekonomian masyarakat di sejumlah titik membuat jalur lama menuju BIL ini tidak layak dijadikan akses utama.
Saat BIL beroperasi, dipastikan jalur bypass yang bisa digunakan hanya satu jalur dua lajur. Jalur tambahan diperkirakan baru akan tuntas akhir tahun ini.
 Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB H Dwi Sugiyanto menjelaskan, capaian pekerjaan jalan bypass jalur kedua ini sudah mencapai 60 persen, seperti yang dilaporkan dalam rakor final check operasional BIL, dua hari lalu. Persoalan jalan ini tidak hanya soal fisik saja, tapi kelancaran akses jalan juga menjadi soal.
Sedangkan Karo Ops Polda NTB Kombes Pol Pujiyono Dulrahman juga mengungkapkan adanya fenomena sosial budaya masyarakat yang akan jadi kendala aksesibilitas ke BIL. Yakni adanya aktivitas nyongkolan alias iring-iringan pengantin. Jika memungkinkan, Polda NTB meminta kepada pihak Pemda Lombok Tengah dan Lombok Barat menerbitkan regulasi khusus yang melarang penggunaan bypass BIL untuk nyongkolan.
Pemda tidak hanya mengeluarkan surat imbauan, sebab imbauan tidak akan cukup untuk antisipasi. Dan pihak kepolisian tidak memiliki kewenangan yang cukup jika hanya menindaklanjuti surat imbauan. ‘’Harus ada regulasi jelas, jadi ini yang akan kita jadikan dasar,’’ kata Pujiyono.
Selain itu, adanya aktivitas warga yang berjualan di sepanjang akses BIL juga diminta segera disterilkan. Adanya beberapa pasar tumpah di wilayah Lombok Tengah dikhawatirkan mengganggu aksesibilitas, sehingga persoalan ini juga segera mendapat perhatian. Sudah ada peringatan awal agar warga tidak memasang tempat jualan di trotoar jalan. Peringatan ini sudah cukup efektif. Sebagian besar jualan warga sudah dipindahkan ke halaman masing-masing.
            Operasional BIL ini menjadi berkah tersendiri bagi warga Lombok Tengah. Sehingga berbagai bentuk ungkapan bahagia dan syukur dilakukan. Bahkan, pemda setempat berencana akan melakukan acara tasyakuran di BIL jika memungkinkan. Sehingga pihak Dishubkominfo Loteng yang hadir dalam rakor ini meminta kejelasan mengenai acara yang akan digelar. Apakah gendang beleq diperbolehkan masuk ke areal apron BIL atau tidak. Serta persoalan teknis lainnya. ‘’Soal teknis acara, pemda silakan berkonsultasi dengan pihak PT AP I,’’ jelas Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi.(*)