>Penertiban Dicurigai Diboncengi Kepentingan Modal
Keputusan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) NTB membentuk tim penertiban Gili Indah yang diberi label Tertib Gili Gatarin 2011 mengejutkan banyak pihak. Apalagi setelah aparat masuk ke gili lengkap dengan peralatan dan senjata seperti perlengkapan perang. Kalangan gerakan civil society di NTB tidak tinggal diam. Langkah pemerintah daerah dan aparatur kemanan negara dianggap telah diboncengi kepentingan modal. Adanya kepentingan modal yang memboncengi penertiban gili bukan hal yang mengada-ada, tapi didasari indikasi dan fakta yang ada di lapangan. Sikap ngotot TNI/Polri yang tetap ingin berada di Gili Trawangan dengan jumlah besar dan peralatan lengkap menjadi kecurigaan yang mendasar. Jika hanya ingin memerangi narkotika, miras, dan preman, tentu saja aparat kemanan tidak memerlukan pasukan bersenjata lengkap dengan tameng seperti layaknya pasukan huru-hara.
Sebelum operasi dimulai, Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wacyunadi menegakaskan, tim penertiban akan mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif. Untuk memudahkan evaluasi, 90 hari tenggat waktu yang diberikan dilakukan secara bertahap per 10 hari. ‘’Kita akan evaluasi setiap tahapan, kami mengedepankan tindakan preemtif dan preventif, sesuai dengan protap kepolisian,’’ kata Kapolda bersama Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi dan Kajati Didiek Darmanto saat memberikan keterangan pers di kantor gubernur belum lama ini.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram, Lalu Saepuddien menegaskan, logika penanganan preventif yang dilakukan kepolisian rancu jika aparat datang dengan membawa senjata seperti hendak perang. Seharusnya, aparat sadar dan mengetahui kondisi masyarakat yang traumatik terhadap aparat keamanan, yakni dengan aksi penggusuran yang sudah dilakukan tiga kali sejak masyarakat mendiami Gili Trawangan. ‘’Tahun 1993 tentara lengkap dengan senjata bentrok dengan warga. Jelas trauma masyarakat masih ada dan harus dipahami. Kita setuju usaha pro yustisia tapi tentu harus dilakukan dengan bijak. Jika aparat masuk dengan membabi buta, kita tentu bertanya, ada apa di balik itu?’’ papar mantan aktivis FKMM ini.
Ada juga fakta yang mengejutkan yang dibeberkan peserta diskusi. Gabungan pengusaha diindikasikan tengah bersiap melakukan investasi di Gili Trawangan jika penertiban sukses. Di salah satu titik di pesisir Lombok Utara telah ditempatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pagar beton Willcon. Informasinya,, pagar-pagar beton ini akan digunakan untuk mengelilingi areal milik PT WAH dan PT GTI dengan luas 100 hektare lebih, jika aparat telah berhasil menggusur warga. Pagar beton ini sengaja ditempatkan jauh dari akses menuju Gili Indah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan yang paling mengejutkan, investor yang akan menguasai gili ini memiliki hubungan bahkan menjadi bagian dari salah satu partai politik besar di NTB.
Catatan : Informasi ini terbukti dengan adanya pagar beton yang diangkut beberapa waktu lalu.
Catatan : Informasi ini terbukti dengan adanya pagar beton yang diangkut beberapa waktu lalu.
Soal traumatik masyarakat ini juga diakui Dosen Fakultas Hukum Unram Widodo Dwi Putro yang telah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat gili. Adanya traumatik ini bisa dideteksi dengan adanya nama-nama warga yang disematkan orang tua mereka untuk mengingat peristiwa penggusuran dekade 1990-an, seperti Sensowati, Gusuruddin dan lainnya. Setidaknya sudah ada tiga kali aksi penggusuran warga di Gili Trawangan dan melibatkan aparat kemananan dan pemerintah daerah, dan saat ini diindikaskan akan terjadi penggusuran jilid keempat. Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi, lanjut Widodo, dikenal memiliki program 3A (Absano, Adono, dan Akino). Dan sering diplesetkan dengan Apeno? yang dalam keseharian masyarakat Sasak adalah tanda tanya apa. ‘’Tapi sekarang apakah gubernur berani mengatakan dan menambah program menjadi 4A, Apeno dijadikan angka penggusuran nol,’’ tandasnya.
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB. Di Gili Trawangan, TGB juga menang. Begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan masyarakat menginginkan perubahan. Mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini. Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberikan analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin. ‘’Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya? Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah. Ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekarang gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya. Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990-an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. Bahkan Widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995.
Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’i melihat apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat. Kata dia, pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung, masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut. Kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di Tanjah-Anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ridho, ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi masal dan gratis) yang dilakukan BPN hadir dengan sokongan World Bank. Begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.
>Langkah Nomor Wahid; Tuntaskan Sengketa Agraria!
Tema diskusi rutin #forumwiken NTB tentang prahara Gili Trawangan dengan tema Gili: Ironi, Ekonomi, Party, Solusi, dan Ilusi ini dihadiri belasan orang. Mereka terdiri atas akademisi muda, tokoh LSM, Ormas Buruh-Petani, jurnalis dan kalangan organisasi kepemudaan. Sisi historis hingga akar persoalan yang didasari pada fakta dan kajian ilmiah diulas lengkap. Sengketa agraria ditengarai menjadi muara seluruh ekses dan persoalan kawasan pariwisata. Tidak hanya di Desa Gili Indah, Lombok Utara, tapi 15 kawasan pariwisata yang ditetapkan Pemprov NTB melalui Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 1989 yang diteken H Warsito Kusuma. Langkah terbaik dan mendesak yang harus dilakukan Pemprov NTB adalah menuntaskan sengketa agraria.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Dr Wira Pria Suhartana menegaskan, akar permasalahan yang terjadi di kawasan pariwisata terkait kebijakan dan regulasi agraria yang tidak pernah clear hingga hari ini. Persoalan agraria ini terkait dengan kepastian hukum dan penegakan hukum. Penguasaan negara atas lahan dan diberikan pemanfaatan kepada kapital tidak relevan dari sisi konstitusi dan konteks keadilan. Tanah seharusnya dikuasai dan dikelola masyarakat untuk kesejahteraan. ‘’Perlu ada setting kebijakan. Masyarakat yang menguasai dan memiliki, sedangkan posisi negara sebagai regulator. Keberpihakan negara harus kepada rakyat, bukan yang lain,’’ tandasnya.
Regulasi yang ada juga tumpang tindih. Contohnya UU 25/2007 tentang Investasi cukup detail mengatur hak guna usaha maupun hak guna bangunan. Padahal, persoalan ini juga diatur dalam UU Pokok Agraria, begitu juga dengan PP yang ada. Hal ini memicu adanya pembentukan dan penetapan kebijakan tidak sinkron, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan di daerah. Soal penegakkan hukum, lanjutnya, khususnya terkait penertiban lahan terlantar yang diatur dalam PP 11/2010, penetapan formal menjadi lahan terlantar prosedurnya berbelit-belit dan murni hanya dilakukan Badan Pertanahan Negara, sedangkan daerah tidak memiliki kewenangan apapun. ‘’Kewenangan pusat melalui BPN ini sebenarnya bisa didelegasikan ke daerah. berikan kesempatan kepada daerah mengelola persoalan agraria ini, sehingga bisa dilakukan dengan cepat,’’ tandasnya.
Pengamat komunikasi politik NTB Dr Kadri yang sedang melakukan penelitian di Gili Trawangan mengungkapkan, masyarakat Gili Trawangan telah memiliki benteng kultural yang kuat. Masyarakat multietnik yang mendiami pulau kecil ini mampu menempatkan posisi dalam dua sisi, yakni gili sebagai lumbung ekonomi dan gili sebagai ranah sosial budaya dan religi. Sikap aparat keamanan yang cenderung show of force sangat disayangkan. Banyak metode operasi yang bisa digunakan kepolisian. Pihak kepolisian tentu sudah paham dan cerdas dalam hal menyelesaikan sesuatu. ‘’Jika hanya berkaitan dengan miras, narkoba dan premanisme, kenapa harus turunkan kekuatan penuh lengkap dengan senjata. Hal ini memunculkan kecurigaan adanya kepentingan lain yang memboncengi aparat keamanan,’’ tegasnya.
Bagi Kadri, sengketa agraria merupakan konflik yang bisa diselesaikan secara administratif. Komunikasi merupakan langkah jitu yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Penertiban Trawangan dengan pola yang dilakukan Pemprov-TNI/POLRI saat ini merupakan pilihan yang sangat tidak tepat dari sisi komunikasi politik. Penertiban Gili Trawangan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan ke depan. Penertiban gili yang ditetapkan pemprov dalam rakor FKPD NTB kemudian ditetapkan sebagai kebijakan yang sangat prematur. Pasalnya, kebijakan ini ditetapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang dari beragam aspek. Padahal, gili memiliki keunikan dan keistimewaan dengan keberadaan para wisatawan mancanegara, sehingga wilayah ini telah menjadi semacam zona internasional. Menyelesaikan persoalan di Gili Trawangan tidak bisa menggunakan aturan konvenisonal yang umum diterapkan di Indonesia. Namun, mesti dilihat dalam kacamata dalam multiperspektif. ‘’Ketika aparatur negara turun dengan kekuataan penuh ke gili, mesti dipertimbangkan persoalan keamanan dan kenyamanan wisatawan. Gili juga disusun dari sekian banyak kepentingan,’’ bebernya.
Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor NTB Suaeb Qury mengaku siap menerjunkan Densus 99 yang dimilki Banser NU untuk mengawal proses penertiban. Jangan sampai, aksi penertiban yang dilakukan aparatur pemerintah justru membuat masyarakat lokal terusir dan tercerabut dari akar budayanya. Dan keinginan masyarakat jelas, menginginkan aparatur negara bersenjata lengkap tidak lagi berada di Trawangan. Suaeb bahkan menuding penertiban atas nama miras, narkoba dan premanisme ini hanya tameng untuk mengamankan kepentingan pihak tertentu. Dan pemerintah daerah turut larut dalam kepentingan ini tanpa sadar. Ada indikasi kesengajaan untuk menimbulkan situasi yang tidak nyaman dengan isu miras, narkoba ini. Isu ini sangat matching dengan kondisi gili, jika menggunakan isu teroris tentu tepat. ‘’Pemerintah harus menghargai sosio-kultural masyarakat, jangan sampai mengabaikan kepentingan rakyat. Tapi selama ini, apa yang dilakukan aparat pemerintah lebih dominan untuk kepentingan pemilik modal,’’ tandasnya.
>Kearifan Lokal Harus Dipelihara
Masyarakat di Desa Gili Indah memiliki kearifan lokal yang menjadi benteng masyarakat di tengah pengaruh budaya dan modal yang terus menghimpit. Sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah menjaga kearifan lokal, bukan sebagai pihak yang menghancurkan tatanan nilai masyarakat. Pariwisata menjadi sektor andalan Provinsi NTB bersama Bali dan NTT yang masuk dalam koridor V Master Plan Pengembangan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Alam NTB yang indah menjadi modal utama yang diyakini mampu menggaet investor nasional maupun asing. Pihak asinglah yang dianggap mampu membawa kesejahteraan, dan konsep investasi inilah yang menjadi satu-satunya ruh pengembangan pariwisata di NTB.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim berpandangan, aparatur negara seringkali beranggapan, masyarakat tidak mampu mengelola pariwisata dengan baik. Sehingga harus diambil alih dan menyerahkan pengelolaan lahan pariwisata kepada investor. Padahal, Gili Trawangan telah menjadi bukti bagaimana masyarakat mampu mengelola pariwisata dengan baik. Bahkan mampu menjadikan Trawangan sebagai ikon pariwisata NTB, bahkan Indonesia. Secara mandiri, masyarakat Gili Trawangan telah mampu menghapuskan kebiasaan membom ikan. Bahkan dari sisi lingkungan, masyarakat melakukan upaya konservasi secara mandiri seperti penangkaran penyu yang dilakukan mantan Kadus Trawangan Zainuddin. Begitu juga dengan rehabilitasi terumbu karang juga dilakukan komonitas setempat. Termasuk kearifan masyarakat dalam memerangi narkoba yang masuk ke gili. ‘’Jika pemerintah gagal menyelesaikan persoalan Trawangan, ini akan akan jadi pelajaran berharga dan akan menjadi preseden buruk bagi penguasa menyelesaikan konflik di wilayah lain,’’ tandasnya.
Bagi jurnalis senior ini, pengembangan pariwisata di NTB seringkali salah kaprah. Indikator keberhasilan yang digunakan selalu bersandar pada hal-hal kuantitaif seperti angka kunjungan, hunian kamar, jumlah hotel, dan lainnya. Pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak menjadi perhatian. Pembangunan kawasan selalu identik dengan penggusuran dan masyarakat selalu menjadi korban. Adhar tidak mengaggap peran pemerintah signifikan terkait meningkatnya tingkat kunjungan maupun investasi di bidang pariwisata yang terus berkembang. ‘’Alam kita memang indah dan mau dikunjungi orang dan datang berinvestasi,’’ ungkapnya.
Ketua FSNTBI NTB Syarif Husein tidak sependapat dalam memandang persoalan ini. Harus diakui, kata dia, jika diukur dari target RPJMD, pariwisata di NTB sudah on the track dengan adanya capaian angka jumlah kunjungan dan lainnya. ‘’Dan persoalan konflik ini tidak ada indikator yang ditetapkan pemerintah,’’ ujarnya.
Keberhasilan masyarakat Trawangan menata diri juga diakui akademisi IAIN Mataram Dr Kadri yang sedang melakukan riset di kawasan Gili. Masyarakat gili sudah bisa membedakan Gili Trawangan sebagai wilayah bisnis dan kawasan leluhur mereka. Di satu sisi, ketika masyarakat menganggap kawasan gili sebagai wilayah bisnis. ‘’Masjid yang termegah di Pemenang ada di Trawangan dan ketika subuh, jamaahnya cukup banyak,’’ bebernya. Masyarakat gili, lanjutnya, sudah mampu menginternalisasi bagaimana pentingnya industri pariwisata bagi kehidupan mereka. Tapi di sisi lain, masyarakat juga mampu membangun moral dengan adanya awiq-awiq. Warga maupun security island tidak akan melarang wisatawan asing bermesraan di pantai, bahkan melakukan hal yang lebih jauh usai party di kafe-kafe. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk orang lokal maupun Indonesia. Jika ada akan langsung ditangkap warga. Hanya saja, perlu dipikirkan kelanjutan masyarakat Gili ke depan. Kadri mengusulkan agar masyarakat yang memiliki homestay atau usaha agar membangun rumah di gili dan di daratan utama. Masyarakat datang ke gili hanya untuk berbisnis. Apa yang dihasilkan dari bisnis ini bisa digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah dan tinggal di daratan.
Sikap Pemprov NTB yang masih belum menunjukkan sikap tegas, apakah Pemprov NTB tidak setuju dengan rencana penggusuran warga atau tidak. Sebab jika pemprov tidak sepakat dengan langkah yang dilakukan TNI/Polri, maka seharusnya, SK penertiban gili ini dicabut. Dalam diskusi #forumwiken ini, ada dua opsi tegas yang harus melandasi persoalan sengketa lahan Gili Trawangan. Pertama, jika pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat, maka pemerintah bisa mengusir seluruh warga yang ada di Gili Trawangan dan memasukkan investor membagun Trawangan. Opsi kedua sebaliknya, cabut HGU/HGB perusahaan yang menguasai lebih dari 100 hektare lahan yang ada di Gili Trawangan dan pengelolaannya kemudian diberikan kepada masyarakat.(*)
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB. Di Gili Trawangan, TGB juga menang. Begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan masyarakat menginginkan perubahan. Mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini. Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberikan analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin. ‘’Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya? Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah. Ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekarang gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya. Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990-an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. Bahkan Widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995.
Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’i melihat apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat. Kata dia, pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung, masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut. Kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di Tanjah-Anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ridho, ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi masal dan gratis) yang dilakukan BPN hadir dengan sokongan World Bank. Begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.
>Langkah Nomor Wahid; Tuntaskan Sengketa Agraria!
Tema diskusi rutin #forumwiken NTB tentang prahara Gili Trawangan dengan tema Gili: Ironi, Ekonomi, Party, Solusi, dan Ilusi ini dihadiri belasan orang. Mereka terdiri atas akademisi muda, tokoh LSM, Ormas Buruh-Petani, jurnalis dan kalangan organisasi kepemudaan. Sisi historis hingga akar persoalan yang didasari pada fakta dan kajian ilmiah diulas lengkap. Sengketa agraria ditengarai menjadi muara seluruh ekses dan persoalan kawasan pariwisata. Tidak hanya di Desa Gili Indah, Lombok Utara, tapi 15 kawasan pariwisata yang ditetapkan Pemprov NTB melalui Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 1989 yang diteken H Warsito Kusuma. Langkah terbaik dan mendesak yang harus dilakukan Pemprov NTB adalah menuntaskan sengketa agraria.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Dr Wira Pria Suhartana menegaskan, akar permasalahan yang terjadi di kawasan pariwisata terkait kebijakan dan regulasi agraria yang tidak pernah clear hingga hari ini. Persoalan agraria ini terkait dengan kepastian hukum dan penegakan hukum. Penguasaan negara atas lahan dan diberikan pemanfaatan kepada kapital tidak relevan dari sisi konstitusi dan konteks keadilan. Tanah seharusnya dikuasai dan dikelola masyarakat untuk kesejahteraan. ‘’Perlu ada setting kebijakan. Masyarakat yang menguasai dan memiliki, sedangkan posisi negara sebagai regulator. Keberpihakan negara harus kepada rakyat, bukan yang lain,’’ tandasnya.
Regulasi yang ada juga tumpang tindih. Contohnya UU 25/2007 tentang Investasi cukup detail mengatur hak guna usaha maupun hak guna bangunan. Padahal, persoalan ini juga diatur dalam UU Pokok Agraria, begitu juga dengan PP yang ada. Hal ini memicu adanya pembentukan dan penetapan kebijakan tidak sinkron, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan di daerah. Soal penegakkan hukum, lanjutnya, khususnya terkait penertiban lahan terlantar yang diatur dalam PP 11/2010, penetapan formal menjadi lahan terlantar prosedurnya berbelit-belit dan murni hanya dilakukan Badan Pertanahan Negara, sedangkan daerah tidak memiliki kewenangan apapun. ‘’Kewenangan pusat melalui BPN ini sebenarnya bisa didelegasikan ke daerah. berikan kesempatan kepada daerah mengelola persoalan agraria ini, sehingga bisa dilakukan dengan cepat,’’ tandasnya.
Pengamat komunikasi politik NTB Dr Kadri yang sedang melakukan penelitian di Gili Trawangan mengungkapkan, masyarakat Gili Trawangan telah memiliki benteng kultural yang kuat. Masyarakat multietnik yang mendiami pulau kecil ini mampu menempatkan posisi dalam dua sisi, yakni gili sebagai lumbung ekonomi dan gili sebagai ranah sosial budaya dan religi. Sikap aparat keamanan yang cenderung show of force sangat disayangkan. Banyak metode operasi yang bisa digunakan kepolisian. Pihak kepolisian tentu sudah paham dan cerdas dalam hal menyelesaikan sesuatu. ‘’Jika hanya berkaitan dengan miras, narkoba dan premanisme, kenapa harus turunkan kekuatan penuh lengkap dengan senjata. Hal ini memunculkan kecurigaan adanya kepentingan lain yang memboncengi aparat keamanan,’’ tegasnya.
Bagi Kadri, sengketa agraria merupakan konflik yang bisa diselesaikan secara administratif. Komunikasi merupakan langkah jitu yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Penertiban Trawangan dengan pola yang dilakukan Pemprov-TNI/POLRI saat ini merupakan pilihan yang sangat tidak tepat dari sisi komunikasi politik. Penertiban Gili Trawangan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan ke depan. Penertiban gili yang ditetapkan pemprov dalam rakor FKPD NTB kemudian ditetapkan sebagai kebijakan yang sangat prematur. Pasalnya, kebijakan ini ditetapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang dari beragam aspek. Padahal, gili memiliki keunikan dan keistimewaan dengan keberadaan para wisatawan mancanegara, sehingga wilayah ini telah menjadi semacam zona internasional. Menyelesaikan persoalan di Gili Trawangan tidak bisa menggunakan aturan konvenisonal yang umum diterapkan di Indonesia. Namun, mesti dilihat dalam kacamata dalam multiperspektif. ‘’Ketika aparatur negara turun dengan kekuataan penuh ke gili, mesti dipertimbangkan persoalan keamanan dan kenyamanan wisatawan. Gili juga disusun dari sekian banyak kepentingan,’’ bebernya.
Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor NTB Suaeb Qury mengaku siap menerjunkan Densus 99 yang dimilki Banser NU untuk mengawal proses penertiban. Jangan sampai, aksi penertiban yang dilakukan aparatur pemerintah justru membuat masyarakat lokal terusir dan tercerabut dari akar budayanya. Dan keinginan masyarakat jelas, menginginkan aparatur negara bersenjata lengkap tidak lagi berada di Trawangan. Suaeb bahkan menuding penertiban atas nama miras, narkoba dan premanisme ini hanya tameng untuk mengamankan kepentingan pihak tertentu. Dan pemerintah daerah turut larut dalam kepentingan ini tanpa sadar. Ada indikasi kesengajaan untuk menimbulkan situasi yang tidak nyaman dengan isu miras, narkoba ini. Isu ini sangat matching dengan kondisi gili, jika menggunakan isu teroris tentu tepat. ‘’Pemerintah harus menghargai sosio-kultural masyarakat, jangan sampai mengabaikan kepentingan rakyat. Tapi selama ini, apa yang dilakukan aparat pemerintah lebih dominan untuk kepentingan pemilik modal,’’ tandasnya.
>Kearifan Lokal Harus Dipelihara
Masyarakat di Desa Gili Indah memiliki kearifan lokal yang menjadi benteng masyarakat di tengah pengaruh budaya dan modal yang terus menghimpit. Sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah menjaga kearifan lokal, bukan sebagai pihak yang menghancurkan tatanan nilai masyarakat. Pariwisata menjadi sektor andalan Provinsi NTB bersama Bali dan NTT yang masuk dalam koridor V Master Plan Pengembangan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Alam NTB yang indah menjadi modal utama yang diyakini mampu menggaet investor nasional maupun asing. Pihak asinglah yang dianggap mampu membawa kesejahteraan, dan konsep investasi inilah yang menjadi satu-satunya ruh pengembangan pariwisata di NTB.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim berpandangan, aparatur negara seringkali beranggapan, masyarakat tidak mampu mengelola pariwisata dengan baik. Sehingga harus diambil alih dan menyerahkan pengelolaan lahan pariwisata kepada investor. Padahal, Gili Trawangan telah menjadi bukti bagaimana masyarakat mampu mengelola pariwisata dengan baik. Bahkan mampu menjadikan Trawangan sebagai ikon pariwisata NTB, bahkan Indonesia. Secara mandiri, masyarakat Gili Trawangan telah mampu menghapuskan kebiasaan membom ikan. Bahkan dari sisi lingkungan, masyarakat melakukan upaya konservasi secara mandiri seperti penangkaran penyu yang dilakukan mantan Kadus Trawangan Zainuddin. Begitu juga dengan rehabilitasi terumbu karang juga dilakukan komonitas setempat. Termasuk kearifan masyarakat dalam memerangi narkoba yang masuk ke gili. ‘’Jika pemerintah gagal menyelesaikan persoalan Trawangan, ini akan akan jadi pelajaran berharga dan akan menjadi preseden buruk bagi penguasa menyelesaikan konflik di wilayah lain,’’ tandasnya.
Bagi jurnalis senior ini, pengembangan pariwisata di NTB seringkali salah kaprah. Indikator keberhasilan yang digunakan selalu bersandar pada hal-hal kuantitaif seperti angka kunjungan, hunian kamar, jumlah hotel, dan lainnya. Pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak menjadi perhatian. Pembangunan kawasan selalu identik dengan penggusuran dan masyarakat selalu menjadi korban. Adhar tidak mengaggap peran pemerintah signifikan terkait meningkatnya tingkat kunjungan maupun investasi di bidang pariwisata yang terus berkembang. ‘’Alam kita memang indah dan mau dikunjungi orang dan datang berinvestasi,’’ ungkapnya.
Ketua FSNTBI NTB Syarif Husein tidak sependapat dalam memandang persoalan ini. Harus diakui, kata dia, jika diukur dari target RPJMD, pariwisata di NTB sudah on the track dengan adanya capaian angka jumlah kunjungan dan lainnya. ‘’Dan persoalan konflik ini tidak ada indikator yang ditetapkan pemerintah,’’ ujarnya.
Keberhasilan masyarakat Trawangan menata diri juga diakui akademisi IAIN Mataram Dr Kadri yang sedang melakukan riset di kawasan Gili. Masyarakat gili sudah bisa membedakan Gili Trawangan sebagai wilayah bisnis dan kawasan leluhur mereka. Di satu sisi, ketika masyarakat menganggap kawasan gili sebagai wilayah bisnis. ‘’Masjid yang termegah di Pemenang ada di Trawangan dan ketika subuh, jamaahnya cukup banyak,’’ bebernya. Masyarakat gili, lanjutnya, sudah mampu menginternalisasi bagaimana pentingnya industri pariwisata bagi kehidupan mereka. Tapi di sisi lain, masyarakat juga mampu membangun moral dengan adanya awiq-awiq. Warga maupun security island tidak akan melarang wisatawan asing bermesraan di pantai, bahkan melakukan hal yang lebih jauh usai party di kafe-kafe. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk orang lokal maupun Indonesia. Jika ada akan langsung ditangkap warga. Hanya saja, perlu dipikirkan kelanjutan masyarakat Gili ke depan. Kadri mengusulkan agar masyarakat yang memiliki homestay atau usaha agar membangun rumah di gili dan di daratan utama. Masyarakat datang ke gili hanya untuk berbisnis. Apa yang dihasilkan dari bisnis ini bisa digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah dan tinggal di daratan.
Sikap Pemprov NTB yang masih belum menunjukkan sikap tegas, apakah Pemprov NTB tidak setuju dengan rencana penggusuran warga atau tidak. Sebab jika pemprov tidak sepakat dengan langkah yang dilakukan TNI/Polri, maka seharusnya, SK penertiban gili ini dicabut. Dalam diskusi #forumwiken ini, ada dua opsi tegas yang harus melandasi persoalan sengketa lahan Gili Trawangan. Pertama, jika pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat, maka pemerintah bisa mengusir seluruh warga yang ada di Gili Trawangan dan memasukkan investor membagun Trawangan. Opsi kedua sebaliknya, cabut HGU/HGB perusahaan yang menguasai lebih dari 100 hektare lahan yang ada di Gili Trawangan dan pengelolaannya kemudian diberikan kepada masyarakat.(*)
No comments:
Post a Comment