Wednesday, 24 August 2011

MENGGUGAT ''PENERTIBAN'' GILI TRAWANGAN



>Penertiban Dicurigai Diboncengi Kepentingan Modal
Keputusan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) NTB membentuk tim penertiban Gili Indah yang diberi label Tertib Gili Gatarin 2011 mengejutkan banyak pihak. Apalagi setelah aparat masuk ke gili lengkap dengan peralatan dan senjata seperti perlengkapan perang. Kalangan gerakan civil society di NTB tidak tinggal diam. Langkah pemerintah daerah dan aparatur kemanan negara dianggap telah diboncengi kepentingan modal. Adanya kepentingan modal yang memboncengi penertiban gili bukan hal yang mengada-ada, tapi didasari indikasi dan fakta yang ada di lapangan. Sikap ngotot TNI/Polri yang tetap ingin berada di Gili Trawangan dengan jumlah besar dan peralatan lengkap menjadi kecurigaan yang mendasar. Jika hanya ingin memerangi narkotika, miras, dan preman, tentu saja aparat kemanan tidak memerlukan pasukan bersenjata lengkap dengan tameng seperti layaknya pasukan huru-hara.
Sebelum operasi dimulai, Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wacyunadi menegakaskan, tim penertiban akan mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif. Untuk memudahkan evaluasi, 90 hari tenggat waktu yang diberikan dilakukan secara bertahap per 10 hari. ‘’Kita akan evaluasi setiap tahapan, kami mengedepankan tindakan preemtif dan preventif, sesuai dengan protap kepolisian,’’ kata Kapolda bersama Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi dan Kajati Didiek Darmanto saat memberikan keterangan pers di kantor gubernur belum lama ini.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unram, Lalu Saepuddien menegaskan, logika penanganan preventif yang dilakukan kepolisian rancu jika aparat datang dengan membawa senjata seperti hendak perang. Seharusnya, aparat sadar dan mengetahui kondisi masyarakat yang traumatik terhadap aparat keamanan, yakni dengan aksi penggusuran yang sudah dilakukan tiga kali sejak masyarakat mendiami Gili Trawangan. ‘’Tahun 1993 tentara lengkap dengan senjata bentrok dengan warga. Jelas trauma masyarakat masih ada dan harus dipahami. Kita setuju usaha pro yustisia tapi tentu harus dilakukan dengan bijak. Jika aparat masuk dengan membabi buta, kita tentu bertanya, ada apa di balik itu?’’ papar mantan aktivis FKMM ini.
Ada juga fakta yang mengejutkan yang dibeberkan peserta diskusi. Gabungan pengusaha diindikasikan tengah bersiap melakukan investasi di Gili Trawangan jika penertiban sukses. Di salah satu titik di pesisir Lombok Utara telah ditempatkan ratusan bahkan mungkin ribuan pagar beton Willcon. Informasinya,, pagar-pagar beton ini akan digunakan untuk mengelilingi areal milik PT WAH dan PT GTI dengan luas 100 hektare lebih, jika aparat telah berhasil menggusur warga. Pagar beton ini sengaja ditempatkan jauh dari akses menuju Gili Indah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan yang paling mengejutkan, investor yang akan menguasai gili ini memiliki hubungan bahkan menjadi bagian dari salah satu partai politik besar di NTB.
Catatan : Informasi ini terbukti dengan adanya pagar beton yang diangkut beberapa waktu lalu.
Soal traumatik masyarakat ini juga diakui Dosen Fakultas Hukum Unram Widodo Dwi Putro yang telah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat gili. Adanya traumatik ini bisa dideteksi dengan adanya nama-nama warga yang disematkan orang tua mereka untuk mengingat peristiwa penggusuran dekade 1990-an, seperti Sensowati, Gusuruddin dan lainnya. Setidaknya sudah ada tiga kali aksi penggusuran warga di Gili Trawangan dan melibatkan aparat kemananan dan pemerintah daerah, dan saat ini diindikaskan akan terjadi penggusuran jilid keempat. Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi, lanjut Widodo, dikenal memiliki program 3A (Absano, Adono, dan Akino). Dan sering diplesetkan dengan Apeno? yang dalam keseharian masyarakat Sasak adalah tanda tanya apa. ‘’Tapi sekarang apakah gubernur berani mengatakan dan menambah program menjadi 4A, Apeno dijadikan angka penggusuran nol,’’ tandasnya.
Pemilih terbesar TGB saat Pilgub 2008 umumnya di daerah-daerah konflik yang ada di NTB. Di Gili Trawangan, TGB juga menang. Begitu juga dengan Bupati dan wakil Bupati KLU. Hal ini menunjukkan masyarakat menginginkan perubahan. Mereka memilih tentu berharap tidak ada lagi penggusuran yang mereka hadapi. ‘’Artinya, apa yang diberikan masyarakat bukan sesuatu yang gratis, mereka inginkan perubahan,’’ tandas pria berambut gondrong ini. Terkait fenomena penertiban ini, Widodo memberikan analogi, lima pasien dengan penyakit berbeda yang datang ke salah satu klinik. Empat pasien hanya bisa tertolong jika menjalani penanganan medis dengan transplantasi jantung, hati, dan ginjal. Dan salah satu pasien sehat, hanya datang untuk melakukan general check up rutin. ‘’Apakah etis sang dokter menyelamatkan lima orang dengan mengorbankan pasien yang sehat dengan mengambil ginjal, jantung, hati dan lainnya? Hal seperti ini terkadang tidak pernah dipikirkan pemerintah. Ini soal etika dan moral. Masyarakat Tanak Awu dikorbankan, sekarang gili mau dikorbankan. Apakah atas nama pertumbuhan ekonomi dan pengembangan pariwisata harus mengorbankan masyarakat lokal,’’ bebernya. Widodo mengaku tidak pernah melakukan riset di Gili Trawangan, tapi sejak dekade 1990-an selalu tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat. Bahkan Widodo menjadi salah satu saksi mata saat penggusuran 1995.

Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) Ahmad Rifa’i melihat apa yang terjadi di Gili Trawangan merupakan pertarungan anatara pemilik modal pariwisata dengan masyarakat. Kata dia, pemerintah berperan mengamankan modal. Di Gili Sunut Lombok Timur, konflik ini juga terjadi. Sekitar 1982 ketika Sekaroh jadi hutan lindung, masyarakat diusir dan lari ke Gili Sunut. Kini mereka kembali diusir dari Gili Sunut dan relokasi di Tanjah-Anjah yang notebene masuk kawasan hutan. Semua konflik yang ada kembali pada kehadiran modal. ‘’Masuknya aparat ke Gili, apakah benar untuk pembangunan? Ini kan jelas indikasinya telah dibonceingi kapital tertentu,’’ tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ridho, ketua Serikat Petani Indonesia NTB. Dikatakan, segala fenomena yang terjadi tidak lepas dari intervensi modal. Program Larasati (sertifikasi masal dan gratis) yang dilakukan BPN hadir dengan sokongan World Bank. Begitu juga dengan sederet program dan kebijakan pemerintah. ‘’Tidak ada lagi selain kapital asing yang menjadi pemicu,’’ terangnya.

>Langkah Nomor Wahid; Tuntaskan Sengketa Agraria!
Tema diskusi rutin #forumwiken NTB tentang prahara Gili Trawangan dengan tema Gili: Ironi, Ekonomi, Party, Solusi, dan Ilusi ini dihadiri belasan orang. Mereka terdiri atas akademisi muda, tokoh LSM, Ormas Buruh-Petani, jurnalis dan kalangan organisasi kepemudaan. Sisi historis hingga akar persoalan yang didasari pada fakta dan kajian ilmiah diulas lengkap. Sengketa agraria ditengarai menjadi muara seluruh ekses dan persoalan kawasan pariwisata. Tidak hanya di Desa Gili Indah, Lombok Utara, tapi 15 kawasan pariwisata yang ditetapkan Pemprov NTB melalui Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 1989 yang diteken H Warsito Kusuma. Langkah terbaik dan mendesak yang harus dilakukan Pemprov NTB adalah menuntaskan sengketa agraria.
Akademisi Fakultas Hukum Unram Dr Wira Pria Suhartana menegaskan, akar permasalahan yang terjadi di kawasan pariwisata terkait kebijakan dan regulasi agraria yang tidak pernah clear hingga hari ini. Persoalan agraria ini terkait dengan kepastian hukum dan penegakan hukum. Penguasaan negara atas lahan dan diberikan pemanfaatan kepada kapital tidak relevan dari sisi konstitusi dan konteks keadilan. Tanah seharusnya dikuasai dan dikelola masyarakat untuk kesejahteraan. ‘’Perlu ada setting kebijakan. Masyarakat yang menguasai dan memiliki, sedangkan posisi negara sebagai regulator. Keberpihakan negara harus kepada rakyat, bukan yang lain,’’ tandasnya.
Regulasi yang ada juga tumpang tindih. Contohnya UU 25/2007 tentang Investasi cukup detail mengatur hak guna usaha maupun hak guna bangunan. Padahal, persoalan ini juga diatur dalam UU Pokok Agraria, begitu juga dengan PP yang ada. Hal ini memicu adanya pembentukan dan penetapan kebijakan tidak sinkron, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan di daerah. Soal penegakkan hukum, lanjutnya, khususnya terkait penertiban lahan terlantar yang diatur dalam PP 11/2010, penetapan formal menjadi lahan terlantar prosedurnya berbelit-belit dan murni hanya dilakukan Badan Pertanahan Negara, sedangkan daerah tidak memiliki kewenangan apapun. ‘’Kewenangan pusat melalui BPN ini sebenarnya bisa didelegasikan ke daerah. berikan kesempatan kepada daerah mengelola persoalan agraria ini, sehingga bisa dilakukan dengan cepat,’’ tandasnya.

Pengamat komunikasi politik NTB Dr Kadri yang sedang melakukan penelitian di Gili Trawangan mengungkapkan, masyarakat Gili Trawangan telah memiliki benteng kultural yang kuat. Masyarakat multietnik yang mendiami pulau kecil ini mampu menempatkan posisi dalam dua sisi, yakni gili sebagai lumbung ekonomi dan gili sebagai ranah sosial budaya dan religi. Sikap aparat keamanan yang cenderung show of force sangat disayangkan. Banyak metode operasi yang bisa digunakan kepolisian. Pihak kepolisian tentu sudah paham dan cerdas dalam hal menyelesaikan sesuatu. ‘’Jika hanya berkaitan dengan miras, narkoba dan premanisme, kenapa harus turunkan kekuatan penuh lengkap dengan senjata. Hal ini memunculkan kecurigaan adanya kepentingan lain yang memboncengi aparat keamanan,’’ tegasnya.
Bagi Kadri, sengketa agraria merupakan konflik yang bisa diselesaikan secara administratif. Komunikasi merupakan langkah jitu yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Penertiban Trawangan dengan pola yang dilakukan Pemprov-TNI/POLRI saat ini merupakan pilihan yang sangat tidak tepat dari sisi komunikasi politik. Penertiban Gili Trawangan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan ke depan. Penertiban gili yang ditetapkan pemprov dalam rakor FKPD NTB kemudian ditetapkan sebagai kebijakan yang sangat prematur. Pasalnya, kebijakan ini ditetapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang dari beragam aspek. Padahal, gili memiliki keunikan dan keistimewaan dengan keberadaan para wisatawan mancanegara, sehingga wilayah ini telah menjadi semacam zona internasional. Menyelesaikan persoalan di Gili Trawangan tidak bisa menggunakan aturan konvenisonal yang umum diterapkan di Indonesia. Namun, mesti dilihat dalam kacamata dalam multiperspektif. ‘’Ketika aparatur negara turun dengan kekuataan penuh ke gili, mesti dipertimbangkan persoalan keamanan dan kenyamanan wisatawan. Gili juga disusun dari sekian banyak kepentingan,’’ bebernya.

Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor NTB Suaeb Qury mengaku siap menerjunkan Densus 99 yang dimilki Banser NU untuk mengawal proses penertiban. Jangan sampai, aksi penertiban yang dilakukan aparatur pemerintah justru membuat masyarakat lokal terusir dan tercerabut dari akar budayanya. Dan keinginan masyarakat jelas, menginginkan aparatur negara bersenjata lengkap tidak lagi berada di Trawangan. Suaeb bahkan menuding penertiban atas nama miras, narkoba dan premanisme ini hanya tameng untuk mengamankan kepentingan pihak tertentu. Dan pemerintah daerah turut larut dalam kepentingan ini tanpa sadar. Ada indikasi kesengajaan untuk menimbulkan situasi yang tidak nyaman dengan isu miras, narkoba ini. Isu ini sangat matching dengan kondisi gili, jika menggunakan isu teroris tentu tepat. ‘’Pemerintah harus menghargai sosio-kultural masyarakat, jangan sampai mengabaikan kepentingan rakyat. Tapi selama ini, apa yang dilakukan aparat pemerintah lebih dominan untuk kepentingan pemilik modal,’’ tandasnya.


>Kearifan Lokal Harus Dipelihara
Masyarakat di Desa Gili Indah memiliki kearifan lokal yang menjadi benteng masyarakat di tengah pengaruh budaya dan modal yang terus menghimpit. Sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah menjaga kearifan lokal, bukan sebagai pihak yang menghancurkan tatanan nilai masyarakat. Pariwisata menjadi sektor andalan Provinsi NTB bersama Bali dan NTT yang masuk dalam koridor V Master Plan Pengembangan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Alam NTB yang indah menjadi modal utama yang diyakini mampu menggaet investor nasional maupun asing. Pihak asinglah yang dianggap mampu membawa kesejahteraan, dan konsep investasi inilah yang menjadi satu-satunya ruh pengembangan pariwisata di NTB.
Direktur Semaidea Communication Adhar Hakim berpandangan, aparatur negara seringkali beranggapan, masyarakat tidak mampu mengelola pariwisata dengan baik. Sehingga harus diambil alih dan menyerahkan pengelolaan lahan pariwisata kepada investor. Padahal, Gili Trawangan telah menjadi bukti bagaimana masyarakat mampu mengelola pariwisata dengan baik. Bahkan mampu menjadikan Trawangan sebagai ikon pariwisata NTB, bahkan Indonesia. Secara mandiri, masyarakat Gili Trawangan telah mampu menghapuskan kebiasaan membom ikan. Bahkan dari sisi lingkungan, masyarakat melakukan upaya konservasi secara mandiri seperti penangkaran penyu yang dilakukan mantan Kadus Trawangan Zainuddin. Begitu juga dengan rehabilitasi terumbu karang juga dilakukan komonitas setempat. Termasuk kearifan masyarakat dalam memerangi narkoba yang masuk ke gili. ‘’Jika pemerintah gagal menyelesaikan persoalan Trawangan, ini akan akan jadi pelajaran berharga dan akan menjadi preseden buruk bagi penguasa menyelesaikan konflik di wilayah lain,’’ tandasnya.
Bagi jurnalis senior ini, pengembangan pariwisata di NTB seringkali salah kaprah. Indikator keberhasilan yang digunakan selalu bersandar pada hal-hal kuantitaif seperti angka kunjungan, hunian kamar, jumlah hotel, dan lainnya. Pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak menjadi perhatian. Pembangunan kawasan selalu identik dengan penggusuran dan masyarakat selalu menjadi korban. Adhar tidak mengaggap peran pemerintah signifikan terkait meningkatnya tingkat kunjungan maupun investasi di bidang pariwisata yang terus berkembang. ‘’Alam kita memang indah dan mau dikunjungi orang dan datang berinvestasi,’’ ungkapnya.

Ketua FSNTBI NTB Syarif Husein tidak sependapat dalam memandang persoalan ini. Harus diakui, kata dia, jika diukur dari target RPJMD, pariwisata di NTB sudah on the track dengan adanya capaian angka jumlah kunjungan dan lainnya. ‘’Dan persoalan konflik ini tidak ada indikator yang ditetapkan pemerintah,’’ ujarnya.
Keberhasilan masyarakat Trawangan menata diri juga diakui akademisi IAIN Mataram Dr Kadri yang sedang melakukan riset di kawasan Gili. Masyarakat gili sudah bisa membedakan Gili Trawangan sebagai wilayah bisnis dan kawasan leluhur mereka. Di satu sisi, ketika masyarakat menganggap kawasan gili sebagai wilayah bisnis. ‘’Masjid yang termegah di Pemenang ada di Trawangan dan ketika subuh, jamaahnya cukup banyak,’’ bebernya. Masyarakat gili, lanjutnya, sudah mampu menginternalisasi bagaimana pentingnya industri pariwisata bagi kehidupan mereka. Tapi di sisi lain, masyarakat juga mampu membangun moral dengan adanya awiq-awiq. Warga maupun security island tidak akan melarang wisatawan asing bermesraan di pantai, bahkan melakukan hal yang lebih jauh usai party di kafe-kafe. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk orang lokal maupun Indonesia. Jika ada akan langsung ditangkap warga. Hanya saja, perlu dipikirkan kelanjutan masyarakat Gili ke depan. Kadri mengusulkan agar masyarakat yang memiliki homestay atau usaha agar membangun rumah di gili dan di daratan utama. Masyarakat datang ke gili hanya untuk berbisnis. Apa yang dihasilkan dari bisnis ini bisa digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah dan tinggal di daratan.
Sikap Pemprov NTB yang masih belum menunjukkan sikap tegas, apakah Pemprov NTB tidak setuju dengan rencana penggusuran warga atau tidak. Sebab jika pemprov tidak sepakat dengan langkah yang dilakukan TNI/Polri, maka seharusnya, SK penertiban gili ini dicabut. Dalam diskusi #forumwiken ini, ada dua opsi tegas yang harus melandasi persoalan sengketa lahan Gili Trawangan. Pertama, jika pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat, maka pemerintah bisa mengusir seluruh warga yang ada di Gili Trawangan dan memasukkan investor membagun Trawangan. Opsi kedua sebaliknya, cabut HGU/HGB perusahaan yang menguasai lebih dari 100 hektare lahan yang ada di Gili Trawangan dan pengelolaannya kemudian diberikan kepada masyarakat.(*)

Friday, 5 August 2011

RAMADAHAN DITENGAH JERATAN KONSUMERISME



>Mendadak Religius, Konsumsi Meningkat Tajam
Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, sendi-sendi kehidupan masyarakat berubah, bahkan perubahan ini terjadi sejak minimal seminggu sebelum matahari terakhir di bulan Sya’ban. Salah satu fenomena klasik yang terjadi adalah kenaikan harga komoditas pokok. Apa yang memicu kenaikan harga ini, kenapa masyarakat berbondong-bondong melakukan aksi borong? bukankan berpuasa berarti menahan menahan diri?
Tahun ini, kenaikan harga komoditas di pasar tradisional di NTB, khususnya di Kota Mataram beranjak hingga angka enam persen. Sejumlah komoditas juga mengalami penurunan, meskipun tidak signifikan. Sejak H-3 puasa, pasar-pasar, swalayan dan pusat-pusat perbelanjaan ramai diserbu warga, khususnya ibu-ibu rumah tangga yang membeli kebutuhan pokok. Korporasi bisnis juga ikut memanfaatkan momentum puasa ini, bahkan mampu mendikte masyarakat dengan iklan-iklan di televisi berbau Ramadhan meskipun intinya tetap meminta masyarakat membeli,membeli dan membeli.
"Melalui iklan khas Ramadhan, masyarakat didikte bahwa berbuka dengan sirup merk tertentu puasa lebih berkah dan sempurna. Aneka macam pesan konsumtif lainnya juga terus dijejalkan" 
Begitu juga media massa, bahkan stasiun-stasiun televisi menghadirkan beragam acara khusus selama bulan ramadhan, sehingga persepsi yang diciptakan televisi menunjukkan Ramadhan sebenarnya. Artis-artis juga tidak mau ketinggalan, Ramadhan merupakan momentum melepas album-album religi, saatnya menggunakan baju koko, kerudung dan aneka jenis fashion yang relatif sopan dan terkesan religius. Sehingga semua kalangan mendadak religius, pabrik-pabrik kopiah dan produk-produk berbau religius kebanjiran order, bahkan banyak pabrik yang bersiap jauh hari sebelum Ramadhan datang.

Ketua Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Suaeb Qury yang juga hadir dalam diskusi lepas ini juga mengakui adanya pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat NTB, kehidupan yang cenderung hedonistik menjadi tren umum, sehingga makna puas tidak mampu lagi dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari. ‘’Saat ramadhan berlomba-lomba memberikan makanan pada fakir miskin, padahal 11 bula lainnya hal ini juga harus tetap dilakukan,’’ paparnya. Bagi Qury, tradisi berpuasa para ulama dengan banyak beri’tikaf semestinya menjadi contoh baik yang mesti diikuti masyarakat, kesempatan Ramadhan menjadi momentum perbanyak ibadah, bukan saling memamerkan diri melalui kegiatan konsumtif atau kegiatan simbolis lainnya. ‘’Momentum ini seharusnya menjadi momen ketauladanan, merefleksikan diri dan hal yang tentu berkaitan dengan ibadah puas,’’ paparnya.

Hal senada juga diungkapkan Birokrat senior Chairul Mahsul terkait fenomena Ramadhan ini. Menurutnya, dari sisi ekonomi, pada dasarnya, Ramadhan berarti ada perubahan jam makan, yakni berbuka dan sahur, kebutuhan dasar pada dasarnya tidak berubah ketika tidak berpuasa, bahkan bisa jadi berkurang. Sehingga seharusnya masyarakat tidak perlu mempersiapkan diri secara ekonomi. ‘’Saya tentu sedih melihat fenomena ini, terlebih saat jelang Lebaran,’’ akunya. Sebagai gambaran, Bank BRI menyiapkan Rp 2,4 Triliun selama Ramadhan, di NTB Bank Indonesia Mataram menyiapkan Rp 20 M. Inflasi membengkak, stok kebutuhan ikut dijaga ketat pemerintah. Jika menjalankan puas konsisten pada makna yang dikandung, maka tentu fenomena ekonomi ini tidak akan terjad. ‘’Apa betul Ramadhan ini menjadi moratorium korupsi? Satu bulan saja tidak ada hal yang berbau korupsi, hal ini hanya bisa muncul dari kesadaran moralitas orang per orang,’’ bebernya. ‘’Ini tentu bukan moral Islam, seharunya ini menjadi momentum perubahan dan dijalankan 11 bulan lainnya, soal moralitas ini menjadi hal yang penting,’’ tambahnya.
Dikatakan, realitas ramadhan ini justru menunjukkan adanya realitas moral masyarakat. Apakah adanya perubahan selama Ramadhan ini merupakan bentuk perubahan mendasar dan dilakukan secara sadar atau tidak. Apakah perubahan ini berangkat dari moralitas muslim atau justru hanya sekedar ritual saja. ‘’Rasulullah memberikan contoh, tidak ada perubahan aktifitas saat Ramadhan, bahkan justru melakukan aktifitas yag membutuhkan energi lebih banyak, melakukan perang dan lainnya, ibadah tentu tidak berkurang bahkan bertambah dengan adanya pelaksanaan sholat tertentu selama Ramadhan. Dari sisi sosial ekonomi jelas tidak ada perubahan,’’ papar Chairul yang juga Inspektur Provinsi NTB ini. ‘’Saya justru curiga, jangan-jangan puas yang kita lakukan merupakan level paling rendah. Kita lebih sibuk siapkan diri secara ekonomi, dibandingkan soal moral,’’ ungkapnya dalam diskusi yang berlangsung hingga larut malam ini.

Jurnalis Lombok Post Fathul Rahman menuturkan, masyarakat non muslim juga ikut mengalami ‘’adaptasi‘’ di bulan Ramadhan, bahkan ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan khusus di bulan Ramadhan, khususnya para siswa-siswi yang beragama Hindu di sejumlah sekolah di Kota Mataram, kegiatan ini diistilahkan dengan Pasrama yakni pembinaan keagamaan Hindu denga sejumlah rangkaian kegiatan ibadah. ‘’Dari penelusuran yang saya lakukan, Pasrama ini dilakukan bukan dalam rangka beribadah karena bulan ramadhan datang, tapi mereka terbawa efek psikologis religius,’’ jelasnya saat diskusi rutin #forumwiken di Lombok Timur Center akhir pertama Agustus. Mendadak Religius, itulah fenomena umum yang terjadi di Indonesia termasuk NTB setiap kali datang Ramadhan, khususnya bagi kalangan muslim. Dijelaskan, dari sejumlah literatur ilmiah, disebutkan bahwa fenomena perubahan signifikan ini hanya terjadi di Indonesia saja, di Negara-negara Timur Tengah tidak ada perubahan signifikan perubahan kehidupan masyarakat, kecuali adanya aktifitas ibadah tambahan seperti Sholat Tarawih dan puasa.

>Islam Didikte Televisi, Ritual Dijadikan Jualan
Televisi telah menjadi ‘’agama‘’ baru yang sangat digandrungi masyarakat. Deretan acara televisi telah mampu menyihir masyarakat dan masuk ke sendi-sendi kehidupan. Nyaris, apa yang ditayangkan televisi menjadi ajaran yang lebih disukai dibandingkan ajaran kitab suci. Program sinetron beraroma religius palsu jauh lebih digandrungi masyarakat dan kawula muda dibandingkan program Maghrib Mengaji yang digaungkan Pemprov NTB dan Kanwil Kemenag NTB.
Pakar komunikasi IAIN Mataram Dr Kadri tidak mau ketinggalan dalam #forumwiken dengan tema ‘’ramadhan, Realitas Sosial, Agama dan Media‘’ ini, meskipun Kadri hanya memberikan pendapat melalui saluran telepon. Bagi Kadri, media menjadi salah satu aktor dalam komersialisasi Ramadhan. Beragam kemasan acara, iklan dan potongan tayangan di televisi seolah begitu memuja Ramadhan dan disambut semarak. Namun, jika didalami, apa yang ditampilkan di televisi dengan beragam acara hingga perilaku artis di ruang publik justru tidak cerminkan ramdhan, sebab lebih kental aroma komersil. ‘’Ramadhan menjadi tidak ubahnya pop culture, acara-acara jelang berbuka dan sahur dikemas, orang menyambut beramadhan,’’ ungkap Kadri yang mengaku sedang menjalankan tugas dinas di luar daerah. Ramadhan yang seharusnya dimaknai sebagai ritual ibadah umat Islam, justru kini berubah wajah menjadi jualan korporasi. Ramadhan tinggal bungkus dengan isi yang berbeda. ‘’Apa yang ada justru mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai Islam,’’ pungkas alumni IAIN Alauddin Makassar ini.

Birokrat senior Chairul Mahsul juga menunjuk hidung media massa sebagai biang keladi pergeseran budaya secara massive dengan kecepatan luar biasa ini. Dan media audio visual alias Televisi dianggap sebagai media yang paling beracun. ‘’Akhir 1980an masih belum nampak adanya pergeseran yang signifikan, media massa hanya media cetak, radio dan televisi hanya TVRI saja. Tapi kini, kita dihatam televisi ditempat privasi kita dikamar dan merangsang kita untuk konsumtif,’’ beber Chairul yang juga Inspektur Provinsi NTB ini. Menurutnya, fenomena komersialisasi dengan budaya konsumerisme tingkat tinggi ini tidak terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Sebelum media massa khususnya televisi masuk ke sendi-sendi kehidupan, Ramadhan masih dipandang sebagai momentum ibadah yang dijalankan secara kaffah, khususnya di NTB. masjid-masjid masih selalu penuh sejak awal Ramadhan hingga akhir. Dan jikapun ada semarak non ibadah hanya dilakukan anak-anak dengan aneka permainan tradisonal. ‘’Stasiun Televisi tentu tidak akan menempatkan Acara Tafsir Al Misbach yang diasuh Prof Dr H Quraish Sihab dalam prime time. Tapi akan ditempatkan pada timing kurang menarik bagi pengiklan,’’ bebernya.

Pendapat ini dibantah M Zainal Abidin, jurnalis Batam Pos (Jawa Pos Grup) yang hadir dalam diskusi #forumwiken ini. Bagi pria kelahiran Lombok Timur ini, media tidak bisa ditunjuk sebagai pihak yang bertanggung jawab, sebab posisi media hanya sebagai pintu, siapun bisa memanfaatkannya. Sehingga seharusnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana merawat media, sebab media tentu lebih cakap memberikan arahan dengan pendekatan komunikasi. ‘’Media tidak bisa mendorong perubahan, posisi media hanya sebagai pintu. Pemerintah bisa mengambil peran sesuai dengan proporsi yang ada,’’ jelas pria berkaca mata ini.
Selain fenomena media, pemerintah/negara juga dianggap sebagai sebagai salah satu aktor yang membuat pergeseran budaya dan perilaku masyarakat. Aparatus negara seringkali melakukan kegiatan maupun program yang cenderung mendikte masyarakat, tanpa melakukan upaya pendekatan yang menyentuh esensi dasar Ramadhan. Ramadhan juga biasanya identik dengan penertiban dan operasi yang dilakukan TNI/POLRI maupun pemerintah daerah tidak mau ketinggalan. Polri melaksanakan operasi pekat (penyakit masyarakat) jelang Ramadhan, miras disita, pasangan tak resmi yang ditemukan di kamar hotel digelandang meskipun hanya akan dijerat dengan tindak pidana ringan. Operasi ini seolah memberikan kesan maksiat hanya dilarang saat Ramadhan saja, sedangkan dibulan lain silahkan saja. Fenomena pengemis dan gelandangan juga bermunculan, bahkan banyak pengemis dadakan. Mengemis hanya dijalankan saat bulan Ramadhan, sebab saat Ramadhan banyak orang kaya yang mendadak pemurah, dan tidak sedikit pengusaha sengaja membagi zakat harta secara massal dan dibagikan langsung kepada masyarakat. Bahkan, tidak jarang kita dipertontonkan hal yang ironis, orang-orang miskin yang pingsan tergencet berebut uang sedekah Rp 5 ribu.

Sementara itu, Ketua Serikat Tani Nasonal (STN) NTB Ahmad Rifai mengungkapkan, Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia, sengaja dirusak dengan hal-hal yang meruntuhkan idelogi keislaman masyarakat. Dan embel-embel Ramadhan ditengarai hanya sebagai gincu agar tampil lebih menarik dan tanpa sadar merasuki masyarakat. Sikap pemerintah yang memberikan karpet merah bagi modal asing tanpa regulasi melindungi kepentingan nasional ditengarai sebagai pemicu cepatnya ‘’kerusakan‘’ massal benteng-benteng nilai agama masyarakat. Faktor kemiskinan menjadi salah satu aspek yang mendorong adanya pergeseran budaya ini. Ramadhan, lanjutnya, seharusnya tidak menurunkan produktifitas, proses poduksi mesti tetap normal, diiringi peningkatan moralitas, praktek anti korupsi, berproduksi politik, serta menerbitkan kebijakan yang tidak rugikan masyarakat. ‘’Dalam pandangan Islam, kemiskinan mendekati kekufuran,’’ tandasnya.
Dihadapan realitas sosial yang konsumtif, mesjid tidak lagi memiliki magnet yang kuat. Bahkan semakin ujung Ramadhan, mesjid semakin sepi dari aktifitas ibadah, khususnya shalat tarawih. Giliran mal dan pusat perbelanjaan yang disesaki pengunjung. Media dijadikan sebagai alat penyambung hancurkan kepala umat Islam. Akumulas rohaniah dan amal ibadah tidak hadir dalam realitas. ‘’Ramadhan telah berubah menjadi bulan akumulasi kapital. Dalam pandangan sederhana, ini adalah kesempatan bagi elit melakukan hegemoni’’ ungkapnya.

>Negara Melemah, Penguatan Karakter Bangsa PR Bersama
Reformasi 1998 yang kemudian diikuti perubahan sistem pemerintahan dengan penerapan desentralisasi, perubahan politik juga ikut membawa perubahan masyarakat dan merusak karakter masyarakat. Kini masyarakat lebih liberal dan konsumtif, tanpa ada nilai dan karakter yang menjadi benteng dan identitas masyarakat yang katanya kental dengan budaya ketimuran. Terlepas dari kontroversi yang ada, Bupati Lombok Timur periode 2004-2008 H Ali Bin Dachlan menjadi salah satu contoh yang baik bagaimana pemerintah daerah bisa mengambil peran dan kepeloporan mengarahkan kebiasaan masyarakat. Ali BD berhasil menghidupkan perayaan tahun baru hijriyah dan masyakat tidak lagi merayakan tahun baru masehi. Meskipun hal ini bisa dilakukan dengan beragam upaya dan cenderung memaksa. Begitu juga dengan kebijakan zakat bagi para PNS dengan pembentukan Bazda yang memicu demo besar-besaran di Lombok Timur. Begitu juga dengan sikap keras mantan Wali Kota H Moh Ruslan dalam melakukan pelarangan perayaan hari valentine bagi kawula muda muslim.
Hal diatas muncul salah satu contoh kongkrit bahwa pemerintah daerah bisa melakukan perubahan dan lepas dari mainstream yang berlaku di masyarakat, bahkan bisa membawa masyarakat keluar dari mainstream yang keliru. Sehingga pemerintah diyakini bisa melakukan perubahan terkait realitas sosial ramadhan ini. namun, kini pemerintah justru mengkorting jam kerja saat Ramadhan tiba, sempat ada ‘’debat‘’ panjang mengenai adanya korting jam kerja yang diberlakukan Pemerintah. Pengurangan jam kerja oleh pemerintah ini dianggap sebagai bentuk legalisasi terhadap anggapan bahwa Ramadhan berarti menurunkan produktifitas. Padahal, harusnya pemerintah bisa melakukan upaya ‘’paksa‘’ agar masyarakat, khususnya para abdi negara tidak ikut larut dalam asumsi dan anggapan yang sesat yang dianggap benar.

Chairul Mahsul, selaku bikrokrat yang hadir dalam diskusi #forumwiken ini membantah adanya legalisasi anggapan Ramadhan menurunkan produktifitas ini. Sebab jam kerja dan produktifitas PNS bukanlah kausalitas. ‘’Prinsip utama yang dilakukan pemerintah adalah adanya niat dan asusmsi positif. Pemerintah berasumsi para PNS melakukan ibadah sholat, tadarus dan kegiatan ibadah lain yang menyedot tenaga. Sehingga jam masuk dimundurkan satu jam,’’ jelasnya.
Pria berkumis yang menjabat Inspektur Provinsi NTB ini juga tidak sepakat dengan penyediaan THR bagi kalangan pegawai pemerintah, sebab adanya THR ini justru melegalisasi pengurangan produktifitas. Standar pekerjaan yang diberikan sama, bahkan cenderung menurun, tapi justru ada dispensasi bagi hal yang tidak produktif berupa THR. Bagi Chairul, adaya reformasi pemerintahan sebagai salah satu pintu gerbang perubahan yang terlalu mencolok bagi masyarakat. sehingga kendali negara jebil dan melemah, dan lemahnya kontrol negara ini juga disertai dengan mengguritanya pesan-pesan kapital yang mendikte masyarakat semakin melupakan identitas dan makna. Ini merupakan tanda-tanda kehancuran karakter bagsa, pendidikan, program maupun kebijakan pemerintah sejak reformasi banyak yang melupakan sisi-sisi moralitas, karakter bangsa dan hal-hal yang berbau non fisik. Yang ditekankan justru pada pengetahuan yang bisa dikuru dengan materi. ‘’Kita ingin meloncat terlalu tinggi, demokrasi kita lebih hebat dari Amerika,’’ bebernya.

Pembangunan karakter bangsa secara luas ini juga diamini ketua STN NTB Ahmad Rifai. Sebab, selama ini karakter bangsa yang pernah coba dibentuk Presiden Soekarno kini sudah pudar. Nilai-nilai agama dilembagakan, budaya tela dikebiri dan hilang seiring dengan masuknya intervansi kapital. Sehingga ideologi agama tidak lagi jelas dan ikut ditarik dalam legalisasi kekuasaan dan kapital. Dan membangun kesadaran kolektif secara luas menjadi PR yang harus dilakukan semua pihak. ‘’Mari kita bangun kesadaran, gotong royong dan persatuan masyarakat,’’ tandasnya.
Lain lagi dengan Sueab Qury, Ketua GP Ansor terkait langkah yang harus dilakukan. Suaeb menuntut media massa ikut berperan dalam melakukan penyadaran sosial. Madia massa seharunya mampu menampilkan tayangan dan muatan yang berimbang. ‘’Kita harus kembali ke khittah Ramadhan versi ulama dan masyarakat kita yang mempertahankan tradisi para ulama,’’ jelasnya.

Sementara itu, Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi juga memiliki pandangan yang sama terkait anomali kenaikan komoditas pokok jelang Ramadhan ini. Hukum dasar pasar mengenai penawaran dan permintaan, semakin tinggi kebutuhan/permintaan barang, maka harga akan semakin tinggi. Jika harga beras naik pada bulan Ramadhan berarti kebutuhan semakin banyak, Ramadhan tapi semakin banyak kebutuhan beras, memasuki bulan ramadhan semakin banyak yang dikonsumsi. ‘’Hal ini tidak cocok bapak-bapak, ibu dan saudara-saudara sekalian. Ini aneh bin ajaib, tidak ada di negara manapun menjelang bulan puasa terjadi kenaikan kecuali Indonesia,’’ papar Gubernur saat memberikan sambutan saat groundbreaking proyek percepatan perbaikan jalan provinsi di Praya Lombok Tengah, Sabtu (30/7). Di bulan suci Ramadhan, lanjutnya, seharusnya jika terbiasa makan tiap hari 1 kg, maka di bulan suci Ramadhan seharusnya bisa dikurangan menjadi ½ Kg. Mengurangi konsumsi merupakan cara sederhana untuk memaknai Ramadhan agar lebih baik. ‘’Dalam menyambut bulan suci Ramadhan jangan berlebih-lebihan. Diluar bulan suci Ramadhan saja kita tidak boleh berlebih-lebihan, apalagi dibulan suci Ramadhan,’’ tandas doktor tafsir Al Qur’an ini. ‘’Kalau bulan puasa biasa-biasalah, jangan ribut. Jangan pas bulan puasa semuanya dibeli. Pedagang tertawa, ini kesempatan para pedagang untuk menaikkan harga barang. Ini adalah hukum alam, Sunnatullah,’’ bebernya.

Program dan gerakan perubahan dengan visi beriman yang didengungkan Pemprov NTB juga harus-benar-benar mampu menjadi identitas NTB. Visi berima ini seharusnya tidak hanya nampak dalam proyek pembangunan Islamic Center. Tapi juga melalui pendidikan, seperti mata pelajaran muatan lokal yang berisi tentang budi pekerti, karakter dan kultur Sasambo (Sasak-Samawa-Mbojo).(*)