Friday, 5 August 2011

RAMADAHAN DITENGAH JERATAN KONSUMERISME



>Mendadak Religius, Konsumsi Meningkat Tajam
Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, sendi-sendi kehidupan masyarakat berubah, bahkan perubahan ini terjadi sejak minimal seminggu sebelum matahari terakhir di bulan Sya’ban. Salah satu fenomena klasik yang terjadi adalah kenaikan harga komoditas pokok. Apa yang memicu kenaikan harga ini, kenapa masyarakat berbondong-bondong melakukan aksi borong? bukankan berpuasa berarti menahan menahan diri?
Tahun ini, kenaikan harga komoditas di pasar tradisional di NTB, khususnya di Kota Mataram beranjak hingga angka enam persen. Sejumlah komoditas juga mengalami penurunan, meskipun tidak signifikan. Sejak H-3 puasa, pasar-pasar, swalayan dan pusat-pusat perbelanjaan ramai diserbu warga, khususnya ibu-ibu rumah tangga yang membeli kebutuhan pokok. Korporasi bisnis juga ikut memanfaatkan momentum puasa ini, bahkan mampu mendikte masyarakat dengan iklan-iklan di televisi berbau Ramadhan meskipun intinya tetap meminta masyarakat membeli,membeli dan membeli.
"Melalui iklan khas Ramadhan, masyarakat didikte bahwa berbuka dengan sirup merk tertentu puasa lebih berkah dan sempurna. Aneka macam pesan konsumtif lainnya juga terus dijejalkan" 
Begitu juga media massa, bahkan stasiun-stasiun televisi menghadirkan beragam acara khusus selama bulan ramadhan, sehingga persepsi yang diciptakan televisi menunjukkan Ramadhan sebenarnya. Artis-artis juga tidak mau ketinggalan, Ramadhan merupakan momentum melepas album-album religi, saatnya menggunakan baju koko, kerudung dan aneka jenis fashion yang relatif sopan dan terkesan religius. Sehingga semua kalangan mendadak religius, pabrik-pabrik kopiah dan produk-produk berbau religius kebanjiran order, bahkan banyak pabrik yang bersiap jauh hari sebelum Ramadhan datang.

Ketua Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Suaeb Qury yang juga hadir dalam diskusi lepas ini juga mengakui adanya pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat NTB, kehidupan yang cenderung hedonistik menjadi tren umum, sehingga makna puas tidak mampu lagi dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari. ‘’Saat ramadhan berlomba-lomba memberikan makanan pada fakir miskin, padahal 11 bula lainnya hal ini juga harus tetap dilakukan,’’ paparnya. Bagi Qury, tradisi berpuasa para ulama dengan banyak beri’tikaf semestinya menjadi contoh baik yang mesti diikuti masyarakat, kesempatan Ramadhan menjadi momentum perbanyak ibadah, bukan saling memamerkan diri melalui kegiatan konsumtif atau kegiatan simbolis lainnya. ‘’Momentum ini seharusnya menjadi momen ketauladanan, merefleksikan diri dan hal yang tentu berkaitan dengan ibadah puas,’’ paparnya.

Hal senada juga diungkapkan Birokrat senior Chairul Mahsul terkait fenomena Ramadhan ini. Menurutnya, dari sisi ekonomi, pada dasarnya, Ramadhan berarti ada perubahan jam makan, yakni berbuka dan sahur, kebutuhan dasar pada dasarnya tidak berubah ketika tidak berpuasa, bahkan bisa jadi berkurang. Sehingga seharusnya masyarakat tidak perlu mempersiapkan diri secara ekonomi. ‘’Saya tentu sedih melihat fenomena ini, terlebih saat jelang Lebaran,’’ akunya. Sebagai gambaran, Bank BRI menyiapkan Rp 2,4 Triliun selama Ramadhan, di NTB Bank Indonesia Mataram menyiapkan Rp 20 M. Inflasi membengkak, stok kebutuhan ikut dijaga ketat pemerintah. Jika menjalankan puas konsisten pada makna yang dikandung, maka tentu fenomena ekonomi ini tidak akan terjad. ‘’Apa betul Ramadhan ini menjadi moratorium korupsi? Satu bulan saja tidak ada hal yang berbau korupsi, hal ini hanya bisa muncul dari kesadaran moralitas orang per orang,’’ bebernya. ‘’Ini tentu bukan moral Islam, seharunya ini menjadi momentum perubahan dan dijalankan 11 bulan lainnya, soal moralitas ini menjadi hal yang penting,’’ tambahnya.
Dikatakan, realitas ramadhan ini justru menunjukkan adanya realitas moral masyarakat. Apakah adanya perubahan selama Ramadhan ini merupakan bentuk perubahan mendasar dan dilakukan secara sadar atau tidak. Apakah perubahan ini berangkat dari moralitas muslim atau justru hanya sekedar ritual saja. ‘’Rasulullah memberikan contoh, tidak ada perubahan aktifitas saat Ramadhan, bahkan justru melakukan aktifitas yag membutuhkan energi lebih banyak, melakukan perang dan lainnya, ibadah tentu tidak berkurang bahkan bertambah dengan adanya pelaksanaan sholat tertentu selama Ramadhan. Dari sisi sosial ekonomi jelas tidak ada perubahan,’’ papar Chairul yang juga Inspektur Provinsi NTB ini. ‘’Saya justru curiga, jangan-jangan puas yang kita lakukan merupakan level paling rendah. Kita lebih sibuk siapkan diri secara ekonomi, dibandingkan soal moral,’’ ungkapnya dalam diskusi yang berlangsung hingga larut malam ini.

Jurnalis Lombok Post Fathul Rahman menuturkan, masyarakat non muslim juga ikut mengalami ‘’adaptasi‘’ di bulan Ramadhan, bahkan ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan khusus di bulan Ramadhan, khususnya para siswa-siswi yang beragama Hindu di sejumlah sekolah di Kota Mataram, kegiatan ini diistilahkan dengan Pasrama yakni pembinaan keagamaan Hindu denga sejumlah rangkaian kegiatan ibadah. ‘’Dari penelusuran yang saya lakukan, Pasrama ini dilakukan bukan dalam rangka beribadah karena bulan ramadhan datang, tapi mereka terbawa efek psikologis religius,’’ jelasnya saat diskusi rutin #forumwiken di Lombok Timur Center akhir pertama Agustus. Mendadak Religius, itulah fenomena umum yang terjadi di Indonesia termasuk NTB setiap kali datang Ramadhan, khususnya bagi kalangan muslim. Dijelaskan, dari sejumlah literatur ilmiah, disebutkan bahwa fenomena perubahan signifikan ini hanya terjadi di Indonesia saja, di Negara-negara Timur Tengah tidak ada perubahan signifikan perubahan kehidupan masyarakat, kecuali adanya aktifitas ibadah tambahan seperti Sholat Tarawih dan puasa.

>Islam Didikte Televisi, Ritual Dijadikan Jualan
Televisi telah menjadi ‘’agama‘’ baru yang sangat digandrungi masyarakat. Deretan acara televisi telah mampu menyihir masyarakat dan masuk ke sendi-sendi kehidupan. Nyaris, apa yang ditayangkan televisi menjadi ajaran yang lebih disukai dibandingkan ajaran kitab suci. Program sinetron beraroma religius palsu jauh lebih digandrungi masyarakat dan kawula muda dibandingkan program Maghrib Mengaji yang digaungkan Pemprov NTB dan Kanwil Kemenag NTB.
Pakar komunikasi IAIN Mataram Dr Kadri tidak mau ketinggalan dalam #forumwiken dengan tema ‘’ramadhan, Realitas Sosial, Agama dan Media‘’ ini, meskipun Kadri hanya memberikan pendapat melalui saluran telepon. Bagi Kadri, media menjadi salah satu aktor dalam komersialisasi Ramadhan. Beragam kemasan acara, iklan dan potongan tayangan di televisi seolah begitu memuja Ramadhan dan disambut semarak. Namun, jika didalami, apa yang ditampilkan di televisi dengan beragam acara hingga perilaku artis di ruang publik justru tidak cerminkan ramdhan, sebab lebih kental aroma komersil. ‘’Ramadhan menjadi tidak ubahnya pop culture, acara-acara jelang berbuka dan sahur dikemas, orang menyambut beramadhan,’’ ungkap Kadri yang mengaku sedang menjalankan tugas dinas di luar daerah. Ramadhan yang seharusnya dimaknai sebagai ritual ibadah umat Islam, justru kini berubah wajah menjadi jualan korporasi. Ramadhan tinggal bungkus dengan isi yang berbeda. ‘’Apa yang ada justru mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai Islam,’’ pungkas alumni IAIN Alauddin Makassar ini.

Birokrat senior Chairul Mahsul juga menunjuk hidung media massa sebagai biang keladi pergeseran budaya secara massive dengan kecepatan luar biasa ini. Dan media audio visual alias Televisi dianggap sebagai media yang paling beracun. ‘’Akhir 1980an masih belum nampak adanya pergeseran yang signifikan, media massa hanya media cetak, radio dan televisi hanya TVRI saja. Tapi kini, kita dihatam televisi ditempat privasi kita dikamar dan merangsang kita untuk konsumtif,’’ beber Chairul yang juga Inspektur Provinsi NTB ini. Menurutnya, fenomena komersialisasi dengan budaya konsumerisme tingkat tinggi ini tidak terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Sebelum media massa khususnya televisi masuk ke sendi-sendi kehidupan, Ramadhan masih dipandang sebagai momentum ibadah yang dijalankan secara kaffah, khususnya di NTB. masjid-masjid masih selalu penuh sejak awal Ramadhan hingga akhir. Dan jikapun ada semarak non ibadah hanya dilakukan anak-anak dengan aneka permainan tradisonal. ‘’Stasiun Televisi tentu tidak akan menempatkan Acara Tafsir Al Misbach yang diasuh Prof Dr H Quraish Sihab dalam prime time. Tapi akan ditempatkan pada timing kurang menarik bagi pengiklan,’’ bebernya.

Pendapat ini dibantah M Zainal Abidin, jurnalis Batam Pos (Jawa Pos Grup) yang hadir dalam diskusi #forumwiken ini. Bagi pria kelahiran Lombok Timur ini, media tidak bisa ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung jawab, sebab posisi media hanya sebagai pintu, siapun bisa memanfaatkannya. Sehingga seharusnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana merawat media, sebab media tentu lebih cakap memberikan arahan dengan pendekatan komunikasi. ‘’Media tidak bisa mendorong perubahan, posisi media hanya sebagai pintu. Pemerintah bisa mengambil peran sesuai dengan proporsi yang ada,’’ jelas pria berkaca mata ini.
Selain fenomena media, pemerintah/negara juga dianggap sebagai sebagai salah satu aktor yang membuat pergeseran budaya dan perilaku masyarakat. Aparatus negara seringkali melakukan kegiatan maupun program yang cenderung mendikte masyarakat, tanpa melakukan upaya pendekatan yang menyentuh esensi dasar Ramadhan. Ramadhan juga biasanya identik dengan penertiban dan operasi yang dilakukan TNI/POLRI maupun pemerintah daerah tidak mau ketinggalan. Polri melaksanakan operasi pekat (penyakit masyarakat) jelang Ramadhan, miras disita, pasangan tak resmi yang ditemukan di kamar hotel digelandang meskipun hanya akan dijerat dengan tindak pidana ringan. Operasi ini seolah memberikan kesan maksiat hanya dilarang saat Ramadhan saja, sedangkan dibulan lain silahkan saja. Fenomena pengemis dan gelandangan juga bermunculan, bahkan banyak pengemis dadakan. Mengemis hanya dijalankan saat bulan Ramadhan, sebab saat Ramadhan banyak orang kaya yang mendadak pemurah, dan tidak sedikit pengusaha sengaja membagi zakat harta secara massal dan dibagikan langsung kepada masyarakat. Bahkan, tidak jarang kita dipertontonkan hal yang ironis, orang-orang miskin yang pingsan tergencet berebut uang sedekah Rp 5 ribu.

Sementara itu, Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) NTB Ahmad Rifai mengungkapkan, Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia, sengaja dirusak dengan hal-hal yang meruntuhkan idelogi keislaman masyarakat. Dan embel-embel Ramadhan ditengarai hanya sebagai gincu agar tampil lebih menarik dan tanpa sadar merasuki masyarakat. Sikap pemerintah yang memberikan karpet merah bagi modal asing tanpa regulasi melindungi kepentingan nasional ditengarai sebagai pemicu cepatnya ‘’kerusakan‘’ massal benteng-benteng nilai agama masyarakat. Faktor kemiskinan menjadi salah satu aspek yang mendorong adanya pergeseran budaya ini. Ramadhan, lanjutnya, seharusnya tidak menurunkan produktifitas, proses poduksi mesti tetap normal, diiringi peningkatan moralitas, praktek anti korupsi, berproduksi politik, serta menerbitkan kebijakan yang tidak rugikan masyarakat. ‘’Dalam pandangan Islam, kemiskinan mendekati kekufuran,’’ tandasnya.
Dihadapan realitas sosial yang konsumtif, mesjid tidak lagi memiliki magnet yang kuat. Bahkan semakin ujung Ramadhan, mesjid semakin sepi dari aktifitas ibadah, khususnya shalat tarawih. Giliran mal dan pusat perbelanjaan yang disesaki pengunjung. Media dijadikan sebagai alat penyambung hancurkan kepala umat Islam. Akumulas rohaniah dan amal ibadah tidak hadir dalam realitas. ‘’Ramadhan telah berubah menjadi bulan akumulasi kapital. Dalam pandangan sederhana, ini adalah kesempatan bagi elit melakukan hegemoni’’ ungkapnya.

>Negara Melemah, Penguatan Karakter Bangsa PR Bersama
Reformasi 1998 yang kemudian diikuti perubahan sistem pemerintahan dengan penerapan desentralisasi, perubahan politik juga ikut membawa perubahan masyarakat dan merusak karakter masyarakat. Kini masyarakat lebih liberal dan konsumtif, tanpa ada nilai dan karakter yang menjadi benteng dan identitas masyarakat yang katanya kental dengan budaya ketimuran. Terlepas dari kontroversi yang ada, Bupati Lombok Timur periode 2004-2008 H Ali Bin Dachlan menjadi salah satu contoh yang baik bagaimana pemerintah daerah bisa mengambil peran dan kepeloporan mengarahkan kebiasaan masyarakat. Ali BD berhasil menghidupkan perayaan tahun baru hijriyah dan masyakat tidak lagi merayakan tahun baru masehi. Meskipun hal ini bisa dilakukan dengan beragam upaya dan cenderung memaksa. Begitu juga dengan kebijakan zakat bagi para PNS dengan pembentukan Bazda yang memicu demo besar-besaran di Lombok Timur. Begitu juga dengan sikap keras mantan Wali Kota H Moh Ruslan dalam melakukan pelarangan perayaan hari valentine bagi kawula muda muslim.
Hal diatas muncul salah satu contoh kongkrit bahwa pemerintah daerah bisa melakukan perubahan dan lepas dari mainstream yang berlaku di masyarakat, bahkan bisa membawa masyarakat keluar dari mainstream yang keliru. Sehingga pemerintah diyakini bisa melakukan perubahan terkait realitas sosial ramadhan ini. namun, kini pemerintah justru mengkorting jam kerja saat Ramadhan tiba, sempat ada ‘’debat‘’ panjang mengenai adanya korting jam kerja yang diberlakukan Pemerintah. Pengurangan jam kerja oleh pemerintah ini dianggap sebagai bentuk legalisasi terhadap anggapan bahwa Ramadhan berarti menurunkan produktifitas. Padahal, harusnya pemerintah bisa melakukan upaya ‘’paksa‘’ agar masyarakat, khususnya para abdi negara tidak ikut larut dalam asumsi dan anggapan yang sesat yang dianggap benar.

Chairul Mahsul, selaku bikrokrat yang hadir dalam diskusi #forumwiken ini membantah adanya legalisasi anggapan Ramadhan menurunkan produktifitas ini. Sebab jam kerja dan produktifitas PNS bukanlah kausalitas. ‘’Prinsip utama yang dilakukan pemerintah adalah adanya niat dan asusmsi positif. Pemerintah berasumsi para PNS melakukan ibadah sholat, tadarus dan kegiatan ibadah lain yang menyedot tenaga. Sehingga jam masuk dimundurkan satu jam,’’ jelasnya.
Pria berkumis yang menjabat Inspektur Provinsi NTB ini juga tidak sepakat dengan penyediaan THR bagi kalangan pegawai pemerintah, sebab adanya THR ini justru melegalisasi pengurangan produktifitas. Standar pekerjaan yang diberikan sama, bahkan cenderung menurun, tapi justru ada dispensasi bagi hal yang tidak produktif berupa THR. Bagi Chairul, adaya reformasi pemerintahan sebagai salah satu pintu gerbang perubahan yang terlalu mencolok bagi masyarakat. sehingga kendali negara jebil dan melemah, dan lemahnya kontrol negara ini juga disertai dengan mengguritanya pesan-pesan kapital yang mendikte masyarakat semakin melupakan identitas dan makna. Ini merupakan tanda-tanda kehancuran karakter bagsa, pendidikan, program maupun kebijakan pemerintah sejak reformasi banyak yang melupakan sisi-sisi moralitas, karakter bangsa dan hal-hal yang berbau non fisik. Yang ditekankan justru pada pengetahuan yang bisa dikuru dengan materi. ‘’Kita ingin meloncat terlalu tinggi, demokrasi kita lebih hebat dari Amerika,’’ bebernya.

Pembangunan karakter bangsa secara luas ini juga diamini ketua STN NTB Ahmad Rifai. Sebab, selama ini karakter bangsa yang pernah coba dibentuk Presiden Soekarno kini sudah pudar. Nilai-nilai agama dilembagakan, budaya tela dikebiri dan hilang seiring dengan masuknya intervansi kapital. Sehingga ideologi agama tidak lagi jelas dan ikut ditarik dalam legalisasi kekuasaan dan kapital. Dan membangun kesadaran kolektif secara luas menjadi PR yang harus dilakukan semua pihak. ‘’Mari kita bangun kesadaran, gotong royong dan persatuan masyarakat,’’ tandasnya.
Lain lagi dengan Sueab Qury, Ketua GP Ansor terkait langkah yang harus dilakukan. Suaeb menuntut media massa ikut berperan dalam melakukan penyadaran sosial. Madia massa seharunya mampu menampilkan tayangan dan muatan yang berimbang. ‘’Kita harus kembali ke khittah Ramadhan versi ulama dan masyarakat kita yang mempertahankan tradisi para ulama,’’ jelasnya.

Sementara itu, Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi juga memiliki pandangan yang sama terkait anomali kenaikan komoditas pokok jelang Ramadhan ini. Hukum dasar pasar mengenai penawaran dan permintaan, semakin tinggi kebutuhan/permintaan barang, maka harga akan semakin tinggi. Jika harga beras naik pada bulan Ramadhan berarti kebutuhan semakin banyak, Ramadhan tapi semakin banyak kebutuhan beras, memasuki bulan ramadhan semakin banyak yang dikonsumsi. ‘’Hal ini tidak cocok bapak-bapak, ibu dan saudara-saudara sekalian. Ini aneh bin ajaib, tidak ada di negara manapun menjelang bulan puasa terjadi kenaikan kecuali Indonesia,’’ papar Gubernur saat memberikan sambutan saat groundbreaking proyek percepatan perbaikan jalan provinsi di Praya Lombok Tengah, Sabtu (30/7). Di bulan suci Ramadhan, lanjutnya, seharusnya jika terbiasa makan tiap hari 1 kg, maka di bulan suci Ramadhan seharusnya bisa dikurangan menjadi ½ Kg. Mengurangi konsumsi merupakan cara sederhana untuk memaknai Ramadhan agar lebih baik. ‘’Dalam menyambut bulan suci Ramadhan jangan berlebih-lebihan. Diluar bulan suci Ramadhan saja kita tidak boleh berlebih-lebihan, apalagi dibulan suci Ramadhan,’’ tandas doktor tafsir Al Qur’an ini. ‘’Kalau bulan puasa biasa-biasalah, jangan ribut. Jangan pas bulan puasa semuanya dibeli. Pedagang tertawa, ini kesempatan para pedagang untuk menaikkan harga barang. Ini adalah hukum alam, Sunnatullah,’’ bebernya.

Program dan gerakan perubahan dengan visi beriman yang didengungkan Pemprov NTB juga harus-benar-benar mampu menjadi identitas NTB. Visi berima ini seharusnya tidak hanya nampak dalam proyek pembangunan Islamic Center. Tapi juga melalui pendidikan, seperti mata pelajaran muatan lokal yang berisi tentang budi pekerti, karakter dan kultur Sasambo (Sasak-Samawa-Mbojo).(*)

No comments:

Post a Comment