Friday, 23 September 2011

BIL DAN MIMPI KESEJAHTERAAN DI NTB

SETELAH sekian kali ditunda, Bandara Internasional Lombok (BIL) akhirnya akan benar-benar beroperasi per 1 Oktober mendatang. Ekspektasi masyarakat dan pemerintah terhadap kehadiran bandara ini sangat besar. Bahkan BIL seolah-olah menjadi jalan keluar bagi seluruh keterpurukan daerah ini. Rencana kedatangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan bandara ini nampaknya menjadi ‘’dewa penolong‘’ sehingga target operasional ini benar-benar tercapai. Jika Presiden SBY tidak dijadwalkan datang, banyak pihak yang pesimis BIL bisa beroperasi, apalagi jika melihat langsung progres penuntasan proyek yang lamban. Terminal BIL yang ditargetkan tuntas akhir Juli belum tuntas hingga pertengahan September. Keyakinan kita juga akan buyar jika menyaksikan tumpukan tanah liat, akses masuk, serta keberadaan kerbau gembalaan warga yang masih riang bermain lumpur di sekitar area BIL.
Terlepas dari itu, keyakinan operasional BIL ini terus dipupuk dan direproduksi, sehingga keyakinan ini sudah menjadi keyakinan umum warga NTB. Apalagi bagi masyarakat yang belum pernah menyaksikan langsung proyek bernilai hampir Rp 1 triliun ini. Selain keyakinan operasional, reproduksi ekspektasi juga sangat massive. Dalam bayangan publik, BIL beroperasi, maka efek yang dihasilkan akan luar biasa dan langsung terasa. Lapangan kerja tidak akan lagi sulit. Bisnis pun akan lancar. Bahkan BIL juga berpengaruh terhadap aspek religiusitas masyarakat, khususnya terkait dengan ibadah haji.
Ekspektasi warga ini juga bisa dilihat dari ramainya warga yang berkunjung ke proyek ini, haya sekadar untuk bisa menyaksikan megaproyek yang diimpikan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini. Ekspektasi masyarakat ini tentu bukan hal yang negatif. Ekspektasi ini tentu modal sosial yang besar bagi pemerintah, sehingga ekspektasi ini tidak hanya ada dalam pikiran, tapi hadir seperti hujan yang membasahi bumi. Perwujudan ekspektasi tentu tidak datang seperti hujan. Manusia tinggal menunggu proses alam. Tapi harus ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi.
            Begitulah pengantar diskusi #forumwiken di Lombok Timur Center, Jumat malam 23 September 2011 dengan tema ‘’BIL dan Mimpi Kesejahteraan di NTB‘’.

Soal gangguan keamanan dan ketertiban (Kamtibmas) serta konflik horizontal yang masih marak menjadi warning bagi pemerintah daerah dan pihak terkait. Masyarakat yang terbiasa konflik, maka secara tidak langsung tidak akan berat melakukan kejahatan. Apalagi, setiap hari berasosiasi dengan konflik, sehingga fakta ini harus menjadi soal yang harus diperhatikan. ‘’Pembangunan jalan, tapi persoalan ini juga harus direspons. Pariwisata belum maju, BIL belum beroperasi, tingkat kriminalitas masih tinggi. Persoalan ekonomi menjadi salah satu persoalan,’’ kata peneliti P2HSD Universitas Mataram Lalu Syaepuddien alias Gayep.
Memberikan suntikan ekonomi kepada masyarakat merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan. Berkaca dari konflik Petemon-Karang Genteng di Kota Mataram, konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun, kini mulai hilang. Penyebabnya sederhana, ekonomi masyarakat membaik. Sebab, masyarakat akan disibukkan sibuk dengan aktivitas ekonomi tanpa sempat lagi memikirkan konflik.
Di sisi lain, optimisme adanya percepatan pembangunan terkait operasional BIL ini seperti yang diungkapkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB Lalu Gita Aryadi. ‘’Tugas Disbudpar ke depan, mempercepat mimpi-mimpi menjadi kenyataan. BIL itu gula, sekarang sudah mulai para travel agent maupun investor bergentayangan ke BIL,’’ kata Gita yang berkesempatan hadir dalam diskusi #forumwiken akhir pekan lalu ini.
Operasional BIL ini berdampak besar pada sektor pariwisata. Gita kemudian menyebutkan, 14 November mendatang ada penerbangan pesawat carter dari Rusia membawa puluhan tamu. Jika BIL benar-benar beroperasi, maka pesawat carter Rusia ini akan terbang dua kali per bulan ke NTB. Dan maskapi penerbangan Air Asia akan beroperasi mulai 17 Desember bertepatan dengan HUT NTB. ‘’Air Asia sudah teken kontrak dengan Gubernur NTB,’’ beber mantan juru bicara Pemprov NTB ini.
Adanya hal positif terkait kehadiran BIL ini juga diungkapkan ketua FSNTBI NTB Syarif Husein. ‘’BIL ini bagian dari infrastruktur, pasti ada dampaknya. Selama ini transportasi di NTB high cost, dengan kehadiran BIL akan mendukung arus keluar masuk barang,’’ tandasnya.

Tengok Sejarah, Siapkan SDM
Sejak 1995 hingga 2003, sengketa lahan BIL menjadi sengketa agraria paling besar dan terdahsyat di NTB, bahkan di Indonesia. Aspek ini mesti menjadi perhatian pemerintah dalam pengembangan kawasan dan pemberdayaan masyarakat. Sengketa warga terkait pembangunan BIL ini lahir dari pembayaran lahan yang bermasalah. Hal ini juga terjadi pada sektor pariwisata, di mana banyak lahan yang bermasalah. Harga lahan yang seharusnya dibeli sesuai NJOP justru dibayar jauh dari harga NJOP. Bahkan tidak sedikit warga pemilik lahan hanya dibayar dengan beras. Paska reformasi bergulir 1998, pemilik lahan kembali masuk ke lahan tersebut seiring dengan tertundanya pembangunan proyek ini. Ada SK khusus untuk pejabat tertentu sebagai tim pembayar. ‘’Adanya aspek keadilan bagi masyarakat yang pernah terjadi pada masyarakat di lingkar bandara ini mau tidak mau akan menjadi persoalan ke depan,’’ ungkap peneliti P2HSD Unram Lalu Syaepuddin yang juga sempat mengadvokasi warga Tanak Awu saat masih berstatus mahasiswa Unram.
Harus disadari, lanjutnya, masyarakat sekitar tidak bisa seluruhnya bekerja di BIL. Sehingga bagaimana menyiapkan keterampilan masyarakat untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja terampil dari daerah lain. Seharusnya, sejak awal sudah ada desain sektor apa saja yang akan disiapkan, mulai dari sektor jasa, kerajinan, pertanian dan lainnya. Keberadaan BIL ini mesti bisa mendongkrak aktivitas masyarakat. ‘’Memperhatikan pengalaman sejarah ini penting bagi kita ke depannya. Bisa menyiapkan lembaga kursus, keterampilan, pertanian. Hasil-hasil pertanian diproteksi agar bisa dipakai untuk sektor pariwisata,’’ ungkapnya.
Persoalan aspek kesejarahan ini juga menjadi sorotan Direktur Semmaidea Communication Adhar Hakim. Dia menganalisa keberadaan BIL ini tidak hanya cukup dengan asumsi semata, serta memandang BIL konteksnya sebagai infrastruktur transprortasi semata. Keberadaan BIL ini harus dilihat secara kritis, bagaimana masyarakat lokal tergusur serta korban warga yang bermula dari megaproyek ini. ‘’Kita memang tidak bisa berbicara mundur lagi. Tapi apakah fair cara kita mendorong bandara ini. Bagi saya, cara meletakkkan BIL ini dulu tidak fair dan harus kita kritisi,’’ ungkapnya.
Saat ini BIL sudah hadir dan harus dijawab pemerintah. Sektor apa yang akan didukung dengan keberadaan BIL. Apakah infrastruktur transportasi ini akan mampu mendorong sektor pariwisata maupun ekonomi masyarakat secara luas. ‘’Kita akan berhadapan dengan logika ekonomi mikro dan makro. Apa potensi yang disiapkan ke depannya. Persoalan embarkasi haji juga masih menjadi PR. Lombok sebagai lumbung TKI juga perlu dipikirkan ke depannnya,’’ pungkasnya.
            Sementara itu, Ketua Walhi NTB Ali Alkhairi melihat pembangunan BIL ini dalam dua aspek. Pertama, lahirnya konflik berkepanjangan di masyarakat. Sengketa lahan warga Tanak Awu pernah menjadi perhatian nasional dan diindikasikan banyak terjadi pelanggaran HAM. Kedua, dari sisi ekspektasi masyarakat, keberadaan BIL ini membawa dampak psikologis yang tinggi bagi perekonomian masyarakat. Contoh kecilnya saja, harga sewa rumah di Kota Praya dan sekitarnya meningkat tajam. Meskipun di sisi lain, kehadiran BIL ini menciptakan kondisi yang justru memarjinalkan masyarakat sekitar. Kesiapan SDM masyarakat setempat tidak dipersiapkan sejak awal menyambut operasional BIL ini. Padahal, masyarakat berlomba-lomba bekerja atau paling tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan BIL. ‘’Kehadiran BIL ini juga justru menimbulkan dampak negatif di bagian utara Lombok Tengah. Eksploitasi air dilakukan secara berlebihan, tambang golongan C dan lainnya. Hampir setiap infrastruktur yang dibangun selalu dengan alasan BIL,’’ beber mantan aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) ini.
Khairi mengaku belum melihat adanya model penanggulangan persoalan yang ada di kawasan bandara ataupun di kawasan Loteng pada umumnya. Khususnya terkait penyiapan daya saing masyarakat. ‘’Belum ada perda atau perbup untuk mengatur kawasan ini. Masyarakat lokal bisa termarjinalkan,’’ ungkapnya.


Kemajuan Bisa Tertinggal di Landasan
Jika meminjam istilah WW Rostow yang menyebut era tinggal landas (take off) dengan keberadaan BIL ini, maka aspek kesiapan SDM, sinkronisasi program SKPD, serta persoalan-persoalan strategis lain diharapkan mendapat porsi yang cukup dari Pemprov NTB. Jika tidak, maka NTB justru akan tertinggal di landasan. Tesis yang dibangun Pemprov NTB, kehadiran BIL ini sebagai era tinggal landas yang ditandai dengan investasi besar dan peran pemerintah tidak lagi dominan sebagai pemantik ekonomi. Era inilah tahapan ketiga dalam teori pembangunan sebelum memasuki tahap keempat, yakni gerakan menuju kedewasaan dan tahap kelima, konsumsi tingkat tinggi. Tesis ini juga semakin massive mereproduksi ekspektasi masyarakat yang sejak awal sangat tinggi. Era take off ini digambarkan seperti halnya pesawat terbang yang akan tinggal landas, selanjutnya terbang dan melesat hingga mencapai tujuan.
Era tinggal landas seperti yang sedang dijargonkan pemprov ini juga pernah dipopulerkan pemerintahan Orde Baru dengan mazhab developmentalisme yang dianut. Bahkan teori dan tahapan pembangunan ini sangat akrab di telinga generasi sebelum reformasi, sebab teori ini masuk menjadi bahan kurikulum pendidikan sekolah dasar. Sehingga reproduksi ekspektasi yang sudah mencapai doktrinasi meresap dalam setiap generasi yang menyentuh pendidikan formal. Namun, jargon developmentalisme ini tiba-tiba menguap dan runtuh begitu saja ketika orde baru tumbang oleh gerakan reformasi yang diawali dengan krisis ekonomi berkepanjangan. Sebagian ekonom, akademisi dan aktivis gerakan kemudian melahirkan tesis, bahwa teori developmentalisme ala Rostow ini sebagai salah satu tanda keruntuhan teori developmentalisme yang diusung ekonom W.W.Rostow. Tesis ini tentu tidak mengada-ada jika menyaksikan kondisi Indonesia yang dibangun atas dasar teori ini. Indonesia yang sudah diklaim masuk era tinggal landas menuju negara maju, justru tertinggal di landasan. Sementara, negara-negara lain melesat maju menjadi raksasa ekonomi baru, seperti China, India dan Korea. Pemerataan pembangunan juga tidak kita saksikan, bahkan jarak masyarakat kaya dan yang miskin sangat jomplang. Dan struktur jumlah kelas ekonomi masyarakat semasa Orde Baru seperti halnya bentuk piramida.
            Pengamat politik NTB Dr Kadri berpandangan, Pemprov NTB maupun Pemda Lombok Tengah harus belajar banyak dari keberadaan Bandara Selaparang di Kota Mataram.  Khususnya jika melihat dari kondisi masyarakat di lingkaran bandara. Bagaimana masyarakat Kebon Talo yang terpinggirkan, bahkan aliran listrik saja belum genap dua tahun dinikmati. Lalu-lalang pesawat terbang dengan aktivitas ekonomi yang tinggi justru menjadi tontonan masyarakat lingkar bandara ini. Kehadiran BIL ini akan memengaruhi masyarakat setempat. Bisa jadi warga di sekitar kawasan BIL menjadi masyarakat yang berbeda dari saat ini, dengan corak budaya yang lebih individualis.
Kadri memberikan solusi jangka panjang yang mesti segera dilakukan Pemprov NTB, yakni penyiapan dan pembenahan sektor pendidikan. Sinkronisasi antar-SKPD untuk menyiapkan keterampilan dan kemampuan SDM masyarakat terkait kehadiran BIL ini juga mesti mendapat prioritas yang cukup. Anggaran keaksaraan fungsional (KF) ataupun dana keaksaraan usaha mandiri (KUM) yang dimiliki Pemprov NTB harus diprioritaskan kepada masyarakat di lingkaran bandara. Dana CSR dari PT AP I juga perlu ditahih untuk memberdayakan masyarakat setempat. Dan selajutnya, perlu dilakukan pemetaan untuk mengidentifikasi persolaan serta kebutuhan riil masyarakat di lingkar bandara. Kemudian dicarikan solusi yang tepat.
Sedangkan Ketua Walhi NTB Ali Alkhairi memandang belum ada political will yang jelas dari pemerintah untuk memproteksi masyarakat lokal. Belum ada kebijakan yang menyentuh langsung masyarakat untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul saat ini seperti kasus pencurian, perampokan, dan kekerasan.
            Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB Lalu Gita Aryadi menjelaskan, Pemprov NTB telah menetapkan enam desa di sekitar kawasan BIL sebagai desa cepat tumbuh. Ada juga puluhan generasi muda yang ada di enam desa ini akan memperoleh diklat dari Kemenbudpar sebagai persiapan ke depannya. Operasional BIL bukan berarti tujuan tercapai dan berhenti begitu saja, tapi pekerjaan dan tugas selanjutnya masih menanti seperti mencari investor untuk mempercepat pengembangan Kawasan Mandalika Resort. ‘’Saat ini gema BIL ini sudah bergaung. Berbagai even sudah disiapkan,’’ ungkapnya.
            Keberadaan BIL beserta adanya rencana pengembangan pariwisata ini sejalan dengan penetapan NTB sebagai salah satu provinsi yang masuk koridor V Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Mengenai kesiapan SDM, Gita meminta semua pihak agar tidak pesimis, sebab semua langkah belum sempurna. Kesiapan SDM di wilayah perkotaan saja belum 100 persen, apalagi di desa-desa. Dari hasil survei Bank Indonesia dan Universitas Mataram, aspek keamanan dan infrastruktur yang menjadi persoalan paling besar. ‘’Hospitality kita belum sempurna. Tapi potensi mengalahkan kekurangan kita,’’ bebernya.
Hal senada juga diungkapkan Inspektur Provinsi NTB Chairul Mahsul yag juga hadir dalam diskusi #forumwiken ini. ‘’Ekspektasi yang besar ini perlu kita sambut dengan menyiapkan masyarakat,’’ tandasnya.
Optimisme ini juga diungkapkan dr Kurnia Akmal, sektor pariwisata kita tidak akan maju, dan adanya lompatan besar ini tidak akan terwujud jika tidak ada BIL. Dengan keberadaan BIL ini, banyak hal yang bisa dilakukan. ‘’Sekarang bagaimana mewujudkan hal-hal menuju mimpi ini,’’ tandas dokter yang bertugas di RSUD dr Soedjono Selong ini.

Langkah Pemerintah Jelang Operasinal BIL
Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi memimpin langsung rapat koordinasi final check operasional Bandara Internasional Lombok (BIL) beberapa hari menjelang operasional BIL. Seluruh pihak terkait dikonfirmasi mengenai kesiapan BIL yang akan dimulai 1 Oktober. Beroperasinya BIL ini tidak hanya menandai NTB memiliki bandara baru dengan kapasitas lebih besar. Identitas di dunia penerbangan juga akan berubah. Tiga kode huruf penanda untuk pintu masuk NTB khususnya Pulau Lombok melalui Bandara Selaparang yang awalnya berkode AMI, akan berubah seiring dengan operasional BIL. Tiga kode identitas penerbangan yang diusulkan adalah LOP. Pada dasarnya, tiga kode ini tidak memiliki kaitan apapun dengan nama lokasi. Tiga kode ini hanya kode pengenal didasarkan kesepakatan yang ditetapkan. Awalnya, kode yang diinginkan tetap seperti singkatan BIL. Namun, kode BIL ini sudah digunakan di salah satu bandara di dunia, sehingga tidak bisa digunakan. Begitu juga dengan sejumlah kode yang diidentifikasi sesuai dengan nama lokasi badara, seperti LBK dan lainnya juga sudah digunakan bandara lain. Sejumlah bandara di Indonesia, bahkan di dunia, memiliki kode yang identik dengan lokasi bandara tersebut, seperti Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng memiliki kode CKG. Begitu juga dengan Bandara Juanda di Surabaya memiliki kode SUB, dan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar memiliki kode UPG sesuai nama terdahulunya Ujung Pandang.
Tiga kode identitas ini juga sempat menjadi salah satu topik hangat dalam rakor yang digelar gubernur. Komandan Lanud Rembiga Letkol (Pnb) Antariksa Anondo berpandangan, kode penerbangan ini hanyalah signal terhadap pesawat dari bandara, serta kode lokasi saja. Jadi kode LOP ini tidak memiliki kaitan dengan nama lokasi. Sejumlah fasilitas vital lainnya juga dipertanyakan gubernur dalam rakor yang dihadiri seluruh pihak terkait operasional BIL ini. Fasilitas penerangan jalan juga sempat menjadi sorotan. Kapan fasilitas ini mulai dipasang dan kapan seluruh penerangan ini akan terpasang juga dipertanyakan. Bahkan, gubernur sempat menyela penjelasan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) NTB Ridwan Syah saat memberikan penjelasan terkait penerangan jalan ini. Gubernur langsung meminta Ridwan agar memberikan kepastian waktu saja, tanpa embel-embel lain.
Dikatakan Ridwan, panjang total bypass menuju BIL dari Patung Sapi (Gerung) sekitar 21 kilometer dan membutuhkan sekitar 400 titik lampu penerang. PT PLN (Persero) bersedia memasang fasilitas penerang jalan di bypass ini sepanjang 14 kilometer yang bersumber dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. ‘’Pemasangan penerang jalan dengan sumber energi solar cell ini akan dimulai PLN per 3 Oktober,’’ ungkapnya.
Sedangkan dana APBD NTB akan menutupi sekitar 5 kilometer lebih bypass yang belum memiliki peneragan jalan. Jika APBD segera disahkan, maka diperkirakan pemasangan lampu jalan ini akan tuntas akhir Oktober mendatang. Tidak hanya itu, Dishubkominfo juga menargetkan akan segera memasang marka, rambu serta papan penanda arah sementara di sejumlah titik untuk menjaga keamanan berkendara bagi pengguna jalan. ‘’Sekitar 1,5 kilometer akan bisa dipasang sebelum BIL beroperasi,’’ ungkap Ridwan.
Selain itu, pihak Pertamina khususnya kepala DPPO Pertamina Selaparang yang akan berubah nama menjadi DPPO BIL juga menjelaskan kesiapannya memberikan pelayanan pasokan bahan bakar. Meskipun fasilitas DPPO Pertamina belum dituntaskan di BIL, namun dengan fasilitas mobil tangki yang ada, pihak DPPO Pertamina optimistis akan mampu melayani kebutuhan bahan bakar pesawat yang beroperasi. Apalagi jumlah jadwal penerbangan tidak berubah, seperti kebutuhan di Bandara Selaparang, yakni 30-40 kiloliter per hari.
            Kelancaran akses menuju Bandara Internasional (BIL) dari Kota Mataram dan kabupaten lain menjadi salah satu hal yang memerlukan perhatian banyak pihak, khususnya pemerintah daerah dan aparat keamanan. Jalur bypass menuju BIL sepanjang 21 kilometer dari Tugu Patung Sapi Lombok Barat menjadi salah satu fasilitas vital yang tidak kalah penting terkait operasional BIL. Tanpa jalur bypass ini, akses menuju BIL akan terkendala. Volume kendaraan yang tidak sebanding dengan lebar jalan, serta aktivitas perekonomian masyarakat di sejumlah titik membuat jalur lama menuju BIL ini tidak layak dijadikan akses utama.
Saat BIL beroperasi, dipastikan jalur bypass yang bisa digunakan hanya satu jalur dua lajur. Jalur tambahan diperkirakan baru akan tuntas akhir tahun ini.
 Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTB H Dwi Sugiyanto menjelaskan, capaian pekerjaan jalan bypass jalur kedua ini sudah mencapai 60 persen, seperti yang dilaporkan dalam rakor final check operasional BIL, dua hari lalu. Persoalan jalan ini tidak hanya soal fisik saja, tapi kelancaran akses jalan juga menjadi soal.
Sedangkan Karo Ops Polda NTB Kombes Pol Pujiyono Dulrahman juga mengungkapkan adanya fenomena sosial budaya masyarakat yang akan jadi kendala aksesibilitas ke BIL. Yakni adanya aktivitas nyongkolan alias iring-iringan pengantin. Jika memungkinkan, Polda NTB meminta kepada pihak Pemda Lombok Tengah dan Lombok Barat menerbitkan regulasi khusus yang melarang penggunaan bypass BIL untuk nyongkolan.
Pemda tidak hanya mengeluarkan surat imbauan, sebab imbauan tidak akan cukup untuk antisipasi. Dan pihak kepolisian tidak memiliki kewenangan yang cukup jika hanya menindaklanjuti surat imbauan. ‘’Harus ada regulasi jelas, jadi ini yang akan kita jadikan dasar,’’ kata Pujiyono.
Selain itu, adanya aktivitas warga yang berjualan di sepanjang akses BIL juga diminta segera disterilkan. Adanya beberapa pasar tumpah di wilayah Lombok Tengah dikhawatirkan mengganggu aksesibilitas, sehingga persoalan ini juga segera mendapat perhatian. Sudah ada peringatan awal agar warga tidak memasang tempat jualan di trotoar jalan. Peringatan ini sudah cukup efektif. Sebagian besar jualan warga sudah dipindahkan ke halaman masing-masing.
            Operasional BIL ini menjadi berkah tersendiri bagi warga Lombok Tengah. Sehingga berbagai bentuk ungkapan bahagia dan syukur dilakukan. Bahkan, pemda setempat berencana akan melakukan acara tasyakuran di BIL jika memungkinkan. Sehingga pihak Dishubkominfo Loteng yang hadir dalam rakor ini meminta kejelasan mengenai acara yang akan digelar. Apakah gendang beleq diperbolehkan masuk ke areal apron BIL atau tidak. Serta persoalan teknis lainnya. ‘’Soal teknis acara, pemda silakan berkonsultasi dengan pihak PT AP I,’’ jelas Gubernur NTB Dr TGH M Zainul Majdi.(*)

Friday, 9 September 2011

MENGURAI SEJUTA KONFLIK DI NEGERI SERIBU MASJID



HARI RAYA Idul Fitri tahun ini terasa berbeda. Rentetan konflik kekerasan terjadi hampir di semua daerah di NTB. Bahkan ada yang sampai meregang nyawa. Yang teranyar adalah bentrok warga Sekotong dengan aparat di Mapolres Lombok Barat yang menewaskan seorang warga.
Kejadian ini tentu bertentangan dengan tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dan momentum hari raya Idul Fitri yang mengajarkan nilai-nilai silaturahmi. Momentum ibadah ini nampaknya sudah tidak memiliki makna signifikan bagi masyarakat, khususnya terkait pengaruhnya dalam menjalankan ibadah sosial kemasyarakatan. Ibadah puasa cenderung dimaknai secara dikotomis (terpisah) sebagai ritual ibadah personal semata tanpa adanya efek sosial.
Fenomena ini bisa dibaca lebih jauh, khususnya terkait pengaruh dakwah tuan guru di NTB yang bertebaran di seantero kampung. Sehingga metode dakwah dan ceramah para tuan guru perlu dievaluasi agar lebih mengena dengan realitas masyarakat. Seperti apa yang diapaparkan akademisi IAIN Mataram Dr Kadri.
Maraknya konflik di NTB ini ironis dan paradoks jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Jenis konflik yang ada pun beragam, mulai dari konflik keluarga yang berujung perkelahian antarkampung, hingga konflik agraria yang terjadi di hampir semua wilayah NTB. Sehingga peran kultural tokoh agama dipertanyakan, ditambah peran formal dari pihak aparat keamanan. Pengamanan yang dilakukan tidak optimal, berbeda ketika menangani persoalan terorisme. Padahal konflik-konflik sederhana juga memiliki potensi kerugian yang besar.
        Adanya perubahan perilaku masyarakat yang semakin garang dan rentan berkonflik yang berujung kekerasan ini dipengaruhi banyak faktor. Media massa memiliki peran besar dalam mendidik masyarakat. Peran media massa sebagai social learning tidak terbantahkan. Beragam jenis acara yang ditayangkan secara tidak langsung menanamkan benih-benih konflik kepada masyarakat sejak dini. Beragam tayangan tentang konflik antar masyarakat, antar tokoh agama, bahkan konflik antar institusi yang merembes ke konflik tokoh atau sebaliknya. Lucunya, disaat budaya konflik menjadi budaya massa. Kita kekurangan figur untuk mereda konflik di tengah masyarakat. Figur-figur informal yang ada di tengah masyarakat tidak bisa lagi bisa diharapkan bisa memainkan peran, bahkan sebagian tokoh justru adalah bagian dari konflik.
Kadri prihatin dengan maraknya konflik yang terjadi di NTB, apalagi situasi konflik ini banyak disaksikan generasi muda. Sehingga dikhawatirkan akan terbawa kelak saat dewasa. Masih banyaknya anak-anak muda ini baru tamat sekolah dan sekolah tidak memberikan dampak signifikan terhadap konflik. Sehingga diindikasikan adanya kegagalan dalam bidang pendidikan. Ada disparitas antara kurikulum di sekolah, khususnya dalam persoalan karakter anak didik. Parsialisasi pelajaran di sekolah seperti adanya pelajaran budi pekerti menjadi salah satu pendukung gagalnya pendidikan membentuk karakter manusia yang diinginkan. Mestinya, seluruh nilai-nilai kebersamaan dan budi pekerti itu ada di seluruh mata pelajaran.
Persoalan maraknya konflik serta begitu gampangnya masyarakat tersulut emosi ini tidak hanya terkait dengan ekonomi, politik atau persoalan pemerintah. Sektor pendidikan juga memiliki peran yang tidak dapat dimungkiri. Diindikasikan pelajaran-pelajaran informal di keluarga juga gagal dilakukan, begitu juga dengan peran tokoh agama dalam memberikan rasa damai kepada masyarakat. ‘’Orang tua yang komunikatif, akan menanyakan persoalan yang terjadi pada anaknya. Misalnya saja, ketika anak sering keluar malam dan tidak belajar, minimal orang tua menanyakan anak itu dan menegurnya. Tapi yang terjadi justru pembiaran,’’.
Pemerintah dalam konflik ini bisa diperankan dibidang pendidikan, khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Yakni bagaimana mengoptimalkan anggaran pendidikan, sebab selama ini orientasinya hanya pembangunan fisik belaka, pemerintah dan masyarakat hanya bangga dengan fisik sekolah yang megah. Tapi justru kurang memperhatikan persoalan kualitas guru, mental anak didik dan lainnya. Ada penyebaran kurikulum. Seluruh mata pelajaran ada perspektif pluralitas, inklusif dan anti kekerasan.
        Akademisi Fakultas Hukum Unram M Hotibul Islam menjelaskan, konflik pada dasarnya sesuatu hal yang tidak bisa dihindari dan merupakan suatu hal yang wajar. Tipologi konflik saat ini semakin kompleks. Modus, tipe, dan polanyapun berbeda. Konflik di NTB bukanlah suatu hal yang baru. Jika menilik sejarah, konflik yang terjadi begitu hebat. Bahkan perkembangan masyarakat di NTB lahir dari pergulatan alias konflik yang begitu dahsyat. Hampir tidak ada bagian sejarah yang lepas dari konflik.
        Hotibul yang juga ketua Divisi Konsultasi dan Bantuan Hukum Laboratorium Hukum FH Unram ini mengaku pernah melakukan belasan riset terkait konflik di NTB. Menurutnya, konflik bisa saja dipicu faktor primer maupun dan sekunder. Seringkali faktor sekunder sebagai pembuka kran, saat muncul faktor sekunder ketika konflik meledak. Adanya ragam penyebab dan aspek konflik ini maka, harus lebih hati-hati dan mendalam melihat penyebab dan penanganannya. Bila perlu dibedah case by case.
Dikatakan, seringkali ada aktor intelektual yang mendesain terjadinya konflik. Tapi juga terjadi secara sporadik seperti kasus perkelahian pemuda dan lainnya. Seringkali ada tali temali dalam konflik tersebut, mulai dari adanya solidaritas kelompok. ‘’Awalnya, bisa saja perkelahian antarkampung diawali konflik beberapa orang atau kelompok saja,’’ bebernya.
        Faktor konflik yang kompleks ini membuat konflik menjadi hal yang laten. Persoalan air sudah mampu menimbulkan konflik yang besar. Sebab, terkait persoalan ekonomi seperti studi kasus sengketa air irigasi pertanian di Desa Suntalangu, Lombok Timur. Jika dirunut historisnya, masyarakat yang konflik itu sebenarnya satu asal usulnya. Konflik juga terkadang menjadi solusi alias sarana efektif mencapai tujuan terhadap sesuatu yang terjadi di masyarakat. Praktik ini banyak terjadi di masyarakat, bahkan masyarakat juga menggunakan pola ini dalam kehidupan sehari-hari. Beragam teori mengambil garis yang berbeda dalam memandang konflik, seperti pandangan kalangan Marxian hingga pandangan dan pendekatan strukturalis fungsionalis seperti yang dikemukakan Talcot Parson. Sehingga dibuat sarana struktural dalam kenegaraan. Kalau kita berpikir masyarakat ini adem ayem, tentu tidak akan ada polisi.
        Terlepas dari beragamnya teori konflik, hal paling penting adalah bagaimana penyelesaian konflik itu sendiri. Konflik merupakan bagian dari kehidupan sosial. Ketika persoalan yang memicu konflik adalah persoalan ekonomi, maka persoalan ekonomilah yang harus diselesaikan. Begitu juga jika konflik yang dipicu kebijakan pemerintah.
Sebagian kelompok masyarakat ingin kembali ke zaman salafi (Sahabat Nabi). Hal ini sangat keliru, sebab keinginan ini berlawanan dengan fakta sejarah. Sebab kehidupan di masa para sahabat nabi ini penuh dengan konflik, Khalifah Umar Bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abithalib justru dibunuh lantaran konflik. Belum lagi dengan adanya perang antara intern keluarga Nabi Muhammad SAW.
        Lain lagi dengan pendapat akademisi FH Unram lainnya, Dr Sahnan menganggap, faktor ekonomi seringkali menjadi penyulut konflik yang dahsyat. Terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi, tapi di sisi lain akses ekonomi akan mudah diakses siapa saja yang mampu memenangkan pertandingan. Degradasi sikap saling menghargai juga menjadi pemicu konflik yang tidak bisa dinafikkan. Sehinga konflik terkait sumberdaya lahan pertambangan tidak hanya menimbulkan konflik antara investor dengan masyarakat, tapi juga masyarakat dengan masyarakat. Bahkan banyak konflik dipicu perseteruan keluarga.
Akademisi yang konsen dalam sengketa agraria ini juga menyorot peran tokoh yang seringkali hanya berteori tentang syariat ibadah personal. Tapi persoalan seruan perdamaian maupun ibadah sosial sering dilupakan. Diperlukan penanaman sikap terpuji dalam kehidupan sehari-hari kepada masyarakat dan generasi penerus. Selama ini, pendidikan cenderung konsen pada nilai-nilai tentang akal dan keyakinan. Sementara, kecintaan terhadap keluarga dan nilai-nilai toleransi seringkali lemah. Kelompok pemuda dan masyarakat cepat sekali tersulut. Sedikit ketersinggungan saja sudah menimbulkan huru-hara.
Konflik terkadang diperlukan menuju perkembangan masyarakat, syaratnya konflik harus bisa dikelola dengan baik. Selama ini konflik agraria di NTB dipicu beragam faktor, mulai dari perbedaan pandangan, salah kebijakan, ganti rugi. Penyelesaian konflik bisa melalui pengadilan dan luar pengadilan. Terkadang, membiarkan persoalan juga bagian dari penyelesaian. Hasil riset yang dilakukan, minimnya adanya komunikasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah. Ada dana sebenarnya, dan ini kembali ke kas negara. Sehingga terjadi konflik.
Mengenal jenis, sifat, watak serta anatomi konflik menjadi hal penting bagi pemerintah maupun masyarakat dalam menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi di masyarakat. 
Selama ini, seringkali jalan keluar ataupun langkah yang diambil pemerintah parsial dan tidak menyelesaikan persoalan, bahkan cenderung menghasilkan persoalan baru.
Ada dua jenis konflik, yakni yang bersifat pokok dan konflik yang sifatnya tidak pokok. Ada problem sepele atau tidak terkait persoalan poblik, seperti menampar pacar, bertengkar dengan teman, dan konflik sejenisnya. Konflik-konflik semacam ini merupakan konflik yang tidak pokok. Jika kita tidak mengenal bentuk, sifat dan karakter konflik hanya akan menyebabkan penyelsaian parsial dan hanya akan menempatkan salah satu pihak yang salah, kata mantan pimpinan Serikat Tani (Serta) NTB Wahijan.
Pernyataan ini disampaikan Wahijan belajar dari pengalaman empiriknya di berbagai konflik besar yag terjadi di masyarakat NTB. Salah satunya sengketa masyarakat Tanak Awu, Lombok Tengah terkait pembebasan lahan dan pembangunan Bandara Internasional Lombok (BIL). Contohnya, perkelahian remaja di malam Lebaran tidak perlu mengeluarkan kebijakan besar. Sebab, menetapkan kebijakan besar justru akan menjadi sumber konflik baru.
Posisi ekonomi juga dilihat sebagai hal determinan dalam konflik. Seperti sengketa sumberdaya alam yang marak terjadi di NTB, contohnya sengketa Gili Trawangan maupun kawasan Sekotong. Dalam kaca mata konflik, apa yang terjadi di Trawangan merupakan pertarungan antara pemilik industri pariwisata dan masyarakat yang menggarap di atas lahan itu. Penyelesaian yang diambil pemerintah sangat parsial dengan adanya Operasi Tertib Gili Gatarin yang melibatkan Polda NTB. Konflik struktural yang melibatkan adanya kebijakan pemerintah seringkali sangat sulit untuk diselesaikan. Keberpihakan pemerintah juga menjadi soal. Seringkali pemerintah mengedepankan kepentingan pemodal melalui investasi yang akan digelontorkan.
        Persoalan konflik ini juga tidak terlepas dari kegagalan dalam sektor pendidikan. Diindikasikan pemberian pelajaran informal di keluarga juga gagal dilakukan. Begitu juga dengan peran tokoh agama dalam memberikan rasa damai kepada masyarakat. Karakteristik lingkungan sumber alam serta aktifitas ekonomi menjadi hal determinan yang biasanya memicu konflik. Aktifitas ekonomi bisa menjadi solusi konflik, seperti di Petemon-Karang Genteng. Adanya aktifitas ekonomi dengan menjadi sentra-sentra penjualan mutiara membuat kawasan ini tidak lagi terlibat konflik kambuhan. Karakteristik konflik masyarakat di wilayah yang ketersediaan air yang melimpah juga berbeda dengan wilayah yang airnya terbatas. ‘’Beda konflik antara orang yang tiga kali panen setahun dengan orang selatan yang hanya satu kali panen setahun,’’ tandas peneliti P2HSD Unram Lalu Saepuddien.
        Adanya fenomena yang dilihat dan disaksikan mempengaruhi perilaku masyarakat, apalagi keseharian masyarakat dekat dengan konflik. Ada Pilkada konflik, serta beragam hal yang sebagian besar disertai konflik apalagi media turut mengekspose. Sehingga masyarakat berasosiasi dengan konflik. Menemukan akar persoalan konflik merupakan hal vital yang harus dilakukan. Penanganan konflik tidak cukup dengan cara refresif, harus ada treatment berbeda untuk setiap konflik dan harus ada langkah pencegahan terhadap terjadinya konflik. Pemerintah seharusnya bukan sekadar tukang belanja anggaran yang ada dalam APBD, sedangkan persoalan konflik di masyarakat tidak pernah dikaji. Kehadiran pemerintah tidak cukup sekadar berupa simbol-simbol besar saja, persoalan di bawah juga harus diperhatikan. ‘’Selama ini, belum ada upaya strategis pemerintah untuk mengatasi persoalan konflik,’’.
Sarana refresif untuk menyelesaikan konflik bisa berlangsung lama sebab adanya dendam dari salah satu pihak. Penanganan konflik harus disesuaikan dengan jenis konflik yang ada. Kalau masalahnya ekonomi lantaran pemuda tidak dapat akses, maka selesaikan masalah ekonomi itu. Daerah-daerah yang subur jarang kita dengar ada konflik. Konflik pengelolaan sumberdaya merupakan konflik yang paling dahsyat. Contohnya di Tanah Awu, Kuta, Trawangan, Sumbawa Sekotong. Konflik antar kampung bisa cepat selesai, tapi kalau konflik sumberdaya bisa lama. Lantaran ini tempat orang mencari makan. (*)