HARI RAYA Idul Fitri tahun ini terasa berbeda. Rentetan konflik kekerasan terjadi hampir di semua daerah di NTB. Bahkan ada yang sampai meregang nyawa. Yang teranyar adalah bentrok warga Sekotong dengan aparat di Mapolres Lombok Barat yang menewaskan seorang warga.
Kejadian ini tentu bertentangan dengan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan momentum hari raya Idul Fitri yang mengajarkan nilai-nilai silaturahmi. Momentum ibadah ini nampaknya sudah tidak memiliki makna signifikan bagi masyarakat, khususnya terkait pengaruhnya dalam menjalankan ibadah sosial kemasyarakatan. Ibadah puasa cenderung dimaknai secara dikotomis (terpisah) sebagai ritual ibadah personal semata tanpa adanya efek sosial.
Fenomena ini bisa dibaca lebih jauh, khususnya terkait pengaruh dakwah tuan guru di NTB yang bertebaran di seantero kampung. Sehingga metode dakwah dan ceramah para tuan guru perlu dievaluasi agar lebih mengena dengan realitas masyarakat. Seperti apa yang diapaparkan akademisi IAIN Mataram Dr Kadri.
Maraknya konflik di NTB ini ironis dan paradoks jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Jenis konflik yang ada pun beragam, mulai dari konflik keluarga yang berujung perkelahian antarkampung, hingga konflik agraria yang terjadi di hampir semua wilayah NTB. Sehingga peran kultural tokoh agama dipertanyakan, ditambah peran formal dari pihak aparat keamanan. Pengamanan yang dilakukan tidak optimal, berbeda ketika menangani persoalan terorisme. Padahal konflik-konflik sederhana juga memiliki potensi kerugian yang besar.
Adanya perubahan perilaku masyarakat yang semakin garang dan rentan berkonflik yang berujung kekerasan ini dipengaruhi banyak faktor. Media massa memiliki peran besar dalam mendidik masyarakat. Peran media massa sebagai social learning tidak terbantahkan. Beragam jenis acara yang ditayangkan secara tidak langsung menanamkan benih-benih konflik kepada masyarakat sejak dini. Beragam tayangan tentang konflik antar masyarakat, antar tokoh agama, bahkan konflik antar institusi yang merembes ke konflik tokoh atau sebaliknya. Lucunya, disaat budaya konflik menjadi budaya massa. Kita kekurangan figur untuk mereda konflik di tengah masyarakat. Figur-figur informal yang ada di tengah masyarakat tidak bisa lagi bisa diharapkan bisa memainkan peran, bahkan sebagian tokoh justru adalah bagian dari konflik.
Kadri prihatin dengan maraknya konflik yang terjadi di NTB, apalagi situasi konflik ini banyak disaksikan generasi muda. Sehingga dikhawatirkan akan terbawa kelak saat dewasa. Masih banyaknya anak-anak muda ini baru tamat sekolah dan sekolah tidak memberikan dampak signifikan terhadap konflik. Sehingga diindikasikan adanya kegagalan dalam bidang pendidikan. Ada disparitas antara kurikulum di sekolah, khususnya dalam persoalan karakter anak didik. Parsialisasi pelajaran di sekolah seperti adanya pelajaran budi pekerti menjadi salah satu pendukung gagalnya pendidikan membentuk karakter manusia yang diinginkan. Mestinya, seluruh nilai-nilai kebersamaan dan budi pekerti itu ada di seluruh mata pelajaran.
Persoalan maraknya konflik serta begitu gampangnya masyarakat tersulut emosi ini tidak hanya terkait dengan ekonomi, politik atau persoalan pemerintah. Sektor pendidikan juga memiliki peran yang tidak dapat dimungkiri. Diindikasikan pelajaran-pelajaran informal di keluarga juga gagal dilakukan, begitu juga dengan peran tokoh agama dalam memberikan rasa damai kepada masyarakat. ‘’Orang tua yang komunikatif, akan menanyakan persoalan yang terjadi pada anaknya. Misalnya saja, ketika anak sering keluar malam dan tidak belajar, minimal orang tua menanyakan anak itu dan menegurnya. Tapi yang terjadi justru pembiaran,’’.
Pemerintah dalam konflik ini bisa diperankan dibidang pendidikan, khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Yakni bagaimana mengoptimalkan anggaran pendidikan, sebab selama ini orientasinya hanya pembangunan fisik belaka, pemerintah dan masyarakat hanya bangga dengan fisik sekolah yang megah. Tapi justru kurang memperhatikan persoalan kualitas guru, mental anak didik dan lainnya. Ada penyebaran kurikulum. Seluruh mata pelajaran ada perspektif pluralitas, inklusif dan anti kekerasan.
Akademisi Fakultas Hukum Unram M Hotibul Islam menjelaskan, konflik pada dasarnya sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dan merupakan suatu hal yang wajar. Tipologi konflik saat ini semakin kompleks. Modus, tipe, dan polanyapun berbeda. Konflik di NTB bukanlah suatu hal yang baru. Jika menilik sejarah, konflik yang terjadi begitu hebat. Bahkan perkembangan masyarakat di NTB lahir dari pergulatan alias konflik yang begitu dahsyat. Hampir tidak ada bagian sejarah yang lepas dari konflik.
Hotibul yang juga ketua Divisi Konsultasi dan Bantuan Hukum Laboratorium Hukum FH Unram ini mengaku pernah melakukan belasan riset terkait konflik di NTB. Menurutnya, konflik bisa saja dipicu faktor primer maupun dan sekunder. Seringkali faktor sekunder sebagai pembuka kran, saat muncul faktor sekunder ketika konflik meledak. Adanya ragam penyebab dan aspek konflik ini maka, harus lebih hati-hati dan mendalam melihat penyebab dan penanganannya. Bila perlu dibedah case by case.
Dikatakan, seringkali ada aktor intelektual yang mendesain terjadinya konflik. Tapi juga terjadi secara sporadik seperti kasus perkelahian pemuda dan lainnya. Seringkali ada tali temali dalam konflik tersebut, mulai dari adanya solidaritas kelompok. ‘’Awalnya, bisa saja perkelahian antarkampung diawali konflik beberapa orang atau kelompok saja,’’ bebernya.
Faktor konflik yang kompleks ini membuat konflik menjadi hal yang laten. Persoalan air sudah mampu menimbulkan konflik yang besar. Sebab, terkait persoalan ekonomi seperti studi kasus sengketa air irigasi pertanian di Desa Suntalangu, Lombok Timur. Jika dirunut historisnya, masyarakat yang konflik itu sebenarnya satu asal usulnya. Konflik juga terkadang menjadi solusi alias sarana efektif mencapai tujuan terhadap sesuatu yang terjadi di masyarakat. Praktik ini banyak terjadi di masyarakat, bahkan masyarakat juga menggunakan pola ini dalam kehidupan sehari-hari. Beragam teori mengambil garis yang berbeda dalam memandang konflik, seperti pandangan kalangan Marxian hingga pandangan dan pendekatan strukturalis fungsionalis seperti yang dikemukakan Talcot Parson. Sehingga dibuat sarana struktural dalam kenegaraan. Kalau kita berpikir masyarakat ini adem ayem, tentu tidak akan ada polisi.
Terlepas dari beragamnya teori konflik, hal paling penting adalah bagaimana penyelesaian konflik itu sendiri. Konflik merupakan bagian dari kehidupan sosial. Ketika persoalan yang memicu konflik adalah persoalan ekonomi, maka persoalan ekonomilah yang harus diselesaikan. Begitu juga jika konflik yang dipicu kebijakan pemerintah.
Sebagian kelompok masyarakat ingin kembali ke zaman salafi (Sahabat Nabi). Hal ini sangat keliru, sebab keinginan ini berlawanan dengan fakta sejarah. Sebab kehidupan di masa para sahabat nabi ini penuh dengan konflik, Khalifah Umar Bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abithalib justru dibunuh lantaran konflik. Belum lagi dengan adanya perang antara intern keluarga Nabi Muhammad SAW.
Lain lagi dengan pendapat akademisi FH Unram lainnya, Dr Sahnan menganggap, faktor ekonomi seringkali menjadi penyulut konflik yang dahsyat. Terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi, tapi di sisi lain akses ekonomi akan mudah diakses siapa saja yang mampu memenangkan pertandingan. Degradasi sikap saling menghargai juga menjadi pemicu konflik yang tidak bisa dinafikkan. Sehinga konflik terkait sumberdaya lahan pertambangan tidak hanya menimbulkan konflik antara investor dengan masyarakat, tapi juga masyarakat dengan masyarakat. Bahkan banyak konflik dipicu perseteruan keluarga.
Akademisi yang konsen dalam sengketa agraria ini juga menyorot peran tokoh yang seringkali hanya berteori tentang syariat ibadah personal. Tapi persoalan seruan perdamaian maupun ibadah sosial sering dilupakan. Diperlukan penanaman sikap terpuji dalam kehidupan sehari-hari kepada masyarakat dan generasi penerus. Selama ini, pendidikan cenderung konsen pada nilai-nilai tentang akal dan keyakinan. Sementara, kecintaan terhadap keluarga dan nilai-nilai toleransi seringkali lemah. Kelompok pemuda dan masyarakat cepat sekali tersulut. Sedikit ketersinggungan saja sudah menimbulkan huru-hara.
Konflik terkadang diperlukan menuju perkembangan masyarakat, syaratnya konflik harus bisa dikelola dengan baik. Selama ini konflik agraria di NTB dipicu beragam faktor, mulai dari perbedaan pandangan, salah kebijakan, ganti rugi. Penyelesaian konflik bisa melalui pengadilan dan luar pengadilan. Terkadang, membiarkan persoalan juga bagian dari penyelesaian. Hasil riset yang dilakukan, minimnya adanya komunikasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah. Ada dana sebenarnya, dan ini kembali ke kas negara. Sehingga terjadi konflik.
Mengenal jenis, sifat, watak serta anatomi konflik menjadi hal penting bagi pemerintah maupun masyarakat dalam menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi di masyarakat.
Selama ini, seringkali jalan keluar ataupun langkah yang diambil pemerintah parsial dan tidak menyelesaikan persoalan, bahkan cenderung menghasilkan persoalan baru.
Ada dua jenis konflik, yakni yang bersifat pokok dan konflik yang sifatnya tidak pokok. Ada problem sepele atau tidak terkait persoalan poblik, seperti menampar pacar, bertengkar dengan teman, dan konflik sejenisnya. Konflik-konflik semacam ini merupakan konflik yang tidak pokok. Jika kita tidak mengenal bentuk, sifat dan karakter konflik hanya akan menyebabkan penyelsaian parsial dan hanya akan menempatkan salah satu pihak yang salah, kata mantan pimpinan Serikat Tani (Serta) NTB Wahijan.
Pernyataan ini disampaikan Wahijan belajar dari pengalaman empiriknya di berbagai konflik besar yag terjadi di masyarakat NTB. Salah satunya sengketa masyarakat Tanak Awu, Lombok Tengah terkait pembebasan lahan dan pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL). Contohnya, perkelahian remaja di malam Lebaran tidak perlu mengeluarkan kebijakan besar. Sebab, menetapkan kebijakan besar justru akan menjadi sumber konflik baru.
Posisi ekonomi juga dilihat sebagai hal determinan dalam konflik. Seperti sengketa sumberdaya alam yang marak terjadi di NTB, contohnya sengketa Gili Trawangan maupun kawasan Sekotong. Dalam kaca mata konflik, apa yang terjadi di Trawangan merupakan pertarungan antara pemilik industri pariwisata dan masyarakat yang menggarap di atas lahan itu. Penyelesaian yang diambil pemerintah sangat parsial dengan adanya Operasi Tertib Gili Gatarin yang melibatkan Polda NTB. Konflik struktural yang melibatkan adanya kebijakan pemerintah seringkali sangat sulit untuk diselesaikan. Keberpihakan pemerintah juga menjadi soal. Seringkali pemerintah mengedepankan kepentingan pemodal melalui investasi yang akan digelontorkan.
Persoalan konflik ini juga tidak terlepas dari kegagalan dalam sektor pendidikan. Diindikasikan pemberian pelajaran informal di keluarga juga gagal dilakukan. Begitu juga dengan peran tokoh agama dalam memberikan rasa damai kepada masyarakat. Karakteristik lingkungan sumber alam serta aktifitas ekonomi menjadi hal determinan yang biasanya memicu konflik. Aktifitas ekonomi bisa menjadi solusi konflik, seperti di Petemon-Karang Genteng. Adanya aktifitas ekonomi dengan menjadi sentra-sentra penjualan mutiara membuat kawasan ini tidak lagi terlibat konflik kambuhan. Karakteristik konflik masyarakat di wilayah yang ketersediaan air yang melimpah juga berbeda dengan wilayah yang airnya terbatas. ‘’Beda konflik antara orang yang tiga kali panen setahun dengan orang selatan yang hanya satu kali panen setahun,’’ tandas peneliti P2HSD Unram Lalu Saepuddien.
Adanya fenomena yang dilihat dan disaksikan mempengaruhi perilaku masyarakat, apalagi keseharian masyarakat dekat dengan konflik. Ada Pilkada konflik, serta beragam hal yang sebagian besar disertai konflik apalagi media turut mengekspose. Sehingga masyarakat berasosiasi dengan konflik. Menemukan akar persoalan konflik merupakan hal vital yang harus dilakukan. Penanganan konflik tidak cukup dengan cara refresif, harus ada treatment berbeda untuk setiap konflik dan harus ada langkah pencegahan terhadap terjadinya konflik. Pemerintah seharusnya bukan sekadar tukang belanja anggaran yang ada dalam APBD, sedangkan persoalan konflik di masyarakat tidak pernah dikaji. Kehadiran pemerintah tidak cukup sekadar berupa simbol-simbol besar saja, persoalan di bawah juga harus diperhatikan. ‘’Selama ini, belum ada upaya strategis pemerintah untuk mengatasi persoalan konflik,’’.
Sarana refresif untuk menyelesaikan konflik bisa berlangsung lama sebab adanya dendam dari salah satu pihak. Penanganan konflik harus disesuaikan dengan jenis konflik yang ada. Kalau masalahnya ekonomi lantaran pemuda tidak dapat akses, maka selesaikan masalah ekonomi itu. Daerah-daerah yang subur jarang kita dengar ada konflik. Konflik pengelolaan sumberdaya merupakan konflik yang paling dahsyat. Contohnya di Tanah Awu, Kuta, Trawangan, Sumbawa Sekotong. Konflik antar kampung bisa cepat selesai, tapi kalau konflik sumberdaya bisa lama. Lantaran ini tempat orang mencari makan. (*)
No comments:
Post a Comment